Keesokan harinya, Bagas bertekad akan memeriksa rumah kosang itu sendiri sepulang sekolah. Ia tidak memedulikan resiko yang akan ia hadapi jika ia benar-benar akan memeriksa rumah itu seorang diri.
Pagi itu, ia sudah bersiap akan berangkat sekolah. Ia menunggu Pak Ucup yang tidak kunjung datang. Biasanya, Pak Ucup akan datang lebih pagi untuk menjemputnya. Tiba-tiba handphone Bagas berdering. Pak Ucup menelepon Bagas.
“Dek Bagas, Pak Ucup enggak bisa anter Dek Bagas sekolah hari ini! Pak Ucup lagi enggak enak badan, nih! Uhukuhuk!” kata Pak ucup sambil terbatuk-batuk.
“Oh iya enggak apa-apa, Pak! Cepet sembuh, Pak!” jawab Bagas santai. Saat itu Jessy sudah berangkat pagi-pagi sekali dengan Panji, sepertinya pergi untuk masalah bisnis mereka.
Mengetahui bahwa Bagas tidak bisa diantar oleh Pak Ucup, ia bergegas berlari menuju rumah Alex. Alex selalu diantar oleh supir. Bagas berniat untuk ikut mobil Alex. “Alex! Alex!” panggil Bagas di balik pintu gerbang rumah Alex. Tak lama pintu gerbang pun terbuka, supirnya Alex yang membukakan pintu gerbangnya. “Alex ada, Pak?” tanya Bagas. “Alex sebentar lagi turun, kok!,” jawab Pak supir ramah.
Bagas tidak menunggu lama, Alex pun keluar dari pintu rumahnya. Bagas melihat sepertinya Alex tidak semangat untuk berangkat sekolah. Ia terlihat lemas. “Kamu sakit, Lex?” tanya Bagas karena ketika mereka berhadapan wajah Alex terlihat pucat. “Enggak kok, aku baik-baik aja!” jawab Alex lesu.
“Kamu ngomong aja lesu gitu! Yaudah enggak usah sekolah dulu!” saran Bagas. “Aku mau sekolah, Bagas! Ayo kita berangkat!” kata Alex sambil menarik lengan Bagas masuk ke dalam mobil.
Di sepanjang jalan mereka tidak berbicara sepatah kata pun. Bagas ingin sekali membicarakan sesuatu tapi melihat Alex yang sepertinya enggan berbicara, membuatnya mengurungkan niatnya untuk berbicara.
Sesampainya di sekolah pun tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Bagas hanya berbicara dalam hati, “Ini anak kenapa sih?” sambil mamandang Alex yang berjalan menuju kelasnya.
Bel istirahat berbunyi. “Aku samperin Alex ah!” kata Bagas sambil berjalan keluar kelas. Dari depan kelas, Bagas melihat Alex berada di bawah pohon di pinggir lapangan. Alex duduk seorang diri."
Kenapa sih itu anak?” gumam Bagas. Ia menghampiri Alex sambil membawa makanan. “Makan dulu!” tawar Bagas. Bagas memberikan makan yang ia bawa pada Alex. Alex menerima makanan yang Bagas kasih tapi ia malah kembali melamun.
“Kamu kenapa sih, Lex?” tanya Bagas berusaha mencari tahu apa yang terjadi pada sahabatnya. Alex menatap Bagas dengan tatapan ketakutan. “Aku takut, Gas!” jawab Alex gemetar. “Lah! Takut kenapa?” tanya Bagas lagi.
“Semalam tepatnya tengah malam, aku main-main di rooftopku, karena aku tidak bisa tidur. Terus aku liat rumah kosong yang di ujung jalan itu lampunya nyala kedap-kedip gitu! Aku liat pake teropong Bonocular biar jelas liat rumah itu! Terus aku liat ada anak yang kayanya lagi disekap gitu! Aku liat-liat lagi ternyata itu Nugie! Dia kaya minta tolong gitu sama aku, Gas! Yang bikin aku takut, orang yang nyekap Nugie ngeliat aku dan paling parah Nugie dipukul sama orang itu!” jelas Alex yang ternyata melihat apa yang Bagas lihat.
“Oh! Jadi kamu toh Lex! Aku kira si Nugie dan si penculik itu ngeliatin aku, ternyata kamu!” seru Bagas. “Jadi kamu liat juga, Gas?” tanya Alex.
“Iya, aku juga malem ada di rooftop! Lampu rooftop kamu dinyalain, ya? Makanya Nugie dan si penculik itu bisa liat kamu!” kata Bagas. “ Iya lampu rooftop aku nyalain,” jawab Alex.
“Alex aku punya misi. Sepulang sekolah, aku mau memeriksa rumah itu! Aku mau cari bukti bahwa rumah itu adalah tempat Nugie di sekap dan kalo bisa bawa pulang Nugie dari rumah itu!” kata Bagas yang benar-benar bertekad menyelamatkan Nugie.