Behind The Mask

Retchaan
Chapter #34

BTM ~ 34

---

Langit Paris masih diselimuti kabut tipis ketika Genta melangkah keluar dari hotel. Jas panjangnya berkibar tertiup angin pagi yang dingin, dan langkah kakinya membawanya menyusuri gang sempit berlapis batu. Kota itu belum sepenuhnya terbangun toko-toko masih menutup pintu, hanya aroma roti hangat dari boulangerie yang menyapa indra penciuman.

Ia berhenti di depan sebuah bangunan tua bergaya art nouveau, cat temboknya mulai mengelupas dimakan usia, namun masih menyimpan keindahannya. Pintu kayu berukir dan jendela lengkung menandakan bahwa tempat itu pernah berjaya pada zamannya.

Dengan satu tarikan napas, Genta mendorong pintu itu perlahan. Suara lonceng kecil berdenting saat ia masuk, mengiringi keheningan yang menyambutnya. Di dalam, suasana terasa redup, penuh pajangan kaca, dan aroma kayu tua bercampur logam. Di sinilah ia akan bertemu dengan seseorang yang, konon, tahu banyak tentang permata. Termasuk satu yang kini tengah disimpan Genta.

Di sudut ruangan, duduklah seorang pria tua dengan sorot mata tajam di balik kacamata tebalnya. Tangannya yang berkerut namun cekatan terus bekerja di atas meja, mengasah sebuah batu permata dengan alat kecil yang mengeluarkan suara dengung halus.

Tanpa menoleh, ia berkata, suaranya serak namun berwibawa. "Ada apa kemari?" tanyanya dengan aksen Prancis-Inggris.

"Aku dengar Anda ahli dalam batu permata," ucap Genta tenang, sorot matanya tajam.

Pria tua itu menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu menghela napas pelan. "Kalau soal itu... aku memang cukup terkenal."

Genta mencondongkan tubuh, memperlihatkan kalung permata milik ibunya. "Bisakah kau membongkar permata ini untukku?"

Si pria tua yang sedari tadi sibuk dengan kaca pembesar dan pinsetnya, akhirnya menghentikan gerakan. Ia menaruh alat di tangannya perlahan, seolah disentak oleh sesuatu. Tatapannya mengarah pada kalung itu, dan dalam hitungan detik, sorot matanya berubah. Kerutan di wajahnya dalam, napasnya tertahan.

Ia memicingkan mata, lalu mendekat. “Benda ini…” gumamnya pelan. “Aku yang membuatnya. Di mana kau mendapatkannya?”

Genta menatapnya lurus. “Dari ibuku. Ini miliknya. Kau mengenalnya?”

“Ada begitu banyak orang yang datang… mana sempat aku mengingat semuanya, apalagi di usiaku yang seperti ini,” ucap si pria tua, nadanya terdengar samar, nyaris seperti gumaman. Namun, ia tidak melepas pandangannya dari kalung itu, jemarinya perlahan menyusuri lekuk logam dan detail ukiran yang nyaris tidak kasatmata. “Tapi kalau ini hasil dari tanganku tidak mungkin aku melupakannya.”

Genta menatapnya lekat-lekat. Senyum tipis muncul di wajahnya, dingin dan dalam waktu bersamaan penuh keyakinan. “Itu artinya… aku berada di tempat yang tepat.”

“Biar kulihat lebih dekat,” ucap pria tua itu, mengulurkan tangannya.

Tanpa banyak kata, Genta menyerahkan kalung permata itu. Jemari tua yang cekatan langsung menelusuri setiap sisi logam dan batu berharga itu, lalu berhenti pada bagian tertentu. “Ada sesuatu di dalamnya… semacam ruang tersembunyi. Tapi membukanya tidak semudah yang kau kira. Aku tidak bisa menyelesaikannya dalam waktu singkat.”

Genta mengernyit. “Lalu bagaimana aku bisa tahu kapan selesai? Aku bukan orang sini.”

“Kalau begitu, datanglah dua hari lagi.”

“Tidak bisa. Aku harus tahu apa yang tersembunyi di dalamnya, sekarang.”

Lihat selengkapnya