Behind The Window

Rayi Nanda Siti
Chapter #10

Pak Jamal

Sebelum peristiwa kebakaran terjadi...

Siang itu Pak Jamal berjalan di bawah matahari yang sedang bersinar terik. Berjalan menyusuri jalan yang gersang membuatnya merasa kehausan. Dia mempercepat langkahnya agar segera tiba di pos. Dalam benaknya ia sudah membayangkan segelas air dengan es di dalamnya.

Pos sudah terlihat. Ia berlari kecil agar segera tiba di pos. Tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia terhenti tepat di samping rumah kosong. Ia melihat ada seorang laki-laki sedang mengintip dibalik tembok samping rumah kosong itu. Pak Jamal berjalan pelan, ingin memastikan apa yang sebenarnya orang itu lihat. Setelah diperhatikan, orang itu sedang memperhatikan komplek.

“Maaf Pak! Bapak sedang apa di sini? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Pak Jamal pada orang itu. Orang itu sepertinya sedikit terkejut. Ia menoleh dengan cepat, “Oh anu..anu,” orang itu menjawab dengan gagap lalu pergi.

“Ada apa dengan orang itu?” tanyanya dalam hati. Ia pun segera berjalan menuju pos. Ia langsung meminum air yang ada di kulkas.

Siang itu juga yang bertugas menjaga komplek adalah Pak Danu. Pak Jamal hanya mampir sebentar di pos. Ada barang yang tertinggal di pos dan dia ingin membawanya.

“Eh Pak Jamal, kok ke Pos? Ada apa?” tanya Pak Danu heran melihat Pak Jamal sudah ada di depan pos. Ia melepaskan alas kaki dan masuk ke dalam. “Ada yang ketinggalan Pak,” jawabnya sambil membuka lemari penyimpanan.

“Oh ada yang tertinggal ! Barang apa yang ketinggalan, Pak?” tanya Pak Danu lagi. “Dompet Pak,” jawabnya singkat.

“Ya ampun!” Pak Danu menjawab sambil menggelengkan kepalanya. “Saya pulang lagi Pak!” Pak Jamal langsung pamit setelah mengambil dompetnya. Ia berjalan keluar dan memakai alas kakinya.

Sebelum ia berjalan pulang, ia membalikkan tubuhnya dan berkata, “Hati-hati tadi ada orang yang mencurigakan,” bisik Pak Jamal memberi peringatan pada Pak Danu soal apa yang ia lihat sebelum tiba di pos.

“Ok, ok siap! Makasih infonya Pak!” Pak Danu menjawab dengan sigap. Pak Jamal berjalan keluar. Pak Jamal dan Pak Danu berasal dari kampung belakang perumahan. Kampung itu merupakan kawasan padat penduduk. Pak Jamal menyusuri gang menuju tempat tinggalnya. Dia tinggal di sebuah kontrakan yang bersama istrinya yang sedang hamil.

Ia masuk ke dalam rumahnya. Tak lama kemudian ia keluar dengan keadaan pakaian yang sudah diganti di susul sang istri. Perut istrinya sudah terlihat besar, mungkin usia kandungannya sekitar tujuh bulan.

“Mas, kita jalan nih ke depannya?” tanya sang istri yang sepertinya tidak ingin berjalan kaki menuju gang depan mungkin karena sudah cukup berat berjalan dalam keadaan perut yang sudah membesar.

“Sabar ya sayang! Jika sudah ada rezeki, nanti Mas akan beli motor, biar kalo mau ke mana-mana jadi gampang,” ucap lembut Pak Jamal pada istrinya.

Mereka berjalan menyusuri gang yang jarak dari kontrakan mereka sekitar 300 meter menuju jalan raya. Mereka berjalan cukup lambat karena mengikuti langkah kaki Sang istri. Pak Jamal berjalan sambil memegang tangan istrinya.

Sambil berjalan istrinya bertanya lagi, “Mas, kenapa enggak pinjem dulu motornya Pak Danu dulu bentar? “Maaf sayang, Mas enggak mau ngerepotin orang lain. Enggak apa-apa ya sekarang jalan dulu!” Pak Jamal selalu berbicara lembut pada istrinya. “Iya deh Mas,” jawab sang istri.

Sekitar 15 menit mereka tiba di tujuan mereka yaitu klinik kebidanan. Pak Jamal sepertinya akan memeriksakan kandungan Sang istri. Keadaan di dalam klinik ternyata cukup ramai. Ada beberapa ibu hamil yang ingin memeriksakan kandungan mereka. Pak Jamal mengambil nomor antre. Ia mendapatkan nomor 11, sedangkan saat itu sudah berjalan 5 pasien. Mereka cukup lama menunggu. “Sayang, aku keluar dulu ya! Aku mau ngopi sama ngerokok dulu ya! Nanti kalo sebentar lagi di panggil, telepon aku!” bisik Pak Jamal. Istrinya menjawab dengan mengangguk.

