BEING MRS. SATYANEGARA

Pink Unicorn
Chapter #3

Chapter 2

NA

Hah? Apa tadi yang dibilang Kak Ra? Gue dijodohin? Oh, enggak dari kalimat Kak Ra tadi jelas Ibu sedang menyodorkan gue secara cuma-cuma tanpa tendeng aling-aling ke dokter bedah jantung yang mengoperasinya semalam. Ke dokter yang bahkan baru ditemuinya selepas operasi. What the hell is that?!

“Sabar, Na!" seru Kak Ra melihat wajah gue memerah saking marahnya.

“Ya, tapi Ibu udah nggak wajar Kak, masa aku disodorin sama orang yang nggak kita kenal begitu aja. Aib banget gitu Na ini buat ibu! Buat keluarga kita!" pekikku kesal.

“Na kecilin suara loe! Kita dirumah sakit," seru Kak Ra sambil melihat ke kanan dan kiri. Aku mengatur napas. Now I’m asking why i have to worry about her a whole this day. Aku jelas aib untuk ibu. Perawan tua berusia 28 tahun. Perawan tua yang tidak ada harganya sehingga bisa dijajakan ke siapa saja. For the sake of God! Masih banyak lelaki yang mengejar dan menginginkanku.

“Na nggak mengerti sama Ibu," tukasku lelah.

Kak Ra menyentuh kedua lenganku.

She just wants to see you happy, Rayadinata," pelan Kak Ra.

“Nggak tahulah, Kak. Na nggak bisa berpikir jernih sekarang," pelanku.

“Kak!" panggil Kak Vanya dengan wajah panik. “Kenapa, Vay?”

“Om Ervan udah datang, mau ketemu kakak, katanya mau bicara penting," ujar Kak Vay. DEG! I hate this kind of feeling. Perasaan takut tak beralasan yang pernah aku rasakan 19 tahun yang lalu.


ZIDANE

Kening gue berkerut. Ini si Hana dan Reiga bagaimana cara mengajarnya sampai Arkel yang baru berusia dua tahun bisa menulis meski hurufnya masih besar dan kecil. Jelas. Dengan crayon yang tiap huruf warnanya beda-beda. Ingat gue, Reiga cerita kalau Arkel mengisi tas chanel Mami-nya dengan crayon. He loves to draw. Loves to write. Tapi yang paling membuat gue penasaran. Who is Onti Na? Hug and kiss? Ini sih pasti yang tulis Arkel. Tapi cap bibir ini jelas bukan Arkel dan ini bukan crayon.

KREET!

Erwin muncul dibalik pintu. “Dokter Ervan mau ketemu sama dokter katanya," ujar Erwin. Gue berdiri dari kursi. “Okay," jawab gue. Tak lama kami sudah berjalan dilorong menuju kamar Ibu Sheila. Iya, Ibu Sheila yang menyodorkan anak bungsunya ke gue. Erwin cerita kalau ia sudah melihat anak bungsunya Ibu Sheila yang katanya cantik banget. Gue hanya menjawabnya dengan ‘Oh’ , ‘Ya’, ‘Masa’ dan kalau sudah sebal, gue hanya menjawab ‘hmm’. Sampai dikamar Ibu Sheila. Hanya ada dokter Ervan disana bersama Ibu Sheila.

“Apa kabar, dok?" sapa gue sambil menjabat dokter Ervan. Dokter Ervan tuh kepala bagian spesialis jantung di rumah sakit ini. Dia juga seorang konsultan kardiovaskuler. Juga pernah menjadi anggota dokter kepresidenan. Dokter Ervan ini sahabat ayah gue.

“You’ve done a great job, Dane. Operasi kamu berhasil," puji dokter Ervan. Gue hanya tersenyum.

“Kamu kenal dokter seganteng ini kok nggak pernah kasih tahu aku sih, Van. He’s great for Na kan," ujar Ibu Sheila.

Gue tertawa samar. She starts again. Dokter Ervan tertawa.

