---
Waktu berlalu dengan cepat. Langit siang merambat pelan di balik jendela kaca kantor, dan kesibukan perlahan mereda. Genta melangkah keluar dari ruangannya, jasnya ia lemparkan ke bahu satu tangan. Matanya langsung tertuju pada Claude yang tengah duduk di mejanya, membolak-balik beberapa berkas.
Ia menghampiri tanpa suara, lalu berdiri di sisi meja itu.
"Aku keluar dulu. Jangan lupa makan siang," ucapnya datar, tapi ada jeda kecil di tengah kalimatnya seolah ia ragu harus mengatakan lebih.
Tanpa menunggu respons, Genta segera berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan jejak suara langkahnya di koridor yang lengang.
---
Mobil hitamnya melaju keluar dari basement parkir gedung tinggi itu, melintasi jalanan kota yang mulai padat oleh lalu lintas jam makan siang. Di balik kemudi, wajah Genta tampak berbeda ia terlihat sedikit cemas.
Ia berhenti di sebuah kafe kecil di pinggir jalan. Tempat itu sederhana tapi tenang karena jauh dari keramaian pusat kota.
Dengan gerakan tergesa, Genta memarkirkan mobilnya, lalu membuka pintu dan masuk ke dalam. Aroma kopi dan kayu manis menyambutnya, tapi ia tidak peduli.
Matanya segera menangkap sosok yang ia cari yakni seorang pria paruh baya dengan jas krem, duduk di pojok ruangan. Di hadapannya ada dua cangkir, satu masih kosong, seolah telah disiapkan untuk seseorang yang ditunggu sejak tadi.
Genta melangkah mendekat, dan tanpa banyak kata, ia duduk di hadapan pria itu.
“Paman, kau baik-baik saja?” tanyanya, nada suaranya rendah, tapi jelas menyimpan kekhawatiran.
Lysander menatapnya dengan senyum tipis, lalu mengangguk pelan. “Semuanya baik-baik saja, Gen. Justru aku yang khawatir padamu.”
Genta mengepalkan tangannya di atas meja. “Jika Ayah melukaimu lagi… aku yang akan turun tangan.”
Lysander menarik napas panjang, seolah menimbang kata-kata sebelum akhirnya meluncurkannya perlahan. “Aku sangat menghormati Elvaro sebagai kakakku… Tapi di sisi lain, aku juga tak pernah berhenti merasa bersalah pada Jennyta. Dia—” suaranya terputus sesaat, “—dia terlalu murni untuk semua ini. Aku harap kau bisa segera menemukan pembunuhnya, Gen.”
Sorot mata Genta mengeras, tapi bibirnya hanya bergerak ringan. “Tenang saja, Paman. Selangkah demi selangkah, aku akan mendekat pada orang itu. Dan saat waktunya tiba… dia tidak akan bisa lari lagi.”
Lysander mengangguk, sorot matanya menyiratkan rasa percaya, namun juga kelelahan yang telah ia pendam terlalu lama. “Dan soal lukisan-lukisan itu… semuanya masih dalam keadaan aman. Tidak satu pun hilang dari tempatnya.”
Genta menyandarkan punggung sejenak, membiarkan diam menyusup di antara mereka. Tapi di balik diam itu, ada gelombang yang mulai bergerak. Masa lalu belum selesai, dan nyawa yang diambil dengan kejam belum menemukan keadilan.
“Kapan kau akan buka pameran itu?” tanya Lysander, menatap Genta dari balik cangkir kopi yang baru saja disentuhnya.
Genta diam sesaat, jemarinya menggulir-gulirkan sendok kecil di atas alas meja. Matanya menatap kosong ke arah jendela, seolah mencari jawaban di luar sana. Lalu ia menghela napas pelan.