BEING MRS. SATYANEGARA

Pink Unicorn
Chapter #4

Chapter 3

ZIDANE

I hate school. I hate to leave house and going to school. Serius! gue ingat betul, setelah gue ngambek berat sama almarhumah Ibu waktu itu, when i’m five years old, Ayah bilang, “Dane, kenapa sih nggak mau sekolah? Kan disana seru!" ujar Ayah dengan penjejekan diakhir kalimat.

“Nggak ah! Temen-temennya nggak seru. Zidane mau dirumah aja, main sama Ziad," rengek gue. Ayah tersenyum, membelai rambut gue dan kami akan selalu bicara dari mata ke mata. 

“Dane, Ayah juga dulu begitu, malas sekolah, bete, terus Ayah ketemu sama satu orang yang menarik banget, sahabat Ayah yang sekarang, " cetus Ayah.

“Om Ervan?”

Ayah menggangguk.

“Ayah tahu Zidane juga akan menemukan teman yang asyik kayak Ayah dengan Om Ervan. Teman yang menganggap kita saudara dan kita anggap saudara. Teman yang selalu ada bahkan tanpa kita pinta. Teman yang ingetin kita duluan sebelum orang lain. Allah selalu adil, Dane. Orang baik temannya ya orang baik. Got it, son?”

Gue mengangguk dan sejak itu gue rajin ke sekolah. Gue akan selalu menyetor cerita ke Ayah per hari-nya. Ayah mendengarkan gue dengan seksama bahkan dari balik buku tebalnya yang dulu gue nggak mengerti dan sekarang gue baca juga.

Iya, Yah. Ayah benar. Sekolah itu menyenangkan dan Ayah betul juga, Zidane ketemu sama ‘kampret-kampret’ ini. Kampret-kampret yang sangat Zidane sayangi dan Zidane yakin betul mereka sayang Zidane juga. Terbuktilah dari belasan tahun ini. Berawal dari tugas sekolah waktu SD, pertama kali gue berinteraksi dengan Reiga Rahardian Reishard yang kerennya minta maaf, selalu dapat cokelat valentine paling banyak dari satu sekolah, bahkan anak perempuan sekolah lain juga mengirimnya cokelat valentine. Reiga selalu membagi cokelat ke teman-temannya. Dia nggak terlalu suka manis, kecuali soal Adrianne Hana ya, sampai diabetes pun dia jabanin. Oke lanjut!

Reiga, nggak se-cool, sedingin dan setertutup gayanya. Dia orangnya peduli banget, sayangnya hanya untuk orang yang dianggapnya penting. Gue bersyukur punya Reiga dihidup gue. Dan bahkan pernah berandai jikalau si Reiga ini cewek, pengen gue kawinin aja. Reiga selalu ada disamping gue, tanpa diminta, tanpa balasan apapun. Waktu Ibu meninggal, usia kami sepuluh tahun, Ziad 8 tahun dan Meutia 4 tahun. Gue menangis? Meraung kali gue waktu itu. Ayah bingung mau menenangkan anak yang mana. Sebagai si sulung gue mengalah. Gue sedih sendirian dan Reiga datang (zaman rumah kami masih tetanggaan), memeluk gue.

“Dane, Tante Ayna nggak suka liat loe sedih. Percaya deh! Gue juga nggak mau liat loe sedih.”

Si gila satu itu. Bukan hanya Reiga ya, tapi sampai Ayahnya Reiga, Om Rahardian mendukung gue menjadi dokter bedah jantung. Ayah selalu mengerutkan kening setiap kali Om Rahardian membawakan gue buku kedokteran dengan berbagai bahasa. Gue sih suka. Gue bertekad jadi dokter bedah jantung yang hebat setelah Ibu meninggal dimeja operasi saat pembedahan arterinya. Ibu punya penyakit jantung, guys. Gue mati-matian lah belajar saat itu. Masuk kelas aksel berkali-kali. Di SMP, gue dan Reiga ketemu satu cowok jago masak namanya Arniyo Rakasiwi. Dan di SMA, teman gue yang gila nambah lagi. Nggak tanggung-tanggung, langsung dua, they are the Radiputrodiningrat, Rama dan Syein. Langit dan Bumi. Maksudnya Rama setia, kalau Syein itu setia yang setiap tikungan ada. Begitu kuliah di Amerika, temen-temen gue nambah lagi cuy, Brandon dan Tristan.