“Sheil, kamu itu kayak nggak kenal Na, mana mau dia dikenal-kenalin cowok. Lagian Na itu cantik, pintar, dia jelas nggak butuh bantuanku," ujar dokter Ervan masih tertawa.

Who’s Na?

Pintu ruangan pun terbuka. Muncul satu persatu anak Ibu Sheila yang gue kenali lalu seorang lainnya yang lebih tinggi dari dua anak perempuan lainnya. Rambutnya hitam, panjang, terurai begitu saja. Ekspresinya terlihat kesal. Kami bertukar pandangan tak sengaja. And i see that beautiful eyes. Hitam dan gelap. Ia menatap gue seakan sedang menyisir keadaan lapangan dan ia menghela napas. Langkah dengan heels tinggi yang sepertinya Loubutin, karena mirip dengan punya Nana, melangkah cepat menuju tempat tidur Ibu Sheila.

“Dokter Zidane ini loh putri bung ...”

“Na nggak mau!" serunya memotong ucapan Ibu Sheila. Dan keadaan di kamar ini berubah seketika. Gue bisa melihatnya dari reaksi wajah tiap orang disini. Tentu yang paling menarik perhatian gue adalah reaksi Ibu Sheila, pasien gue. Wajahnya merah padam. Berganti pucat.

“Rayadinata Nareswari!" pekik Raisa yang dikenalkan Ibu Sheila sebagai anak pertamanya itu tadi dipemeriksaan sehabis operasi. Yang dipanggil Raisa itu berdecak kesal. Tapi, ini pertama kalinya gue melihat seorang wanita begitu cantik dengan wajah sekesal itu.

“Tapi Kak!!!" tukasnya gemas.

“Cukup sampai disitu, Na!" ujar seseorang yang membuat kami semua menoleh kearahnya. Seorang pria setengah baya yang familiar dimata gue. Gadis yang bernama Na itu menghela napas dari wajahnya ia terlihat lebih kesal.

“Ayah, pelan Raisa. Yang bernama Na itu sekali lagi menghela napas kesal. Ia berlalu dari kamar. Berjalan keluar begitu saja.

“Maaf ya, Dokter Zidane," ucap Ibu Sheila. Gue hanya tersenyum sopan.

*


NA

Dan aku tidak percaya apa yang aku lakukan sekarang. Mematikan mesin mobil diparkiran rumah sakit tempat dokter Zidane Arsa Satyanegara, MD, Sp.BTKV praktek. How can I, let that f*****g idea from my sisters, my mom’s happens?!

“Ibu harus dioperasi lagi, Na. Dan kakak nggak mau hanya karena kamu, Ibu nggak mau di operasi! Bisa nggak sih kamu berkorban sedikit saja untuk Ibu?" ujar Kak Ra 5 jam yang lalu, di halaman depan rumah kami. Dimana ia menarik tanganku dari kerumunan penjenguk yang banyaknya sama seperti pendemo itu lalu mengatakan ini dengan sorot mata tak ingin dibantah.

Aku benar-benar tidak percaya ini. Memangnya aku kurang berkorban apa untuk Ibu? Untuk Ayah? Untuk keluarga ini? If this lips still smiles, it doesn’t mean there’s no pain inside my heart. Itukah yang dipikirkan Kak Raisa dan Kak Vanya selama ini? Kalau aku baik-baik saja? If my life’s going right after that hells divorce. Kalau hidupku seakan berjalan lancar tanpa alar rintangan setelah terungkapnya perselingkuhan menjijikan yang Ayah lakukan. Hanya karena aku selalu berprestasi di akademisku, karena aku meraih beasiswa di Universitas Yale untuk gelar sarjana dan master jurnalistik di Columbia University. Karena aku sekarang pemimpin redaksi majalah franchise luar negeri, sedangkan mereka hanya ibu rumah tangga.

Karena aku tidak pernah terlihat menangis?

