---
Ia berbalik masuk ke dalam kamar, lalu menjatuhkan diri di sofa kecil yang terletak di sudut ruangan. Lampu temaram hanya menyisakan bayangan panjang tubuhnya yang membungkuk, seolah menanggung beban dunia di atas pundaknya.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Haruskah aku menyerah pada kematian Kenneth? Tapi kenapa... kenapa wajah Eille begitu jelas di dalam ingatanku saat itu? Kalau bukan dia, siapa lagi yang membunuhnya?" gumamnya lirih, nyaris tidak terdengar oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri.
Kepalanya tertunduk, tangan mengepal di atas lutut.
Hiks... hiks...
Tangis yang sejak tadi ia tahan akhirnya pecah juga. Air mata jatuh, tidak terbendung. Ia terisak dalam diam, seperti luka yang diam-diam pecah dalam sunyi. Nafasnya tersendat, tidak teratur, seolah tiap helaan menyayat bagian dalam dadanya yang paling rapuh.
Ia menutup wajahnya, berusaha menyembunyikan luka itu meski tidak ada seorang pun di sana.
Menit demi menit berlalu dalam keheningan yang menggantung berat. Genta akhirnya bangkit dari duduknya, langkahnya pelan, seolah setiap gerakan masih dibebani sisa tangis yang belum sepenuhnya reda.
Ia berjalan menuju kamar mandi, membuka pintu perlahan dan menyalakan keran. Gemericik air menyambutnya, memantulkan suara yang menenangkan namun asing di tengah keruwetan pikirannya. Ia menatap cermin dan melihat wajah yang tampak asing bagi dirinya sendiri. Mata sembab, rahang mengeras, dan pandangan yang kosong.
Dengan kedua telapak tangannya, ia menyendok air lalu membasuh wajahnya berkali-kali, berharap air dingin itu bisa meredakan bara di dalam dadanya. Namun rasa sesak itu tak serta-merta pergi. Ia hanya bisa menatap bayangannya.
Begitu keluar dari kamar, Genta mendapati ruang tamu kosong. Gelas kopi masih ada di atas meja, tinggal setengah isi, tapi sosok Eille sudah tidak terlihat. Hanya aroma parfumnya yang samar-samar tertinggal di udara, membaur bersama kehangatan pagi yang pelan-pelan menembus jendela.
Genta berdiri mematung sejenak. Hening ini terasa berbeda. Bukan lagi hening karena amarah, tapi hening yang menyisakan tanya.
Ia berjalan ke balkon apartemen. Angin pagi menyentuh wajah Genta saat ia berdiri di balkon, mencoba mengurai simpul pikirannya yang masih kusut. Namun ketenangan singkat itu terganggu oleh getaran halus dari ponsel di saku celananya. Sebuah nomor asing muncul di layar. Alisnya bertaut sesaat sebelum ia mengangkatnya tanpa banyak pikir.
“Pak Genta, ini saya, Claude. Maaf mengganggu waktu Anda.”
Nada suara di seberang terdengar hati-hati.
“Ada apa?” Genta menanggapi singkat.