They are not friend now. They are my family.

Keluarga, yang selalu datang duluan ke makam almarhumah Ibu karena tahu gue punya ritual ziarah tiap hari ultah gue dan ujung-ujungnya gue ditodong traktir soto lamongan di warung kecil dekat situ. Yang selalu mendukung gue mencari jodoh bahkan ke timbuktu sekalipun. My brothers ... Reiga, Rama, Syein, Niyo, Brandon dan Tristan.

Jadi nggak salah kan kalau gue sekarang mengumpulkan mereka disini, dibasecamp kami, di spectrum fairmont, disore hari yang bahagia ini. Karena semenjak mau nikah, si Brandon sudah berhenti mabok disore hari. Okay itu agak nggak nyambung. Gue ingin bertanya pendapat mereka mengenai ajakan Na. Dan bibir mereka semua, ya semuanya tersenyum- senyum tidak jelas, meledek, menggoda gue.

“MAJU BROTHERRR!" teriak Niyo.

“Elo kalo sampai lepasin Na, wah harus dipertanyakan tuh Dane kelurusan seksual elo," ledek Syein yang akan gue dapuk sebagai narasumber utama gue mencari tahu segala hal mengenai Na.

Calm down guys, ini kan cuma datang ke acara keluarga, bukan ke penghulu," ujar gue nggak berharap banyak.

“Pesimis elo nih yang harus kita bedah!" celetuk Brandon.

“Don, biarin Zidane maju dulu sendirian, nanti kalo dia gagal kita yang beresin," ujar Rama ikut nimbrung.

“Apaan sih loe, Ram?" ujar gue yang buat Rama nyengir.

“Kasian Widy, tapi kalo gue jadi elo, gue juga pilih Na sih, Dane," celetuk Tristan sambil memandangi wajah Na di handphone gue.

Tristan mengedip genit. Gue melirik Reiga. Ia belum bicara sedikitpun. Ah, Rei said something please.

“Dane," ucap Reiga membuat tawa kami yang membully gue berakhir.

“Pesan gue cuma satu dan ini adalah ciri khas elo banget. Begitu elo udah maju, loe nggak pernah mundur. Jangan menyerah, Dane. Sesulit apapun itu, jangan nyerah," ucap Reiga. Bibir gue tersenyum. Hati gue tenang entah mengapa. Reiga, my man.

“Busyet dah, Rei. Omongan loe kayak om-om tahu!" tukas Brandon.

“Daripada elo nggak sadar udah jadi om-om," balas Reiga dan kami tertawa lagi bersama.

Boys night out yang sekarang telah berubah menjadi Mans night out. Dan bukan lagi malam yang mengakhiri pertemuan kami, melainkan telepon-telepon penuh cinta dari orang yang kami cintai, iya sih kalau gue belum.

Ya, doain ajalah sebentar lagi.


NA

Zidane nggak datang. Ya, laki mana yang mau datang cuma dengan omongan begitu. Sebaik apapun dia, dia nggak akan datang kucluk-kucluk ke acara keluarga orang lain yang tidak dikenalnya terus sok akrab kayak calon anggota keluarga baru. You have gotta be kidding me. Emangnya ini novel, atau film, atau drama korea yang sering ditonton Nelam, asistenku. Harusnya aku sewa aja kali dia ya. Tapi kayaknya arogan banget. Lagian aku rasa penghasilan dia lebih gede dari gajiku sebagai pemred kan. Jadi setelah aku berhasil melewati kesengsaraan pertanyaan kapan kawin dan berhasil tidak menarik urat atau membuka mulut untuk berdebat. Dari ekspresi Ibu sih aman. Kak Raisa dan Kak Vanya juga memberikanku jempol kemarin. Jadi wajar kan kalau sekarang aku menyenangkan diri, bersantai dihalaman belakang rumah dengan segelas jus mangga dingin dengan es krim vanilla, kesukaan gue sambil mengecek progress usaha fashion yang aku bangun bersama Hana, Krisa dan Sam lewat tablet.