Aku tidak percaya ini, bahkan kedua kakakku yang aku pikir memahami aku memandangku dengan cara seperti itu. Demi Tuhan! memangnya sekuat apa anak perempuan berusia 9 tahun?! Aku juga menangis meraung waktu tahu teman satu kelasku – ingat anak perempuan dari perempuan yang dicintai ayahku – merebut dunia pelangi yang kupuja itu. Tahu apa efeknya? Ibu terkena serangan jantung, karena teriakan ayah dan perdebatan mereka setelah aku berlari ke rumah dari sekolah dan menceritakan apa yang aku lihat.

Ya, pengkhianatan.

Aku bersumpah untuk tidak menangis lagi setelah melihat wajah pucat Ibu diatas tempat tidur beroda menuju ruang UGD waktu itu. Aku tidak ingin menangisi perselingkuhan menjijikan itu. Aku tidak meminta Ibu untuk selalu hadir untukku begitu ia menjadi single parent. Aku tidak merengek seperti Kak Raisa dan Kak Vanya. Bahkan sekesal apapun aku, sebenci apapun dan semarah apapun aku pada semua yang terjadi dikeluarga kami. Aku tidak pernah lari dari rumah seperti Kak Raisa atau mogok sekolah seperti Kak Vanya. Dan meskipun aku kembali menangis meraung karena Enrique. I’m enough with this.

Jadi apa yang dimaksud Kak Raisa dengan pengorbanan yang tidak pernah aku lakukan itu? Dan berkat kalimat itu, air mataku tidak bisa dibendung. Aku menangis, setelah bertahun-tahun lamanya. You deserves better, Na. You deserves. Why you have to done this f*****g request from your mom?. Kenapa aku harus memohon untuk dicintai, untuk dipilih. Dengan orang asing yang bahkan hanya aku tahu nama dan gelarnya.

Aku menghela napas. Menghapus air mataku. Bercermin melihat riasan diwajahku sebentar lalu turun dari mobil. Berdoa dalam hati. Semoga keputusanku ini benar. Semoga semua baik-baik saja. Semoga.


ZIDANE

Bisa-bisanya gue belum beli kado buat si Brandon. Malah tinggal sebulan lagi. Apa ya? Gue selalu clueless soal kado atau hadiah atau apapun itu.

“Dokter Zidane, panggil seseorang membuat gue menoleh ke belakang.

Itu Widy, CoAs paling populer dirumah sakit ini. CoAs – nya si Tristan. Iya, kampret kedua yang ngeledekin gue. One of my bestfriend. Gue belum cerita ya kalau si Tristan tuh dokter spesialis anak dan kerja dirumah sakit yang sama dengan gue. Yang beda dari kami ya jadwal gue yang padat ibarat tur-nya Taylor Swift kalau kata adek gue yang paling kecil, Meutia. Sementara Tristan nggak terlalu padat.

“Kenapa, Wid?" tanya gue.

Widy tersenyum. Senyum yang selalu dibicarakan Erwin sebagai embun yang menyambut pagi setelah kesuntukkan menemani gue operasi berjam-jam. Iya sih, gue akui Widy cantik dan tentu pintar, menarik dan ramah. Ditambah gue dengar dari gosip yang beredar, dari omongan ngaco Tristan diruang UGD. Widy Oegroseno ini tengah mengincar gue. Tahu benar apa enggak!

“Ini dok, kata Dokter Tristan tolong dibaca," jawabnya sambil menyerahkan map biru yang langsung gue terima.

Gue buka dan baca dengan cepat.

“Terima kasih ya, ujar gue tersenyum.

“Sama-sama. Emm... dokter Zidane udah makan siang?" tanyanya dengan wajah memerah.

Kening gue berkerut. Eh, serius ini?

“Belum sih, tapi ada jadwal operasi 15 menit lagi, jadi kayaknya lunch dipending dulu," jawab gue.

Sorry, Wid, bukannya mau menolak ajakan kamu yang mungkin akan membuat kantin heboh karena dokter paling kesepian di rumah sakit ini akhirnya punya teman makan siang. But i have an important operation this noon.

“Ooh," gumamnya dengan ekspresi kecewa.

“Lain kali gimana," ucap gue membuat wajahnya terangkat menatap gue kaget namun senang.

“Maksudnya apa, dok?”

Lihat selengkapnya