---
Melalui Dipta, Genta akhirnya mendapatkan jadwal pertemuan dengan Tuan George Will sosok yang dikenal dingin, tajam, dan sulit dijangkau. Meski tubuhnya belum pulih sepenuhnya, Genta mulai bisa bergerak dengan lebih leluasa. Luka tusuk di perutnya memang belum sepenuhnya sembuh, tapi kini hanya menyisakan rasa perih kecil, seperti pengingat samar akan ancaman yang nyaris merenggut nyawanya.
Pagi itu, sinar matahari Paris menerobos masuk dari jendela hotel, menyentuh wajah Genta yang sedang berdiri di depan cermin. Jasnya tergantung rapi di pundak, dan langkahnya sudah lebih tegap dari hari-hari sebelumnya. Ia membetulkan dasi, lalu melirik bayangan dirinya dengan sorot mata tajam bukan sekadar seorang pria dalam masa pemulihan, melainkan seseorang yang kembali melangkah ke arena permainan yang jauh lebih besar.
Pertemuan malam itu digelar di sebuah restoran mewah di kawasan Saint-Germain-des-Prés tempat para petinggi bisnis Paris menyusun rencana besar di balik gelas-gelas anggur berumur puluhan tahun dan senyum-senyum yang sarat makna. Interiornya klasik, elegan, dengan sentuhan marmer dan lampu gantung temaram yang memantulkan cahaya ke kristal meja dan jam tangan para elit yang duduk di sana.
Di tengah ruangan, duduklah George Will sosok karismatik berusia enam puluhan. Rambutnya yang memutih disisir rapi ke belakang, dan setelan Armani abu-abu gelap membalut tubuhnya dengan kesempurnaan. Tatapannya tajam, seperti mata elang yang sudah kenyang mengamati dunia dari ketinggian kekuasaan. Di sekelilingnya, beberapa tokoh penting tampak sedang berdiskusi serius, namun tetap dalam nada santai yang menipu.
Genta melangkah masuk ke ruangan itu dengan langkah tenang dan percaya diri namun tidak mencolok. Rasa perih di perutnya sesekali menyengat, mengingatkannya akan luka yang belum benar-benar pulih. Tapi di wajahnya hanya ketenangan. Matanya langsung terkunci pada sosok George Will.
Namun baru beberapa langkah mendekat, sebuah tangan tegap terulur, menghentikannya. Seorang pria tinggi berpakaian gelap berdiri menghadang, sorot matanya curiga, tubuhnya menegang seperti dinding batu.
Genta berhenti, menatap tangan itu sekilas sebelum mengalihkan pandang ke wajah si penjaga. Tubuhnya tetap rileks, tapi sorot matanya menandakan ia tidak suka dihalangi. Pertemuan belum dimulai, tapi ketegangan sudah menggantung di udara.
"Anda hendak ke mana?" tanya pria tinggi berseragam hitam, pengawal pribadi dengan ekspresi tidak terbaca. Suaranya tegas dalam bahasa Prancis yang fasih.
Genta menoleh sedikit. "Aku di sini untuk bertemu dengan seseorang," dengan nada tenang dan bahasa yang sama.
"Maaf, tidak bisa. Saat ini sedang berlangsung pertemuan tertutup."
"Aku bagian dari pertemuan itu."
Pria itu mengangkat dagunya sedikit, menilai. "Siapa nama Anda?"
"Genta Krieger," jawab Genta tanpa ragu.
Pengawal itu menatapnya sejenak, lalu bicara melalui alat komunikasi di telinganya. Wajahnya tetap datar saat ia mendapat respons. Matanya tidak lepas dari Genta. Beberapa detik berlalu dalam ketegangan.
"Nama Anda tidak tercantum dalam daftar tamu," ujarnya akhirnya.
Sebuah senyum tipis terbit di sudut bibir Genta. Ia menoleh sedikit, seolah enggan membuang energi. "Beri tahu Tuan George Will bahwa aku di sini."