---
Begitu pintu terbuka, aroma kopi mahal dan cerutu tipis menyeruak dari dalam. Ruangan itu lebih sunyi dari yang ia duga. Di sofa kulit yang panjang, duduklah Tuan George Will dengan sikap elegan dan mata yang langsung menelusuri Genta dari ujung kepala hingga kaki seolah menilai siapa sebenarnya pria yang baru saja ia izinkan masuk ke dunianya.
"Hallo, Tuan George Will," sapa Genta dengan sopan, sembari sedikit membungkuk tanda hormat.
Pria tua di hadapannya menautkan jemari, lalu menyebut pelan, seolah mengeja sesuatu yang tidak asing, "Genta Krieger… Krieger?" Ia menyipitkan mata, seolah mencoba menyambungkan nama itu dengan ingatannya. "Hemm… Tuan Krieger."
Genta tersenyum kecil, sedikit kaku. "Bukan. Aku anaknya."
Sebuah senyum samar muncul di wajah George, penuh makna namun sulit ditebak. Ia memberi isyarat dengan tangannya ke kursi di seberang meja. "Silakan duduk."
Genta perlahan duduk, menyiapkan diri untuk percakapan yang bukan hanya soal bisnis, tapi juga soal kekuasaan dan niat tersembunyi yang mungkin tidak akan pernah disebutkan secara langsung.
Tuan George menatapnya tanpa basa-basi, sorot matanya tajam dan dingin seperti orang yang telah terlalu lama berkecimpung di dunia yang keras dan penuh tipu daya. Ia bersandar sedikit ke belakang, menyilangkan kaki dan mengetuk-ngetukkan jemarinya di sandaran sofa kulit mahal.
“Kau ingin aku apa?” tanyanya, langsung menembus ke inti tanpa jeda basa-basi, seolah waktu adalah mata uang yang tidak ingin ia buang percuma.
Genta tidak terkejut dengan ketegasan itu. Ia menghela napas perlahan, lalu menegakkan tubuhnya. Suaranya tenang, tapi dalam.
“Saya ingin Anda mempertimbangkan untuk berinvestasi… pada pameran lukisan mendiang ibu saya, Jennyta Arsellyna.”
Tuan George mengangkat sebelah alis. “Hmm, itu saja?” tanyanya datar, seolah belum sepenuhnya yakin.
Genta mengangguk ringan, lalu menambahkan dengan nada yang lebih tegas namun tetap sopan, “Dan… saya harap Anda bersedia mengajak para pebisnis yang mampu menilai nilai sejati lukisan-lukisan ini. Biar saya yang menawarkan secara langsung pada mereka. Saya ingin karya ibu saya berada di tangan yang tepat.”
Hening menyusup di antara mereka, membentang seperti garis tipis antara harapan dan penolakan. Genta menatap sosok di depannya dengan penuh harap, tapi tetap menjaga rautnya tetap tenang.
Tiba-tiba pintu terbuka. Pengawal yang tadi menyambut Genta masuk, melangkah cepat dan membisikkan sesuatu ke telinga Tuan George.
Pria tua itu bangkit tanpa banyak bicara. Jasnya ia rapikan dengan gerakan pelan namun tegas. Tatapannya kembali tertuju pada Genta, dingin seperti es yang tidak bisa ditembus bara semangat sekalipun.
"Aku tidak tertarik dengan itu semua," ucapnya, lalu melangkah melewati Genta begitu saja. Namun di ambang pintu, ia menambahkan tanpa menoleh, "Tapi kalau ada sesuatu yang besar, aku bisa mempertimbangkannya."
Genta menggertakkan rahangnya perlahan. “Tapi… bisakah Anda mempertimbangkannya untuk saat ini?” Suaranya terdengar rendah.
Tuan George berhenti sejenak, lalu menoleh sedikit, hanya sepintas.
“Kita lihat nanti.”
Dan pintu pun menutup di belakangnya. Meninggalkan Genta dalam diam tapi tidak kalah. Karena bahkan penolakan pun bisa menjadi celah pertama dalam negosiasi yang panjang.