Behind The Mask

Retchaan
Chapter #30

BTM ~ 30

---

Beberapa jam kemudian, rapat pun selesai. Para peserta mulai beranjak dari kursi masing-masing, membawa serta sisa-sisa diskusi yang masih menggantung di benak mereka. Genta menyerahkan kembali map kepada Claude, isyarat bahwa tugasnya untuk hari ini telah rampung.

Rombongan meninggalkan ruang rapat satu per satu, menuju ke ruang kerja masing-masing. Claude mengikuti dari belakang, langkahnya sedikit tertahan karena nyeri di pergelangan kaki yang belum sepenuhnya reda.

Di dalam lift, ruang terasa sesak oleh kehadiran para pegawai dari divisi lain. Claude berdiri di sudut paling belakang, menyandarkan sebagian tubuhnya ke dinding logam demi mengurangi beban di kakinya. Sementara itu, Genta berdiri paling depan, tatapannya lurus ke depan, nyaris tanpa ekspresi.

Lift turun perlahan, berhenti di satu lantai, lalu lantai berikutnya, mengurangi satu per satu penghuni ruang sempit itu hingga akhirnya hanya tersisa dua orang yakni Genta dan Claude.

Suasana sepi. Hening. Tapi bukan hening yang nyaman.

Genta melirik sekilas ke arah pantulan Claude di dinding logam lift. Wajah wanita itu tampak sedikit berbeda dari biasanya dia lebih pucat, atau mungkin letih. Namun ia tidak bertanya. Mereka hanya berdiri di sana, diam, seolah saling menghormati ruang sunyi masing-masing. 

Ketika pintu lift terbuka, mereka berjalan beriringan menuju ruangan Genta. Tidak ada desakan waktu, tidak ada langkah terburu. Genta yang biasa berjalan cepat kini memperlambat langkahnya. Seolah tubuhnya secara naluriah menyesuaikan ritme wanita di sampingnya—ritme yang terpincang. 

Tidak ada kata-kata yang dibutuhkan. Hanya langkah-langkah pelan yang, entah bagaimana, terasa lebih berarti daripada dialog apa pun.

Pintu ruangan terbuka, aroma kopi yang samar menyambut mereka, diiringi oleh pemandangan seorang pria berusia sekitar lima puluhan yang duduk santai di sofa. Ia mengenakan jas coklat yang rapi, dengan tas ransel yang tergeletak di sisi kursi. Wajahnya hangat, dengan senyum kecil yang muncul begitu melihat Genta masuk.

"Hai, Tuan Jack," sapa Genta, santai sembari mengangkat setengah tangannya.

"Hei, apa yang sakit?" balas pria itu, bangkit dari tempat duduknya. 

"Dia," ujar Genta sembari menunjuk ke arah Claude yang berdiri di belakangnya. Dengan gerakan tenang, mata Jack langsung mencari sosok yang dimaksud. 

Claude mengerutkan kening, terkejut. "Aku? Sakit apa?" pikirnya bingung.

Melihat ekspresi kosong wanita itu, Genta menjentikkan jari, membuyarkan lamunannya.

"Apa kakimu sudah tidak sakit?" tanyanya datar.

Pertanyaan itu membuat Claude seolah baru tersadar kembali pada denyut nyeri yang sempat ia abaikan. Pergelangan kakinya kembali terasa ngilu, membuat tubuhnya sedikit terhuyung.

Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut, Genta berjalan menuju mejanya. Claude, sedikit limbung, akhirnya duduk di sofa, tepat di samping pria yang ternyata adalah seorang dokter.

Lihat selengkapnya