---
Ia membaringkan tubuh di sofa, namun mata Genta tidak juga terpejam. Hatinya terlalu gaduh, pikirannya terlalu penuh. Dan kemudian jeritan kecil memecah kesunyian malam.
Ia duduk dengan cepat, tubuhnya tegak dalam sekejap. Suara itu berasal dari arah ranjang. Pandangannya mengarah pada Eille yang gelisah dalam tidurnya, tubuhnya menggeliat, wajahnya basah oleh air mata.
Awalnya, Genta tak peduli. Ia hampir saja membaringkan tubuhnya kembali, mencoba mengabaikan. Tapi kemudian suara lirih itu menyelinap masuk seperti retakan dari dunia mimpi yang justru terdengar lebih nyata dari kenyataan.
“Tidak… Tidak… Jangan lompat… Kumohon…”
Ia mendekat, perlahan. Rasa penasaran menarik langkahnya ke sisi ranjang, bukan karena empati, melainkan karena kegelisahan yang tidak bisa ia jinakkan.
“Ken… neth…” Eille terisak, suaranya pecah. “Kumohon… jangan lompat…”
Dan pada saat itu, dunia Genta berhenti sejenak. Kakinya melemas, tubuhnya terduduk di samping ranjang seperti seseorang yang baru saja ditarik paksa dari tempat aman ke tengah badai.
Suara Eille. Tangisnya. Kalimat yang ia ucapkan dalam mimpi. Semua terasa seperti pecahan puzzle yang selama ini ia kumpulkan… namun tidak pernah benar-benar utuh.
Apakah kematian Kenneth murni karena bunuh diri seperti yang ditulis polisi di laporan resmi, seperti yang selama ini diyakini banyak orang? Ataukah... seperti yang selama ini diyakini Genta, kematian itu bukanlah bunuh diri, melainkan pembunuhan?
Pertanyaan itu terus menggema di kepalanya, berputar-putar tanpa arah. Ia mencoba mencari logika, mencocokkan fragmen peristiwa, namun semuanya terasa seperti bayangan di atas air selalu bergerak, selalu kabur.
Sementara itu, di atas ranjang, Eille tampak mulai tidur lebih tenang. Napasnya melambat, tangisnya mereda. Seolah beban di dadanya sedikit terangkat setelah mimpi itu, meski ia sendiri mungkin tidak akan mengingat apa yang telah ia ucapkan.
Sedangkan Genta… masih di sana.
Tubuhnya membeku di lantai, seperti diseret kembali ke malam saat kematian Kenneth pertama kali menghantam hidupnya. Tapi malam ini berbeda. Malam ini, untuk pertama kalinya, ada celah kecil sebuah pintu yang sedikit terbuka menuju kebenaran. Bukan kebenaran yang disampaikan dengan lantang, melainkan yang merayap pelan dalam isyarat dan bisikan mimpi.
Dengan tatapan kosong dan tubuh terasa berat, Genta akhirnya berdiri. Langkahnya pelan, seolah setiap gerakan dipandu oleh pikiran yang masih menggulung antara emosi dan logika. Ia merebahkan diri kembali ke sofa, membenamkan tubuhnya dalam dinginnya malam yang tidak sepenuhnya hening.
Ia tidak sepenuhnya percaya dengan apa yang diucapkan Eille dalam tidurnya namun sesuatu dalam dirinya menolak untuk mengabaikannya begitu saja. Mungkin bukan kebenaran mutlak, tapi cukup untuk menjadi benang awal yang perlu ditarik perlahan.
Dan akhirnya, untuk malam itu, Genta menutup mata. Tapi bukan untuk beristirahat.
---
Matahari pagi menembus tirai tipis jendela, menyelinap masuk ke ruang kantor dengan cahaya hangat yang lembut. Namun sinar itu tidak mampu menembus lamunan Genta, yang matanya masih terpaku pada layar komputer di hadapannya bukan membaca, lebih seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. Masih memikirkan perkataan Eille tadi malam.
Tok tok.
Suara ketukan pintu terdengar, namun tetap tidak mengusiknya.
Hingga akhirnya, suara ketukan ringan di atas meja membuatnya tersentak pelan. Ia menoleh. Di hadapannya berdiri seorang wanita muda dengan rambut terikat rapi ke belakang, mengenakan blazer berwarna mint dan elegan. Sosoknya mencerminkan profesionalitas tanpa cela. Di tangannya, map dokumen disodorkan dengan tenang.
Genta mengangkat satu alisnya, sedikit heran melihat sosok yang berdiri di hadapannya. Tanpa banyak bicara, Genta mengambil map tersebut, membukanya, dan menelusuri isi dokumen dengan tatapan datar. Ia mengangguk pelan, seolah baru menyadari peran wanita itu di ruangan ini.