BEING MRS. SATYANEGARA

Pink Unicorn
Chapter #7

Chapter 6

NANA

"Jeff ... Jeff ..." Suaraku tercekat memanggil nama Jeff yang sedang dibawa menggunakan troli menuju ruang IGD. Aku menyesal mengikuti kata Irsyad untuk membawa Jeff ke playground pagi ini.

"He needs to play with his friend, breath in fresh air," ujar Irsyad.

Ya, ada benarnya. Tapi Zidane sudah mewanti-wanti agar aktivitas Jeff tidak terlalu berat. Tidak pula membuatnya terlalu senang atau sedih. Dan tadi pagi di playground, Jeff tampak begitu senang dan aktif.

"Look what you've done to our son!" Marahku melihat Jeff terkapar tak berdaya dan mulai dipasangi alat bernapas.

"Kok jadi salahin aku!? Kamu kan juga setuju!" Irsyad tak terima.

"Tapi kamu yang paksa aku untuk setuju!"

"Come on, Nana! Harus kita berantem sekarang! Harus kita main salah-salahan!?"

Irsyad terdengar benar. Hanya saja aku yang sedang tak ingin mendengarkan. Ditengah pertengkaran kami, Zidane datang. Mengacuhkan kami berdua. Dia hanya fokus pada Jeff. Aku terpana melihat capability Zidane menangani Jeff. Aku tidak pernah menyadari kalau ternyata ia begitu berkharisma dan bisa diandalkan. Aku ingat, dulu aku sering menyuruhnya memilih diantara pasiennya atau aku. Dan Zidane akan selalu memilih pasiennya. Tentu aku sangat cemburu. Waktu itu.

Tapi sekarang aku bersyukur, ia memiliki prinsip kuat seperti itu. Karena entahlah apa yang akan terjadi pada Jeff kalau sampai Zidane memilih untuk memprioritaskan personal life-nya.

"Zidane lagi dekat sama Na," ucap Hana pelan sambil mencoba membaca air mukaku.

"Na?"

Aku cukup kaget. Bagaimana dua orang beda dunia itu bisa berkenalan. Karena aku rasa sekalipun circle kami saling beririsan. Na tidak akan pernah melirik pria seperti Zidane. Rayadinata Nareswari yang aku kenal adalah sosok ambisius, superior dan keras kepala. Pribadi yang menjunjung feminisme dan benci dengan pertanyaan kapan nikah sampai ke tulang sum-sumnya. Kok bisa-bisanya dekat dengan Zidane? Seorang pria yang bertipe family man.

"Zidane itu dokternya tante Sheila," ujar Hana seakan menjawab pertanyaan yang muncul dari raut wajahku.

"Oh, pantes"

Kala itu aku tidak terlalu memusingkannya. Zidane berhak bahagia meskipun itu bukan dengan Na. Tapi hari ini rasanya aku iri dengan Na.

Zidane adalah pribadi yang hangat. Jika melihat aku kesusahan sedikit. Ia akan memeluk dan membantuku. Irsyad? Aku menatap suamiku begitu lekat. Irsyad sibuk mendamaikan dirinya sendiri.

"Alhamdulillah," ucap Zidane yang menjadi penanda kalau Jeff telah dalam kondisi stabil.

Zidane menghampiri kami berdua.

"Nggak ada pilihan memang harus dioperasi," ucap Zidane tanpa pembukaan.

"Lakukan yang terbaik buat anak gue, Dane," ujar Irsyad dengan wajah serius.

Zidane menghela napas. "Insya Allah, Syad. Tapi gue butuh bantuan kalian,"

"Apa!?"

"Tolong jangan berantem kaya tadi didepan Jeff. Jangan! Nggak baik untuk jantungnya. Nggak baik untuk mentalnya."

Ucapan Zidane bagai palu godam mengenai kepala kami, khususnya aku.

"Kalian tuh harusnya kompak, saling sayang, saling support untuk Jeff. Ini saran gue sebagai dokter jantungnya Jeff bukan sebagai Zidane teman kalian," ucap Zidane lalu pergi.


NA

Tumben Ibu mengajakku belanja bulanan. Berdua saja. Tanpa supir. I guess, she wants to talk about somethin. Walau sepanjang pergi menuju Grand Lucky SCBD, she doesn't even say something intimate, just a little things. Aku masih yakin Ibu mau membicarakan sesuatu.

"Na ..." Panggilnya ditengah kemacetan dalam perjalanan pulang kami siang itu.

Tuh kan!

"Ya, bu. Kenapa?"

"Beberapa hari yang lalu, Ibu lunch sama ayah," ucapnya membuat alisku naik.

