BEHIND THE STAGE

I. Majid
Chapter #3

KEMBALINYA MELANI

Aku pulang ke apartemen dalam keadaan mengantuk luar biasa. Tumben-tumbenan. Ini masih jam delapan malam dan berdasarkan kebiasaan satu bulan belakangan ini, mustahil aku mengantuk semudah ini.

David baru saja mengirim pesan. Ia memintaku datang pagi-pagi ke gedung pagelaran seni tempat akan diadakannya pesta Penghargaan Film Indonesia untuk gladi bersih. Ivanka menjadi salah satu penyanyi yang mengisi acara. Akan ada drummer baru katanya. Aku tak peduli mereka siapa yang penting mereka mahir dan bisa mengikuti alur musikku. Di benakku, terlintas begitu saja lagu berjudul Luka Berat untuk dijadikan lagu pembuka.

Mulutku menguap lebar ketika masuk. Pertemuanku—(kupikir itu tidak pantas disebut pertemuan), lebih baik kusebut kebetulan saja—ketika melihat Rama duduk di meja nomor 15 masih terngiang-ngiang di kepala. Dia orang yang baik. Merupakan sosok remaja yang termasuk paling beriman yang pernah kukenal dulu. Tentu saja ia tampan, aku pernah terkagum-kagum mengingat dulu Rama adalah seseorang yang bersinar di antara pramusaji lain. 

Bibirku menyungging senyum kecil mengingat betapa kekanak – kanakannya ia dulu setiap kali berhadapan denganku. Ah, aku menarik kembali senyumku. Ini tidak sesuai dengan apa yang kuhadapi dua jam yang lalu saat aku bersusah payah menahan gemetar, kabur dari tatapan matanya. Dia berbeda—berdasarkan sudut pandangku tadi—dari yang pernah kulihat terakhir kali. Ia terlihat seperti pria dewasa yang siap menyakiti hati para wanita. Klise. Akhir-akhir ini, sifat paranoidku pada orang-orang semakin sulit dikendalikan dan kurasa itu menjadi salah satunya. Rama tidak pantas mendapatkan perlakuan seperti yang kutunjukan tadi seharusnya. Jadi, kuputuskan untuk mengabaikannya saja bagai orang yang tak penting sama sekali.

Tanganku meraba dinding samping pintu demi menemukan sakelar, menyalakan lampu sambil berdeham. Apartemen ini tidak terlalu besar dan sudah patut untuk kusyukuri bahwa ini adalah hasil jerih payahku meniti karir sebagai penyanyi. Di dalam kamar, aku membuka scarf yang membelit leher kemudian melemparkannya asal ke atas sofa. Aku mengerjap, merasa tak percaya dengan apa yang kutemukan setelah memusatkan perhatian ke sekeliling kamar. 

Ajaib, ada sihir yang tampaknya baru saja merubah kamarku jadi serapih ini. Seharusnya banyak tumpukan scarf berbagai warna di atas sofa itu, Aku ingat pakaian kotorku yang sudah tiga hari tidak ku-laundry mestinya berperan bagai ancaman di dalam keranjang binatu. Kini, mereka raib dari singgasananya di sebelah almari pakaian. Aku beralih ke ruang penyimpanan sepatuku yang berada di balik sekat kamar. Keajaiban belum berakhir, seharusnya sepatu-sepatu itu tidak berbaris disiplin di dalam rak. Sekarang lihatlah, rak itu tampak seperti etalase toko sepatu bermerek. 

Cemerlang. Ini keterlaluan. 

Sebegitu parahnyakah penyakit amnesia yang kuidap sampai-sampai aku tak ingat kapan aku melakukan ini? Tak ada orang lain yang tinggal di dalam apartemen selain Ivanka dan gumpalan-gumpalan kain yang setia. Yah, ini pesona yang indah, dan aku tak tahu harus memberi apresiasi pada siapa. 

 “Kamu pikir ada penyihir yang masuk ke dalam apartemen kamu?”

Aku menoleh ke arah pintu begitu mendengar suara seseorang menyembul. Terkejut bukan main. Ibu tiba-tiba sudah berdiri dan berjalan ke arahku sambil tersenyum. Ya, aku memang pernah menyerahkan kunci cadangan pada ibu saat pertama kali ia datang berkunjung.

 “Ibu?” sapaku. Aku menghambur pelukan padanya sampai wanita berhijab dan berpostur sedang itu terhuyung ke belakang. “Kenapa tidak kabarin Vanny kalau mau datang? Kan bisa dijemput.” 

 “Udah ... Kamu lupa? Yang waktu kamu telepon ibu semalam?” 

 Dahiku mengerut, mencoba mengingat. “Ah, iya … kupikir Ibu tidak serius.” Aku berbalik, membuka jaket dan menaruhnya asal lagi ke atas tempat tidur. Ibu berdecak, ingin komplain tapi berhasil kubungkam lebih dulu. “Kenapa Riska tidak diajak?” 

 Ibu memungut jaket yang baru kuperlakukan tak adil tadi sambil menggumam. Riska adalah anak perempuan ibu yang masih duduk di kelas tiga SMA. Dengan aksen melayu dan kesenanghatiannya bercerita, suara ibu lebih terdengar seperti gema keseharian yang kurindukan. Riska sedang menghadapi ujian semester dan tak bisa pergi ke mana pun dalam tiga hari ke depan. Mustahil baginya mengikuti ibu dari Pekanbaru sana hanya untuk mengunjungiku. Bapak juga tampaknya tak berniat ikut sebab tak bisa meninggalkan toko perabot dan juga kebun sawitnya.

 Ibuku bernama Lana Hafni, ia menggunakan nama belakangnya untuk dijadikan nama panggilan. Katanya, Lana kedengaran seperti nama ABG yang tak lulus sekolah. Padahal menurutku tidak seburuk itu. Kurasa ia tak sepenuhnya salah. Ibu merupakan sosok yang paling disegani di desa tempat tinggalnya karena peran pentingnya sebagai ketua organisasi islam. Ia lebih cocok disebut sebagai Penjelajah daratan Sumatera saking seringnya ia berpergian dalam urusan dakwah. Tentu saja ibu tak setuju awalnya ketika aku memutuskan menerima pinangan David, tetapi melihat minat dan bakatku yang berpengaruh besar dalam perbaikan kepribadianku, ibu pun merestui. 

Jadi, melihat reaksiku beberapa hari lalu yang mengeluh soal munculnya lebam-lebam di tubuhku, aku baru sadar kalau aku sudah bertindak ceroboh. 

Lihat selengkapnya