---
Suara gemercik air dari kamar mandi mengusik tidur Claude, membuat kelopak matanya perlahan terbuka. Sekejap ia mengedip, mencoba menyesuaikan pandangannya dengan cahaya temaram dari lampu ruangan.
Tatapannya segera terarah ke ranjang pasien yang kosong.
Claude sontak bangkit dari sofa. Jas panjang yang semula membungkus tubuhnya jatuh ke lantai tanpa ia pedulikan. Jantungnya berdetak lebih cepat saat matanya menatap ranjang itu yang kini tertata rapi, tidak ada bayangan Genta di sana.
Dengan langkah cepat namun masih terbungkus kekhawatiran, ia mendekat, kemudian mendengar jelas suara air mengalir dari balik pintu kamar mandi.
“Pak Genta?” panggilnya pelan, setengah was-was.
Tidak ada jawaban.
Claude mengatupkan bibirnya rapat. Ia tahu pria itu dingin dan keras, tapi tetap saja, luka tusuk yang belum sembuh seharusnya membuatnya tetap di tempat tidur.
Tangan Claude bergerak menuju gagang pintu namun sedikit ragu. Belum sempat ia mengetuk, suara air berhenti.
Dan sesaat kemudian, pintu kamar mandi terbuka perlahan. Sosok Genta muncul, satu tangan menahan perutnya yang masih diperban, sementara wajahnya terlihat sedikit pucat, tapi tetap dengan ekspresi tenangnya yang biasa.
“Kau bangun?” tanyanya datar.
Claude menghela napas lega, lalu meletakkan tangannya di pinggang. “Kenapa anda tidak tetap di ranjang? Anda masih dalam masa pemulihan.”
Genta hanya menatapnya sejenak, matanya tenang namun menyimpan permintaan. Ia mengangkat tangannya yang memegang alat cukur dan sebotol kecil foam.
“Kau bisa membantuku?” tanyanya datar, tanpa ragu.
Claude sempat terdiam, menatap barang-barang di tangan pria itu. Di balik ekspresi tenangnya, Claude bisa menangkap sesuatu, mungkin bentuk kepercayaannya padanya.
Sebelum Claude terbangun tadi, seorang perawat sempat datang memeriksa kondisi Genta. Saat itu, Genta meminta bantuan membeli perlengkapan cukur ia tidak tahan dengan bulu-bulu di wajahnya yang mulai tumbuh tak beraturan. Ia berkata akan mengganti uangnya nanti, setelah keluar dari rumah sakit.
Claude menghela napas pelan, kali ini bukan karena lelah, tapi karena lega. Ia menyambut alat itu dari tangan Genta.
“Baiklah,” ucapnya singkat.
Tanpa banyak kata, keduanya berjalan perlahan masuk kamar mandi. Tidak ada percakapan, hanya denting kecil dari alat yang bersentuhan, dan langkah Genta yang masih tertahan karena rasa sakit di perutnya.
Begitu pintu kamar mandi tertutup, cahaya lampu menyinari cermin besar yang memantulkan bayangan mereka. Dua sosok dalam ruang sempit yang tidak memberi banyak pilihan untuk menjaga jarak. Dinding-dinding ubin terasa dingin, dan suara air yang mengalir dari keran wastafel menambah kesan hening yang menggantung di antara mereka.
Claude berdiri tepat di depan wastafel, sibuk membasahi handuk kecil dengan air hangat. Di belakangnya, Genta berdiri nyaris menempel, satu tangan bertumpu pada dinding di samping kepala Claude untuk menjaga keseimbangan tubuhnya yang masih lemah. Tidak ada kursi, tidak ada ruang longgar yang ada hanya tubuh mereka yang nyaris bersentuhan.