ZIDANE
This is crazy ... Karena gue merasa baru saja putus padahal belum pernah jadian. Perasaan gue dari kemarin tuh mengawang-awang aja. Nggak jelas. Undescribe. Bahkan, bibir gue nggak sanggup pura-pura senyum. Mungkin saraf-saraf otak gue untuk berpura-pura lagi mati rasa kali ye. Rayadinata ... Rayadinata ... Are you some marvel? Avenger? Because you make me explode anytime i read you message for me. Hancur menjadi bongkahan bahkan serpihan hati yang patah untuk sekian kalinya.
"Dokter Zidane," panggil Erwin sambil cengar-cengir yang membuat langkah gontai gue terhenti.
"Kenapa?" sahut gue males. Selain karena tragedi yang baru saja menimpa gue. Emang pada dasarnya gue lagi males ngomong aja sama ini anak. Terlebih setelah dia salah diagnosa pasien di kamar 134.
Raut wajah Erwin berubah takut.
"Dokter masih marah sama saya, dok?" tanya Erwin hati-hati.
"Marah? Enggak! Saya kecewa sama kamu," tukas gue dingin.
Erwin yang tadinya tersenyum langsung diam dan menunduk.
"Kamu sadar nggak!? Kamu hampir bunuh pasien. Bukan cuma pasien yang hampir kamu bunuh tapi juga keluarganya. Kehilangan orang itu nggak sesepele itu, Win. Jujur sebagai dokter pembimbing kamu saya malu sama semua rekan dokter disini. Saya merasa nggak becus didik kamu. Saya harap kamu nggak main-main lagi sama nyawa orang lain," begitu dingin dan datar gue mengucapnya sungguh-sungguh ke Erwin yang hanya menunduk.
"Saya menyesal, dok. Saya minta maaf. Saya janji saya tidak akan mengulangi lagi perbuatan tidak bertanggung jawab saya yang kemarin," ujar Erwin sungguh-sungguh.
"Bagus! Saya mau lihat buktinya. Bukan cuma janji atau kata-kata," ujar gue.
Erwin memberanikan diri mengangkat kepalanya.
"Terima kasih, dok," ujarnya.
Eh busyet nih anak udah cengengesan lagi aja ke gue.
"Dok, ayo kita makan siang bareng. Widy udah tunggu kita di kantin," ujarnya sambil menarik lengan kanan gue.
"Apa kamu bilang tadi? Widy?" kaget gue dan ya begitu kita sampai di kantin. Sudah ada Widy disana. Tersenyum manis. Melambaikan tangan kearah kami. Erwin masih dengan lancangnya menarik-narik tangan gue.
"Siang dokter Zidane," sapa Widy.
Suaranya begitu manis dan lembut. Berbeda dengan Na. Intonasi suaranya selalu tegas dan berkarakter. Wait? What!? Kok gue malah mengingat Na.
"Siang, Wid," sapa balik gue.
Sebelum ikut duduk bersama. Gue memesan pesanan gue yang biasanya.
"Loh makan siangnya nggak ditemenin sama pacarnya yang waktu itu, dok? Putus ya?" Ibu kantin mulai kepo.
Gue nyengir aja. Rasanya pengen bilang, putus gimana? Jadian aja belum! Sayangnya gue masih tahu malu untuk tidak mengumbar aib sendiri. Gue buru-buru kabur sambil membawa nampan berisi nasi, rendang, urap dan es teh manis. Berjalan menuju meja Erwin dan Widy berada. Meja yang penuh dengan kenangan. Ah, s**t! Inget lagi kan gue!
Mereka tampak kaget melihat kedatangan gue. Yailah pasti gue abis digosipin nih sama Erwin. Bener-bener dah lo, Win. Kalo nggak karena nyokap lo yang waktu itu nitipin lo ke gue. Mungkin gue nggak akan kasih lo toleransi kayak gini.
"Dokter Zidane beneran putus?" tanya Erwin kepo. Gue menghela napas dalam. Yaelah bikin nafsu makan hilang aja.
"Hmm ..."
"Sayang banget ya, Dok. Padahal pacar dokter itu cantik banget," ujar Erwin.
Iya, Win! Gue tahu kok! Nggak usah lu bilangin juga gue tahu, kalo Rayadinata Nareswari itu cantiknya minta maaf.
WIDY
Tampak jelas bahwa Zidane malas menanggapi topik Na. Sepertinya mereka benar telah putus.
"Selain cantik, pacar saya juga, jago masak loh, rendang dan urap buatan dia ... Hmmm nggak ada duanya! Top markotop! Maknyus!" seru Zidane dengan sebuah jempol kearah Erwin yang malah memberi reaksi kasihan padanya.
ZIDANE
"Terus kenapa diputusin, Dok?" celetuk Erwin.