15 Desember.
"Wah, bagus banget hasilnya!" Winaya tersenyum cerah pada Bu Maria, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia tersebut yang sedang menunjukkan selebaran poster promosi SMA Swasta Budi Permata. "Bu Maria memang paling top, deh!"
"Ah bisa aja kamu Nay, ini kan karena kamunya yang photogenic!" Sahut wanita berusia kira-kira 30an itu. Ia kemudian meletakkan selebaran itu di atas meja, mengutak-atik laptop yang ada di sebelahnya sebentar, dan menunjukkannya kepada Naya. "Nah, kalau yang ini versi untuk dipublikasikan di media sosial. Gimana, Naya?"
"Bagus, Bu! Tapi kayaknya kalau buat sosmed, gambar saya-nya terlalu besar nggak, sih?" Tanya Naya, insecure membayangkan wajahnya yang sebesar itu terpampang jelas di media-media sosial sekolah dan akun-akun lainnya. Belum lagi jika post tersebut dipromosikan, akan ada berapa banyak orang yang melihat wajahnya?
"Hem, menurut Ibu sih pas. Menurutmu kegedean, ya?"
"Iya deh Bu, nanti orang-orang malah salah fokus. Padahal kan maksudnya mau kasih tahu jalur masuk beasiswa dan tanpa tes SMA Budi Permata..."
Bu Maria terkekeh pelan mendengar jawaban perempuan itu. "Betul juga, sih. Memang pemikiran Duta sekolah banget, ya. Nanti Ibu perbaiki sekalian tanya-tanya lagi sama Pak Benny, deh. Beliau kan lebih tahu kalau soal desain dan pemrograman gini. Oke Naya, kamu boleh kembali ke kelas. Terima kasih, ya!"
"Saya yang berterima kasih, Bu. Hehehe Oke Bu, saya kalau gitu balik ke kelas, ya!" Winaya mengangguk memberikan salam, kemudian berdiri dari meja Bu Maria dan hendak beranjak meninggalkan ruang guru. Namun belum melangkahkan kaki, matanya tertuju kepada satu laki-laki yang duduk dan menulis-nulis di atas meja milik guru ekonomi yang terletak dekat dengan pintu keluar itu. Winaya mengurungkan niatnya untuk cepat-cepat keluar dari ruangan itu, dan malah melangkah pelan mendekati laki-laki yang terlihat sedang kesusahan itu.
"Gabi!" Naya berbisik kecil, mengagetkan Gabriel hingga ia melepaskan pulpen dari genggamannya. "Ngapain lu? Remed?"
"Gak usah diperjelas kali Nay," Gabi memandang perempuan itu sambil cemberut. Bayangin aja, Gabi merupakan satu-satunya dari kelas 11 IPS 1 yang memiliki nilai UAS Ekonomi di bawah KKM. Ketahuan bahwa ia harus ikut ujian ulang itu sangat memalukan. Apalagi, ketahuannya oleh seorang Duta SMA Swasta Budi Permata yang pintar dan disayangi guru-guru, Winaya Sheila!
"Mau gue tungguin? Kayaknya lu udah mau selesai, deh." Naya melirik kertas ujian yang ada di hadapan Gabi. "Eh, yang nomor tiga kayaknya caranya gak begitu, deh."
Gabi, dalam keadaan masih cemberut, mengalihkan pandangannya dari perempuan itu menuju kertas yang ada di depannya, dan buru-buru mengganti angka-angka yang ada di atasnya dan kembali mengerjakannya. Gabi ternyata bisa serius juga ya, batin Naya, kemudian duduk di bangku milik guru biologi, yang terletak di sebelah bangku guru sejarah. Gabi, salah satu sahabat Naya sejak SMP, sudah dikenali perempuan itu sebagai orang yang tajir, pandai bergaul, dan suka bermain--atau lebih tepatnya terlalu bermain-main. Begitu masuk SMA, Ayah dan Ibunya Gabi yang hampir tidak pernah muncul di rumahnya itu secara rutin memberikan Gabi uang jajan dengan jumlah besar, yang membuat lelaki itu hidup bermain-main dan menghambur-hamburkan uang bersama orang-orang di sekelilingnya. Beruntung, Bram yang merupakan sahabat Gabi dari SD memiliki solusi cerdas Gabi untuk menghabiskan uangnya namun juga (sepertinya) mengembalikan uangnya. Kemudian lahirlah Violet Veins, yang membuat Gabi berhenti melakukan hal-hal tidak penting, meski sifat senang bergaulnya itu tidak pernah berubah hingga sekarang.
