Behind The Mask

Retchaan
Chapter #28

BTM ~ 28

---

Menjelang sore, langit Manhattan berwarna keemasan, cahaya matahari yang mulai miring menyapu lembut hamparan hijau lapangan golf. Angin membawa aroma rumput segar dan udara yang sedikit lembap setelah hujan pagi. Di sinilah, di sebuah klub golf eksklusif di pinggiran kota, Kaivan mengajak Genta hadir bukan sekadar untuk olahraga, melainkan untuk sesuatu yang lebih dari itu. 

Kaivan melangkah santai, memegang stik golf dengan elegansi yang tampak alami, seolah lapangan ini adalah ruang tamu pribadinya. Genta menyusul di sampingnya dengan langkahnya tenang, wajahnya datar. Meski suasananya santai, ia tahu betul ini bukan sekadar undangan bermain.

"Anggap saja ini... latihan. Tapi bukan hanya untuk pukulan," ujar Kaivan sambil tersenyum tipis, matanya menyapu sekilas ke arah tiga pria paruh baya yang sudah menunggu di tepi lapangan. CEO farmasi yang baru saja mengakuisisi dua rumah sakit besar, dan seorang miliarder real estate keturunan Turki yang menguasai sebagian besar proyek hunian elit di Timur Tengah. Juga, satu lagi—pria berambut perak dengan jas abu-abu terang, adalah konsultan bayangan bagi lebih dari separuh perusahaan multinasional di kawasan Asia Tenggara.

Genta mengangguk tanpa banyak bicara. Ia tahu permainan ini lebih berbahaya dari sekadar mengayunkan stik. Ini tentang bahasa tubuh, isyarat diam, dan tawar-menawar yang tak pernah benar-benar diucapkan.

Satu demi satu, Kaivan mengenalkannya. Senyum-senyum diplomatis, jabat tangan yang tampak ringan tapi menyimpan bobot. Mereka menilai Genta bukan dari kata-katanya, tapi dari caranya berdiri, cara ia menatap lurus ke mata orang, dan ketenangan yang ia bawa seperti kabut pagi.

Saat giliran Genta memukul bola, ia membidik dengan tenang. Satu ayunan tajam, bola melesat melintasi udara dan mendarat nyaris sempurna.

Kaivan tertawa pelan, bertepuk tangan ringan. “Kau tidak hanya mewarisi darah Elvaro. Tapi juga insting.”

Genta hanya tersenyum kecil. Ia tahu, di sore yang tenang ini, langkah-langkah kecil sedang disusun untuk permainan yang jauh lebih besar. Dan ia akan memastikan, tak satu pun dari mereka melihatnya sebagai anak muda yang bisa dipermainkan—melainkan sebagai kekuatan yang sedang tumbuh, perlahan, tapi pasti.

Kaivan lalu menoleh ke rekan-rekannya, suaranya meninggi sedikit seolah menyambut pengumuman penting.

“Genta Krieger. Menantuku,” ucapnya dengan nada yang ringan, tapi penuh gema. Sebuah deklarasi yang dilemparkan bukan untuk meminta restu, melainkan untuk menetapkan peta kekuasaan yang baru.

Salah satu pria, pria real estate berdarah Turki, mengangkat alisnya dengan ekspresi penuh ketertarikan. “Krieger? Kau putra Krieger?”

Genta menoleh sedikit, membiarkan Kaivan memimpin percakapan.

“Ya. Kami sudah sepakat menikahkan anak kami,” ucap Kaivan tenang, seperti meletakkan bidak kunci di tengah papan.

Sejenak, atmosfer berubah. Seorang CEO farmasi tertawa kecil. “Wow… keluarga Alexandria dan Krieger bergabung. Kalian akan semakin kuat.”

Genta hanya tersenyum tipis. Diamnya bukan ragu—tapi ancang-ancang. Permainan baru saja dimulai.

Genta hanya tersenyum tipis, membiarkan pujian dan asumsi mengalir tanpa dibantah. Ia tahu, dalam permainan ini, diam bisa lebih lantang dari seribu kata.

Kaivan meliriknya sekilas, bangga tapi penuh perhitungan. “Anak muda ini tidak hanya mewarisi nama besar ayahnya. Ia tahu ke mana arah angin bertiup.”

Sore itu, langit mulai meredup perlahan, menyisakan sisa cahaya keemasan yang menari di permukaan cangkir-cangkir porselen. Di café golf yang hanya bisa diakses dengan undangan, alunan musik jazz tipis mengiringi obrolan para pria yang terbiasa memindahkan angka miliaran hanya dengan satu persetujuan anggukan.

Genta duduk dengan tenang di antara mereka, wajahnya datar namun tajam, seperti pisau yang belum digunakan. Ia bukan sekadar menantu dalam sebuah perjanjian keluarga—ia adalah pion yang, jika dibiarkan melangkah cukup jauh, akan berubah menjadi raja yang tak bisa lagi diabaikan.

Namun di tengah gelas-gelas anggur mahal dan perbincangan proyek ambisius, perhatian Genta diam-diam tertuju pada satu sosok yaitu CEO farmasi, Tuan Milagro. Gerakan tangannya, caranya tersenyum seolah tahu lebih banyak daripada yang dikatakan, bahkan tawa kecilnya—semuanya terasa familiar.

Terlalu familiar.

Genta berdiri perlahan, menarik perhatian kecil namun tidak menimbulkan curiga. “Aku angkat telepon dulu,” ujarnya ringan, lalu melangkah menjauh dari meja.

Begitu cukup jauh dari jangkauan telinga siapa pun, ia menekan tombol panggilan cepat di ponselnya.

Lihat selengkapnya