"Hmm ..." Tanggapku sekenanya karena harus menginjak pedal gas. Lagipula, Ibu memang masih sering menemui ayah. Diantara kami berempat, mungkin ibu seharusnya menjadi orang yang paling membenci ayah. Tapi justru dialah yang paling memaafkannya dan bersikap seakan semua hal baik-baik saja. Ibu memang Juara dalam hal anti mainstream! Termasuk mengikhlaskan perselingkuhan mantan suaminya.

"Ibu sudah bilang ke ayah agar nggak usah ikut campur ke dalam hubungan kamu dan Zidane," ucap Ibu.

"Oh ... Hah!? What!?" Tanggapku kaget. Untung aku masih sigap menginjak pedal rem. Jadi ini semua tentang Zidane?

"There's no relationship between Na and Zidane, Bu," ucapku dengan sorot mata menegaskan bahwa aku malas berurusan dengan Widy atau Tante Amel.

"Terus kenapa kamu beberapa hari ini selalu uring-uringan?" Tanya Ibu.

Damn!

Aku kira aktingku sudah cukup natural dalam menutupi kegalauanku akan Zidane dari semua orang. Tapi ternyata Ibu tahu dengan begitu mudahnya. Apa karena dia ibuku?

"Bukan karena Zidane," bohongku.

Ibu tersenyum. Cara tersenyum yang paling aku tidak suka. Karena itu pertanda Ibu tengah mengejekku.

"Ternyata kamu masih lebih sayang Ayah daripada Ibu ya, Na," ucapnya sambil menatapku.

"Maksudnya?"

"Ya buktinya waktu Ibu jodohin kamu dengan Zidane, you are so mad. Remember? Tapi giliran ayah yang menyuruh kamu jaga jarak dengan Zidane. Kamu langsung mengiyakannya," jawab Ibu.

Aku terhenyak.

Entah mengapa dasar hatiku merasa ucapan Ibu itu benar adanya.

"Ayah nggak pernah minta Na jaga jarak sama Zidane," jujurku.

Surprisingly ibu terkejut dengan pengakuanku.

"Loh terus?"

"Ayah cuma bilang Widy suka sama Zidane," ujarku.

" ... "

"Na males aja berurusan sama Widy dan Tante Amel," ucapku lagi.

Ibu bengong.

"Kamu takut kalah sama Widy atau bagaimana, Na?" Bingung Ibu.

Takut kalah?

Aku rasa bukan itu kata yang mewakili keputusanku waktu itu.

"Ya just say that Zidane is not my fate, Bu," ucapku ngarang dan aku sudah siap jika Ibu akan mendebat kalimatku barusan.

"Gimana kamu tahu kalau dia bukan jodoh kamu kalau baru memulai saja kamu sudah menyerah?"

Tuh kan!

Ibu mulai mendebatku. Karakternya yang seperti ini turun padaku.

"Memulai apa, Bu? Lagipula Na itu sampai detik ini bingung kenapa Ibu bisa suka banget sama Zidane?" Ujarku bicara asal yang penting tidak kalah saja.

Iya, gue tahu kok!

I'm crazy rite?

"Ibu rasa, kamu sudah tahu mengapa ibu menyukai Zidane bahkan sampai menjodohkannya dengan kamu," tandas Ibu yang aku iyakan dalam hati.

Zidane memang istimewa dan langka. Hanya saja pria itu belum move on dari mantannya. Ah! Kenapa jadi mengingat malam dimana Zidane mengacuhkanku?

"Tuh benar kan udah tahu!" Seru Ibu senang atas penarikan kesimpulan sepihak dalam mengklaim kemenangannya atas debat kusir kami.

"You know his quality, makanya kamu uring-uringan begini," ujar Ibu.

Astaga!

Ibu kalau sudah merasa menang. Maka lawannya akan dihabisi terus-menerus.


ZIDANE

"Rei!?" Kaget gue melihat Reiga duduk disofa ruangan gue seraya melipat kaki.

Gue menutup pintu. Menatapnya heran. Bukannya, dia sedang di London?

"Hai, surgeon," sapa Reiga tersenyum.

Reiga menepuk bagian kosong disamping kirinya.

"Duduk, Dane. Ada yang mau gue omongin," ujar Reiga.

Hah?

Tampang gue makin keliatan heran. Tapi tetap saja gue duduk disampingnya.

"Lu bukannya di London?" Tanya gue heran.

"Hmm ... Makanya gue nggak bisa lama-lama disini. Gue harus balik lagi ke London," ujar Reiga santai. Seakan bolak-balik London bukan masalah besar baginya. Ya mungkin memang bukan masalah besar. Karena dia sudah sering travel around the world untuk mengurus gurita bisnis Reishard Corporation.

"Special amat gue," ujar gue tertawa.

Reiga tersenyum kecil.

"Well, harusnya gue nggak perlu ikut campur. Tapi gue terlalu sayang sama lu, Dane," ucap Reiga sampai-sampai gue menoleh.

"Wuits, apaan nih? Sampe bawa-bawa sayang segala," ujar gue menunjukkan wajah geli.