Pada saat itu jam menunjukkan pukul 03.00 sore. Pak Jamal berjalan ke warung kopi yang tak jauh dari klinik. Ia memesan segelas kopi dan sedikit camilan. Sambil menunggu kopi yang belum disajikan, ia menghisap sebatang rokok. Di warung itu cukup sepi, hanya Pak Jamal, pemilik warung dan seorang Bapak yang sedari tadi sudah datang sebelum Pak Jamal. Si Bapak dengan baju merah berlambang parpol duduk diam tanpa berkata sedikit pun.

“Eh Adul! Lu kenape diem aje?” tanya sang pemilik warung pada bapak berbaju merah dengan logat betawinya sambil menyajikan kopi yang di pesan Pak Jamal. Bapak berbaju merah yang bernama Adul itu mengangkat kepalanya yang sedari tadi tertunduk. Bapak Adul itu terlihat murung dan sedih. Sang pemilik warung menghampiri Bapak Adul, “Kenape lu? Lu belom dapet duit buat bayar kontrakan? “ Katanya lu mau minta sama artis ! Siape tu namanya gue lupa?” tambah si pemilik warung.

“Youtuber Diki namanya, Beh! Aye udah kirim pesan lewat Instagram, tapi malah dikatain aye, Beh!” jawab Bapak Adul dengan raut muka kecewa. “Kok dia bisa ngatain lu sih? Emang lu mintanya kayak gimana ampe lu bisa dikatain?” tanya lagi di pemilik warung.

“Aye bilang, mau pinjem duit 5 juta dan bakal dicicil bayarnya. Aye juga bilang buat bayar kontrakan yang nunggak lima bulan, kalo belum bayar bulan ini, aye bakal diusir dari kontrakan. Aye bilang gitu, Beh! Tapi si Diki itu malah bilang enggak tahu diri, dasar tukang pinta-pinta, pokoknya omongannya nyakitinlah Beh!” jelas Bapak Adul yang raut wajahnya berubah menjadi marah.

“Ya Allah Dul! Sabar ye! Gue tahu lu emang lagi butuh dan gue juga tahu lu bukan orang yang suka minta-minta. Ini emang pilihan terakhir lu. Gue pikir artis kalo lagi pada di TV pada bae, eh tahunya malah lebih jahat dari penjahat. Maap juga, Babeh kagak bisa bantu lu!” si pemilik warung merasa iba dengan apa yang dialami Bapak Adul.

Selagi mereka mengobrol, Pak Jamal diam-diam memperhatikan dan mendengarkan apa yang sang pemilik warung dan Bapak Adul bicarakan. Ia juga merasa tak asing dengan wajah Bapak Adul itu. Ia mengingat-ngingat apakah ia pernah bertemu dengannya. Sambil berpikir ia meminum lagi kopinya. Sejenak ia berpikir lagi, “ Dia kan yang tadi siang ngintipin komplek. Apakah tadi dia nekat ingin datang ke rumah Pak Diki,” katanya dalam hati.

“Beh, jujur aja, aye sangat sakit hati dan tidak terima dengan apa yang Si Diki itu katakan. Pokoknya aye mau kasih dia pelajaran!” ancam Bapak Adul yang merasa sakit hati. Pak Jamal terus memperhatikan apa saja yang dibicarakan dua orang tersebut. Ia berpikir Pak Diki yang dimaksud Pak Adul yaitu Pak Diki yang tinggal di komplek yang ia jaga.

“Beh, punya aye berapa semua?” tanya Pak Jamal pada pemilik warung. Ia beranjak dari warung setelah ia menerima pesan singkat dari Sang istri bahwa sebentar lagi ia akan masuk ruangan pemeriksaan.

“Jadi 20 ribu bang!” jawab Si pemilik warung dan Pak Jamal pun merogoh kantongnya dan memberikannya pada pemilik warung itu. Pak Jamal berjalan keluar dari warung itu melewati Pak Adul dan juga memerhatikan wajahnya dengan seksama.

Dalam hati Pak Jamal berkata sambil berjalan menuju klinik,”Harus inget sama muka Bapak-bapak itu. Gue yakin dia bakal balik lagi ke komplek.”

Setibanya di klinik, tempat duduk yang diduduki istrinya sudah kosong. Matanya berkeliling mencari Sang istri. Dari kejauhan ada seorang wanita melambaikan tangan dan itu ternyata istrinya Pak Jamal. Ia menghampiri istrinya yang sedang berjalan menuju ruangan pemeriksaan. Sang istri berdiri di depan ruangan pemeriksaan menunggu Pak Jamal agar bisa masuk ruangan bersama.

Sekitar 20 menit pemeriksaan, mereka keluar dari ruangan. Raut wajah mereka terlihat bahagia. Sang istri tak henti-hentinya tersenyum dan mengelus-elus perutnya yang besar dan berkata, “Sehat terus jagoanku.” Pak Jamal pun sama halnya dengan Sang istri, ia pun terlihat sangat bahagia dan bersyukur. Istrinya dan calon anaknya dalam kondisi sehat. Setelah pemeriksaan selesai, mereka pun pulang.