"Nah gitu dong, belajar yang bener. Kan bisa ngerjain jadinya." Winaya tersenyum melihat Gabi yang telah menyelesaikan nomor terakhir dari soal remidial itu. Satu setengah tahun berlalu, dan laki-laki itu telah banyak berubah. Kalau saja Bram tidak secara tiba-tiba mengusulkan untuk membawa band mereka rekaman dengan label, entah apa yang akan terjadi dengan anak itu.
"Iya Nay, iya iya," Gabi masih cemberut, namun kemudian terkekeh mendengar pujian Naya. Ia kemudian memisahkan lembar jawabannya tersebut, meletakkannya di tumpukan kertas ulangan milik Pak Heru sang guru ekonomi, kemudian bangkit berdiri dari bangku guru tersebut. "Ngomong-ngomong lu ngapain deh nungguin gue? Gue kan jadi geer."
"Dih, geer banget!" Seru Naya sambil ikut berdiri, kemudian berjalan mengikuti Gabi. "Lu pikun apa gimana, deh? Hari ini itu tanggal penting, tahu! Habis ini kita harus langsung ke sana!"
Hah? Tanggal penting? Gabi memutar otaknya sambil berjalan menuju koridor kelas IPS. Tanggal penting.. Desember... 15 Desember... Tanggal penting?
"AH!!" Gabi berteriak, lalu melihat waktu yang ada di layar handphonenya, pukul 15.02. Artinya, masih ada 6 jam lagi sebelum video klip dan single kedua Violet Veins beredar di platform musik online. "Gila, tanggal penting! Si Bram udah tahu? Dia emang udah bisa pulang sekarang, ga ada remed? Lu gak ada kegiatan lagi, Nay!?"
"Gue mah ke sekolah cuma karena pertemuan Duta sama ketemuan sama Bu Maria aja. Kalau Bram gue gatau sih, tapi yakali orang kayak Bram remedial..." Jawab Naya. Kepintaran Bram sudah Naya ketahui sejak satu kelas dengannya di SMP. Bram yang suka pemrograman komputer itu sangat pintar memahami rumus, mengerjakannya, bahkan mengaplikasikannya dalam kehidupan. Entah apa sebenarnya yang ia makan, tapi katanya dia jadi begitu karena keseringan nonton serial drama jepang bertema Fisika. Karena di balik kepintarannya itu, sama seperti teman-temannya di klub IT sekolah, ia adalah seorang otaku maniak Jepang yang super duper socially awkward. Bram memang agak aneh, tapi dia pintar dan baik hati, batin Naya.
"Ya udah. Lu udah beres-beres tas? Habis ini gue ke kelas lu, deh! Soalnya kayaknya barang-barang gue masih berantakan." Naya bisa membayangkan kartu UNO, mainan ular tangga, monopoli dan board game lainnya yang sengaja dibawa laki-laki itu berserakan di kelasnya. Padahal dia sendiri harus mengerjakan remidial, namun rasanya diri Gabi tidak bisa dipisahkan dari yang namanya bermain. "Nanti gue ke kelas lu, Nay!" Gabi mengulangi perkataannya sambil memasuki kelas 11 IPS 1, sementara Naya berjalan terus ke kelas yang berada di sebelah kelas Gabi.
"Naya!" Siswi-siswi kelas 11 IPS 2 langsung menoleh begitu mendengar suara pintu dibuka, dan menyerukan nama gadis yang baru saja memasuki kelas itu. "Gimana, udah selesai urusan Duta-nya?" Tanya gadis berambut ikal, Ajeng namanya.
"Udah kok dari tadi, cuma tadi ada urusan sebentar..." Naya tersenyum kemudian menghampiri mejanya, dan langsung membereskan tasnya sendiri. "Kalian kok belum pada pulang?"
"Nay, kita mau karaokean bareng-bareng nih! Kamu ikut juga, dong!" Bina, perempuan dengan model rambut pixie cut menghampiri meja Naya. "Semua UAS, remedial dan tugas tambahan selesai hari ini. Ayo lah, refreshing! Udah lama banget kita gak pergi bareng!"
Naya mengedipkan matanya, kemudian menghela nafas. "Yah, maaf guys, aku udah ada janji duluan, nih. Bener-bener gak mungkin banget untuk dicancel... Kalau misalnya weekend besok mau jalan lagi, aku ikut deh!" Ujar Naya penuh penyesalan. Sudah lama dia nggak ikut teman-teman sekelasnya hang out, entah karena urusan Duta atau karena urusan Violet Veins. Mengapa semuanya harus bertubrukan seperti ini, sih?