Tapi Reiga masih tersenyum. Gue merasa dejavu dengan ini. Dulu waktu SMA, Reiga juga pernah kayak gini. He took me to the same conversation and same words like this. Like he knows something will happens to me and because he loves me then he did it, to protect me.

Same vibes.

Hanya saja gue lupa, apa masalah yang gue derita waktu itu. Wait! Apa jangan-jangan Reiga udah tahu nasib ngenes gue yang dihempaskan Na bahkan sebelum memulai apapun? Apa Na memberitahu Hana yang akhirnya membocorkannya pada Reiga?

Reiga menatap gue sambil tersenyum. Seakan dia lagi memindai isi kepala gue. Dari dulu gue curiga, Reiga bisa baca pikiran orang. Because he's always right.

"Jangan menyerah, Dane," ucap Reiga.

Kening gue mengerut.

"What!?"

"Let it be our secret," ujar Reiga.

"Hah?"

"Gue tahu lo sama Na lagi nggak baik-baik aja kan?"

Nah kan!

"Tahu dari mana?"

"God ..." Muka gue heran luar biasa mendengar jawaban nyeleneh Reiga.

"Jangan bercanda! Lu tau dari Hana kan!?" Tuduh gue.

"Hana belum tahu apa-apa. Kalo udah tahu, wah bisa heboh dunia persilatan," ujar Reiga.

"Iya sih," ucap gue setuju. Gue menatap Reiga. "Lu seriusan tahu dari Tuhan!?"

Reiga mengangguk sambil tertawa.

"Bisa nggak sekalian lo tanyain, jodoh gue siapa, Rei. Biar gue nggak usah ribet gitu carinya," ujar gue asal tapi serius.

Honestly, gue memang selalu berharap perkara jodoh bisa se-instant itu. Jadi, buat orang yang jam kerjanya nggak jelas kayak gue ini, bisa cari jodoh tanpa harus salah alamat kayak lagunya Ayu Ting-Ting.

"Jodoh lo itu, Na," jawab Reiga santai.

Gue nggak bisa untuk nggak terhenyak. Lalu tertawa hambar.

"Are you sure!?"

Jujur, gue nggak percaya. Well, gue memang baik, tapi nggak sebaik itu juga sampai Tuhan mau dengan baik hatinya menjodohkan gue dengan perempuan kualitas super seperti Na. Tapi, Reiga mengangguk yakin. You've gotta be kidding me, dude! And he is always right! Reiga is always right! Dan sialnya, this s**t makes a nightmare hopes for me.

"Tujuan gue pulang ke Jakarta karena gue lihat, lo malah mau menyerah, lo lelah, lo ragu," ucap Reiga.

Gue berdecak sambil tersenyum. He is right. Gue lelah dengan semua ini. Gue ragu akan diri gue sendiri. Apa gue masih bisa berjuang sekuat dulu? Saat gue mengerahkan seluruh jiwa raga untuk mempertahankan Nana. Dan hasilnya GAGAL TOTAL. Apa gue mampu mendobrak batas yang telah diciptakan Na dari chat terakhir yang dikirimnya ke gue beberapa hari yang lalu? Apa gue seberani itu? Se-nggak tahu malu itu?

"Ini gue yang gampang banget dibaca ekspresinya, apa elu yang kebangetan pinter sih, Rei? Atau ... Apakah gue memang udah di level pecundang?" Ujar gue mengasihani diri sendiri.

Reiga tertawa renyah.

"Just say that i'm absolutely smart!" Jawab Reiga percaya diri.

Mata gue memicing sebentar lalu terkekeh. He doesn't ever change at all.

"She deserves better, Rei. Not a loser like me," ucap gue pelan.

Meratapi kesendirian gue semenjak Nana pergi. Saat Nana bilang kalau gue ini nggak pernah benar-benar bisa mencintai orang lain. Hanya karena gue lebih memilih menyelamatkan pasien daripada menghabiskan waktu seharian bersama dia. Kadang kala gue merasa, Nana ada benarnya. Mungkin gue nggak pantas untuk siapapun. Karena gue hanya menerima cinta dan nggak punya waktu untuk mengembalikannya. I'm so selfish.

Reiga menatap gue. "Emangnya lo udah tanya sama Na mengenai isi hati dan pikirannya tentang elo?" Tanya Reiga seakan menyelidik gue.

Gue menggeleng lalu menujukkan chat terakhir Na kearah Reiga.

"See? I don't have any chance," ujar gue sambil tersenyum miris.

Reiga mengembalikan handphone ke gue. Ia berdecak.

"Udah gitu sebelum ada chat ini, gue sama Na itu terlibat obrolan mengenai Nana, and i'm very sure, she thought i'm not already move on," ujar gue lagi menyesali ketololan gue malam itu.

Lihat selengkapnya