Behind The Mask

Retchaan
Chapter #35

BTM ~ 35

---

Genta terbangun dengan napas memburu. Cahaya temaram dari lampu di sudut ruangan menyambut matanya yang masih buram. Aroma antiseptik begitu kuat menusuk hidungnya, sementara detak jantungnya berdetak serempak dengan bunyi monoton dari alat monitor di samping ranjang.

Langit malam terlihat dari celah tirai jendela rumah sakit. Suasana di sekitarnya sepi, hanya suara pelan dari pendingin ruangan dan sesekali langkah suster di koridor yang menemani keheningan itu.

Ia mencoba mengangkat tubuhnya, namun nyeri di bagian perut langsung membuatnya meringis. Satu tangan bergerak ke bawah selimut, menyentuh perban yang membalut luka tusuk itu. Kenyataan pahit bahwa semua yang terjadi sebelumnya bukan sekadar mimpi buruk.

Beberapa detik kemudian, pintu terbuka perlahan. Seorang perawat masuk, kaget melihatnya sudah sadar.

"Anda sudah bangun? Syukurlah..." ucap perawat itu dengan nada lega. "Saya akan memanggil dokter dan seseorang yang sudah menunggu Anda sejak tadi."

Genta hanya bisa mengangguk pelan. Dadanya masih sesak, tapi pikirannya mulai bekerja.

“Apakah mereka berhasil mengambil kalung itu?”

Dan lebih dari itu—

"Apakah pesan terakhirku sampai?"

Tidak lama kemudian, pintu terbuka kembali. Seorang dokter masuk bersama seseorang yang berdiri beberapa langkah di belakangnya rambutnya terikat rapi, wajahnya tegang namun matanya tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran.

Claude.

Genta menatapnya sejenak, sebelum mengalihkan pandangannya ke langit-langit. Ada sesuatu yang bergolak di dadanya, entah karena rasa sakit atau karena kehadiran Claude yang tidak ia duga.

Dokter mulai memeriksa alat-alat di sekitarnya, sementara Claude tetap diam, berdiri di sisi tempat tidur.

“Kenapa kau ada di sini?” tanya Genta, suaranya serak namun tetap tajam.

“Dipta yang memintaku menyusul anda,” jawab Claude singkat, namun tidak ada nada keterpaksaan dalam ucapannya.

Beberapa detik kemudian, dokter menyelesaikan pemeriksaannya. Ia mengangguk pelan, lalu meninggalkan ruangan, memberi ruang bagi keduanya untuk saling bicara tanpa gangguan. Saat pintu menutup pelan di belakang sang dokter, keheningan kembali menggantung di antara mereka.

Genta menghela napas panjang, sejenak sebelum menatap Claude dengan sorot mata yang sulit ditebak. “Kau terbang jauh-jauh ke sini. Bagaimana dengan kakimu?” tanyanya, nadanya terdengar datar seolah tidak peduli, namun justru menyiratkan sebaliknya.

Lihat selengkapnya