Behind The Mask

Retchaan
Chapter #32

BTM ~ 32

---

Malam menurunkan sunyinya di atas gedung tinggi itu, menelan hiruk pikuk kota yang perlahan meredup. Lampu-lampu kantor sebagian besar telah padam, menyisakan cahaya hangat dari ruang kerja Genta yang masih menyala.

Hari ini, ia harus lembur. Minggu depan ia terbang ke Paris, untuk menemui seseorang yang tahu tentang kalung yang kini berada ditangannya sebuah petunjuk yang belum tuntas.

Genta menyandarkan kepalanya di kursi, menatap langit-langit sejenak, lalu menghela napas. Namun pikirannya tidak benar-benar di sana. Ia terbang ke arah meja di luar, tempat Claude bekerja. Wanita itu mondar-mandir membawa tumpukan berkas, berjalan dengan kaki yang masih pincang. Rasa bersalah dan ketidakenakan kembali mengendap di benaknya.

Akhirnya, ia meraih telepon di mejanya dan menekan sambungan dalam.

“Masuk dan bawa semua berkas yang perlu ditandatangani.”

Tanpa menunggu jawaban, ia menutup telepon dan kembali menatap ke luar jendela. Tidak lama kemudian, pintu terbuka dan Claude masuk dengan tumpukan map dan dokumen di pelukannya. Langkahnya perlahan, tapi tetap tegas, walau terlihat jelas ia menahan sakit.

“Taruh di situ saja,” ucap Genta, berdiri dari kursinya dan menunjuk meja kecil dekat sofa.

Claude menuruti, meletakkan dokumen dengan rapi. Ia baru hendak berbalik ketika suara Genta menahan langkahnya.

“Duduk di sini saja. Masih banyak yang harus kau kerjakan.”

Nada suaranya datar, seolah tanpa maksud. Namun ada sesuatu di balik nada itu, halus dan samar yang membuat Claude tidak bertanya. Ia hanya mengangguk pelan dan duduk di sofa yang sama.

Genta pun duduk di sisi lain. Mereka tidak saling menatap, hanya ditemani suara kertas yang dibuka, sesekali gesekan pulpen, dan napas yang tenang namun penuh konsentrasi. Di balik diam itu, ada semacam irama sunyi yang justru menautkan dua dunia berbeda dalam satu ruang yang sama.

Beberapa menit berlalu sebelum akhirnya Genta bangkit dari duduknya. Langkahnya menuju sudut ruangan, ke tempat mesin kopi berdiri. Tangannya bergerak otomatis menyiapkan dua gelas, sementara matanya tidak sengaja menangkap bayangan Claude dari cermin di dinding. Ia memperhatikan bagaimana wanita itu fokus, mengatur berkas demi berkas, seperti tidak terganggu oleh waktu.

Pikirannya melayang pada momen mereka di Singapore , saat itu Claude bersikap jauh lebih lugas, tajam, dan sedikit sulit ditebak. Senyum kecil menyelinap di sudut bibirnya.

“Kalau sedang seperti ini, dia tampak seperti wanita biasa... Tapi entah kenapa, aku lebih menyukai sisi dirinya waktu di Singapore,” gumamnya lirih.

Ia menyelesaikan seduhan itu, dua cangkir kopi hitam hangat, lalu membawanya ke meja kecil dekat sofa. Satu cangkir diletakkannya di depan Claude, yang langsung menoleh dengan sedikit terkejut.

“Maaf membuatmu lembur di hari pertama,” ucap Genta singkat, suaranya rendah tapi tidak lagi sedingin tadi.

“Tidak apa-apa. Aku sudah cukup terbiasa,” jawabnya tenang.

Genta mengangguk, lalu duduk kembali. Dalam hati, ia mengakui ada suatu bagian darinya yang tidak menyangka ia akan memperhatikan hal-hal kecil dari seorang Claude. Tapi di malam sunyi seperti ini, hal kecil pun bisa terasa berarti.

Jam dinding berdetak lambat, menembus kesunyian yang mulai terasa akrab. Jarum panjang baru saja melewati angka dua belas. Genta melirik ke arah Claude yang mulai dilanda kantuk berat. Wanita itu masih duduk, namun matanya mulai meredup, tubuhnya perlahan membungkuk dilanda kantuk yang tak bisa lagi dilawan. Beberapa kali bahunya jatuh ke samping lalu terangkat lagi. Saat tubuhnya benar-benar miring dan hampir jatuh, tangan Genta dengan refleks terulur, menahan kepala Claude sebelum sempat menyentuh ujung meja.

Seketika, Genta berpindah posisi. Ia duduk di sisi Claude dan membiarkan kepala wanita itu bersandar perlahan di pahanya. Gerakannya lembut, penuh kehati-hatian seolah takut membangunkan seseorang dari mimpi. Ia merapikan helaian rambut yang terlepas dari ikatan, menyelipkannya di balik telinga Claude. 

Ia menatap. Dalam diam, ia mengamati bulu mata wanita itu yang panjang, hidung yang membentuk garis tegas, dan bibir tebal yang sedikit terbuka seolah sedang membisikkan sesuatu tanpa suara. Genta menelan ludah, pelan, seolah mencoba menelan juga perasaan yang tiba-tiba menyeruak di dadanya.

Tarikan kecil di sudut bibirnya muncul, samar. Senyum yang nyaris tidak disadari. Kepalanya bersandar ke belakang, menatap langit-langit, seolah mencari jawaban dari sesuatu yang tidak pernah benar-benar ia pahami.

Lihat selengkapnya