Pak Dudung, satpam rumah Ibu berlari kecil kearahku. “Mbak Na, itu ada cowoknya," ujarnya yang membuatku refleks berdiri.

“Apa Pak? Cowok saya? Saya kan nggak punya cowok," ucapku bingung. Gantian Pak Dudung yang bingung. “Modus kali tuh, Pak!" seruku.

“Ah nggak ah, wong Mas-nya guantengg bangettt. Tinggi. Gagah lagi. Terus bawa mobil bagus banget kayak punyanya Mas Wisnu. Masa maling bawa mobil mahal, Mbak," ujar Pak Dudung tidak percaya yang membuat gue curiga. “Terus dia bilang, dia pacar saya?" tanyaku.

Pak Dudung menggeleng. “Loh terus kenapa Pak Dudung bisa simpulkan dia pacar saya?!" seruku bingung.

“Mas-nya cari Mbak Na," jawab Pak Dudung. Aku menghela napas.

Ya masa semua cowok yang cari aku ke rumah dibilang pacar. Buyar lah relaksasi pikiranku. Aku menyuruh Pak Dudung makan siang di dapur dan pergi sendiri ke depan gerbang. Tanpa harus sampai didepan gerbang, aku tahu siapa Mas guanteng, tinggi dan gagah yang dimaksud Pak Dudung. Mas guanteng itu kini membalikkan badannya, menatapku, tersenyum, well ... his smile is sweet anyway.

“Aku nggak telat kan, Na?" ucap Zidane disamping CR-V putihnya.


ZIDANE

Hampir jam 12 siang. Telat nggak ya. Gue agak nervous tiba-tiba. Apaan sih loe, Dane?! Ini bukan pertama kalinya elo ke rumah cewek dan ini bukan cewek loe. Lebai amat sih lo!! Gue memaki diri sendiri. Ini lagi si Hana dari tadi WA-in gue terus, ampun deh ledekannya. Brandon sama Tristan lewat kali sama si Hana. Menyesal gue memberitahu Hana kalau gue mau ke rumah Na. Dan akhirnya gue sampai didepan rumah dengan perkarangan depan yang luas, familiar, like my home, dengan gerbang besi hitam, dan jalan setapak menuju rumah yang batu bata ini, oldish banget tapi terasa hangat.

Gue turun dari mobil. Setelah memastikan nomer rumahnya sama, gue berjalan menghampiri satpam yang namanya Pak Dudung ini, tertulis begitu dibajunya. Dan entah saking kreatifnya atau apa, begitu gue tanya ini rumah Rayadinata Nareswari Oegroseno, eh si Pak Dudung malah menyimpulkan kalau gue ini pacarnya Na. Sumpah gue nggak bilang apa-apa dan tanpa maksud mengiyakannya, gue tidak sempat mengklarifikasinya lantaran si Pak Dudung tadi sudah lari ke dalam rumah.

Here, i am. Di depan gerbang. Setengah kelaparan. Agak kebingungan.

Tak lama ada orang yang muncul. Itu jelas bukan Pak Dudung. Tubuhnya terlalu langsing dan kakinya terlalu jenjang. Itu ... Na.

Ekspresinya bingung mendapati gue berada didepan rumahnya. Kayak gue ini bukan tamu yang diundang aja. Gue berusaha senormal mungkin. Gue bahkan tersenyum. Sesuai tips Syein.

Lihat selengkapnya