---
Dua hari telah berlalu sejak pertemuan itu, dan pagi ini ponsel Genta bergetar dengan pesan singkat dari Jib:
"Pria tua itu sudah selesai dengan kalungnya."
Tanpa menunggu lama, Genta segera berkemas. Rasa perih di perutnya masih sesekali datang menghantam, tapi itu bukan alasan untuk berhenti. Waktu adalah musuhnya, dan ia harus lebih cepat dari bayang-bayang yang membuntutinya.
Ia mengenakan jaket gelap dan topi, menyamarkan dirinya semampu mungkin. Langkahnya tenang namun sigap, menyusuri lorong-lorong kota Paris dengan kewaspadaan tinggi. Ia tahu, di luar sana, mata-mata mafia Bianco Black mungkin masih mencarinya dan mungkin saja lebih dekat dari yang ia perkirakan.
Tidak boleh ada yang tahu ke mana dia pergi.
Genta menyelinap ke gang sempit, lalu keluar di seberang jalan yang lebih sunyi. Taksi yang telah dipesan Jib sejak pagi menunggunya di ujung trotoar.
Mobil melaju perlahan, tidak meninggalkan jejak. Genta bersandar, menyiapkan dirinya untuk jawaban yang selama ini ia cari yaitu jawaban dari kalung ibunya yang akhirnya akan terbuka.
Genta berdiri di depan sebuah hotel tua bergaya klasik yang masih mempertahankan pesonanya dari abad ke-19. Bangunan berlantai tiga itu berdiri anggun di antara deretan bangunan modern Paris, dengan fasad batu berwarna krem dan jendela-jendela tinggi yang dipagari balkon besi tempa. Meski usianya terlihat dari cat yang sedikit memudar dan ukiran di dinding yang mulai aus, hotel itu masih layak dihuni bahkan menyimpan nuansa elegan yang usang namun berwibawa.
Ia menatap ke arah plakat hotel yang setengah berkarat, lalu memeriksa sekeliling, memastikan tidak ada yang mengikutinya. Setelah merasa aman, Genta melangkah masuk ke lobi yang remang-remang, disambut aroma kayu tua dan karpet yang sudah sedikit usang, namun bersih.