Setibanya di rumah yang pada saat itu menjelang azan magrib, ia bergegas membersihkan diri, salat magrib dan makan makanan yang ia beli tadi saat perjalanan pulang. Jam 7 malam nanti ia harus bekerja shift malam. Seperti biasa ia bergantian shift dengan Pak Danu.

Ia memantau keamanan komplek sekitar pukul 02.00 pagi dengan berjalan kaki sambil membawa senter, walaupun suasana komplek cukup terang. Di saat ia akan kembali ke pos depan, ia melihat ada seseorang yang mengintip di balik rumah kosong, “WOY, SIAPA LU?” teriak Pak Jamal. Ia berlari ke arah rumah itu. Orang yang mengintip itu merasa keberadaannya di ketahui, ia pun langsung lari. Kejar-kejaran pun tak terelakan. “Woy berenti lu?” teriak lagi Pak Jamal pada orang berbaju serba hitam itu.

Orang berbaju hitam itu berlari ke daerah lahan pembuangan sampah belakang perumahan. Ada tembok setinggi 3 meter yang menjadi pembatas antaran perumahan dan perkampungan. Orang itu memanjat tembok itu dan seketika Pak Jamal kehilangan jejak.

“Sial, gue kehilangan jejak!” Pak Jamal kesal sampil terpogoh-pogoh kelelahan karena saling kejar dengan orang berbaju hitam tadi. Ia tiba-tiba tersadar, “Wah, gue harus cepet-cepet ke pos nih! Gue takut orang tadi balik lagi!” ia pun kembali berlari sekencang-kencangnya.

Setibanya di pos, ia langsung memeriksa sekitaran pos dan seisi pos. Ia takut ada yang dirusak bahkan diambil oleh orang itu. Setelah mengetahui semuanya aman, ia merasa lega. Ia mengambil minum dan beberapa camilan. Ia duduk sambil merilekskan kakinya yang terasa lelah dan pegal. “Aduh, dinas malam ini sangat melelahkan! Apes, apes!” keluhnya.

Jam sudah menunjukkan pukul 06.00 pagi, waktunya ia pulang. Sebelum pulang ia memberitahukan soal kejadian semalam pada Pak Danu yang akan berjaga agar lebih waspada. Pak Jamal juga memberitahukan kejadian semalam pada ketua RT Pak Erik.

Setiba di rumah, Pak Jamal tidak melihat Sang istri di rumah. Biasanya setiap pagi sepulang ia dinas, istrinya selalu menyambutnya dan menyiapkan sarapan. Di saat ia kebingungan mencari sang istri, teleponnya berdering. Ibu mertua Pak Jamal menelepon, “Jamal, buruan ke rumah sakit, Rita jatuh di kamar mandi tadi pagi!” suara Ibu mertuanya terdengar cemas dan seperti akan menangis. Mendengar tentang keadaan Sang istri dan Sang mertua yang berbicara sambil terisak, ia langsung berlari ke luar rumah tanpa mengganti pakaiannya terlebih dahulu.

Terlihat raut wajah Pak Jamal pucat karena cemas. Ia takut terjadi sesuatu pada istri dan calon anaknya. Ia pergi ke rumah sakit bersama tetangganya yang memiliki motor. Dalam hati ia berdoa, “Ya Allah lindungilah istri dan anak hamba,” matanya berlinang.

Sang istri sudah berada di ruangan khusus ketika ia tiba di rumah sakit. Dokter berkata karena benturan yang terjadi akibat terjatuh tadi membuat istrinya harus dioperasi untuk mengeluarkan Sang bayi. “Jika harus seperti itu, apakah istri dan anak saya akan selamat Dok?” tanya Pak Jamal dengan jatuhnya air mata yang tidak bisa ia bendung lagi. “Jika dilakukan secepatnya, InsyaAllah mereka akan selamat,” kata Sang Dokter yakin. “Lakukan Dok, lakukan saja!” Pak Jamal menyetujuinya tanpa ada keraguan apapun.

Ia pun pergi ke bagian administrasi untuk menandatangani beberapa dokumen perihal prosedur operasi. “Bapak Jamal, punya asuransi kesehatan?” tanya seorang petugas administrasi.

“Sedang dalam proses pembuatan Bu,” jawabnya sambil menyeka air matanya. “Oh berarti Bapak mau bayar pribadi?” tanya lagi petugas administrasi.

“Kalo pribadi, kira- kira saya harus bayar berapa?” sebelum menjawab pertanyaan Si petugas administrasi, ia memastikan terlebih dahulu biaya yang harus di bayar.

“Untuk biaya operasi sekitar 20 juta rupiah. Di tambah untuk perawatan ibu dan bayi prematur sekitar 15 juta rupiah Pak,” petugas administrasi menjelaskan.

Pak Jamal menarik napas dalam-dalam berusaha menenangkan hatinya. “Apakah ada potongan harga untuk kami yang kurang mampu?” tanyanya lagi dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

“Jika bapak memiliki KTP dan berdomisili kota ini dan memiliki surat keterangan tidak mampu dari kecamatan setempat, kita bisa memberi potongan harga,” tambah Si petugas administrasi.

Lihat selengkapnya