BEING MRS. SATYANEGARA

Pink Unicorn
Chapter #9

Chapter 8

ZIDANE

BREGH!

Na memeluk gue erat begitu pintu ruang periksa dokter Ervan tertutup dan kami tertinggal diluar. Jantung gue? Nggak usah ditanya! Gue rasa gue nih yang perlu diperiksa keadaan jantungnya ketimbang Tante Sheila yang akan operasi minggu depan.

"I miss you," ucap Na tanpa raut wajah malu-malu.

Yaelah, Na. Meleyot nih aku.

God, i don't ever think that you will send me this kind of girl just like the way i pray for a rest of my life.

Thank you so much.

"Malu ...," ucap gue setengah berbisik sambil celingukan takut ada yang memergoki kami. Terkhususnya Erwin si lambe gosip.

Na melepas pelukannya. Tersenyum. Busyet cakep banget. Mata gue bahkan tak berkedip karenanya.

"Yaudah, kalo gitu aku nggak akan peluk lagi," ucap Na dengan senyum.

"Ya nggak gitu juga, Na," ujar gue panik sendiri. Na tersenyum sumringah. Berhasil menggoda gue. Untung sayang!

"Yaudah sini peluk!" ujar gue sambil merentangkan kedua tangan.

"Malu," ledek Na.

Gue tertawa. Kami saling bertatapan.

"This operation will success kan, Dane?" tanyanya dengan sorot mata khawatir.

"Insya Allah," jawab gue.

Na meraih tangan kanan gue yang baru saja gue masukkan ke saku jas. Dia menggenggamnya kuat. Cemas.

"Promise me you will do your best. Please save her," ucap Na lagi.

Gue balik menggenggam tangannya. Erat.

"I do my best, Na. As always. Insya Allah. Tante Sheila will through this operation, save and back to healthy as ever," ucap gue.

Belum pernah gue melakukan operasi yang atmosfernya se-emosional ini. Apa ini yang Ayah rasakan saat memutuskan untuk mengoperasi almarhumah ibu waktu itu? Meskipun pada akhirnya ibu memilih kembali ke pencipta-Nya.

"Thank you," ucap Na dengan senyum.

"But! Bukan berarti kamu bisa mendebat Tante Sheila tanpa berpikir panjang dulu ya, Na. Kita tetap harus control kesehatannya, emosinya," ujar gue.

Formalitas pemberian Nasehat pada keluarga pasien. As ordinary.

"Iya, pa dokter," sahut Na.

"That is an advice from me as her doctor," ujar gue.

Na tersenyum. Cantik banget. Gemas.

Rasanya gue ingin mengantongi dia dan membawanya kemana saja.

"Kalau mendebat kamu boleh?" godanya lagi yang membuat gue tak bisa untuk tak tersipu malu.

Na ikut tersenyum.

"Jangan godain aku terus dong," pinta gue memelas.

Na merangkul lengan kanan gue.

"I don't know, you're too cute," sahutnya membuat gue tersenyum lalu menggandeng tangannya erat.

"Kamu mau langsung pulang? Nggak bareng mama dan kakak kamu?" tanya gue sambil mengajak Na berjalan menelusuri lorong lantai 6 yang sepi.

"Iya. Ada lunch sama client dari luar. Kalau nggak, aku mau disini aja, nemenin kamu lunch. Biar satu rumah sakit ini tahu, kalau kamu punya aku," jawab Na yang membuat gue nyengir.

Kering deh Na ini gigi.

"Are you still this cheesy in front of your friends?" tanya gue.

Karena berdasarkan pengalaman gue, Nana dan Clarissa. They act so cool in front of their friends. They do not treat me as sweet as ordinary.

"Why not?" tanya balik Na.

Kening gue mengerut. Kami masuk ke dalam lift yang terbuka.

"Beneran nggak malu, kalo aku juga gandeng dan godain kamu didepan teman-teman kamu. Nggak masalah kalau aku gabung sama kalian?" tanya gue sekali lagi sambil memperhatikan ekspresi Na.

Ganti kening Na yang mengerut. Bingung. Itu yang aku lihat. Bingung.

"Kenapa harus malu?!" Na berekspresi serius saat menanyakannya.

Lalu kami melangkahkan kaki kami keluar lift.

"I'm so proud of you, Dane," ucap Na serius sambil menatap gue.

Yaelah. Hati gue terenyuh mendengar kalimatnya barusan. Meleleh. Pengen gue cipok rasanya ini bidadari. There's no one, outside my circle who said this kind of things. This cringe things. Like her words.

"Kamu kali yang malu sama aku. Peluk aja nggak boleh," ujar Na.

"Enggak gitu. Aku cuma nggak mau jadi gosip aja, Sayang," ucap gue sambil memperat genggaman tangan kami.

"Oh kamu malu digosipin sama aku?" sahut Na.

"Bukan itu maksudnya," ujar gue panik sendiri.

Kali ini raut wajah Na tak menunjukkan senyum. Seakan ia sangat serius dengan tanggapannya barusan. Kami sampai menghentikan langkah kami yang sudah sampai di lantai dasar. Perhatian gue terdistraksi tatapan mata para suster dan OB yang melihat kearah kami dengan tatapan heran sambil senyam-senyum.

"Wait, ini orang-orang kenapa liatin kita kayak gitu ya?" bingung gue.

Na mengangkat tangan kami yang berpegangan.

"Because you hold my hand so damn tight, surgeon," jawab Na yang membuat gue langsung melepaskan genggaman tangan kami.


NA

Ada rasa sakit saat Zidane refleks menarik tangannya yang menggenggam tanganku. Hanya karena semua orang tengah memandangi kami. Kalimat Widy beberapa hari lalu terdengar layaknya kebenaran sekarang. Apa aku sehina itu?

Bagian hancur diriku yang sedikitpun tak sepadan dengan latar belakang keluarga Satyanegara menunjukkan ketidaknyamannya. Sesak macam apa ini.

"Astagfirullah al adzim," ujar Zidane dengan wajah menyesal.

Entah apa yang disesali. Namun sisi gelapku berbisik, mungkin karena dia malu sama lo, Na. Kalau nggak, kenapa pegangan tangan aja ditarik?

Shit!

Kenapa air mata sialan ini tiba-tiba naik permukaan, just like a tsunami. Padahal ini cuma perkara sederhana.

Zidane masih melihat ke sekeliling. Yang membuatku tambah sakit hati karena ia sedikitpun tidak peka akan perasaan terhinakan yang aku rasakan sekarang.

"Aku pergi dulu," ujarku pamit tanpa menunggu jawabannya, tanpa mau melihat reaksinya. Aku hanya menuruti kata hatiku yang menyuruhku untuk segera masuk mobil dan pergi dari sini sebelum tsunami air mata membanjiri wajahku.


ZIDANE

"NA!?" kaget gue melihat Na berjalan pergi saja. Bahkan tanpa menoleh.

Bego lu, Dane!

Na pasti salah paham sama sikap lo barusan. Gue sesak sendiri. Nyesel.


NA

Aku menatap layar handphone. Zidane belum menghubungiku. He is just too clueless about everything. Dan itu semakin membuatku sedih sendiri. Ditambah dinner sialan ini. Harusnya aku menolak saat Lucia mengajakku dinner reuni menyebalkan ini. There is Enrique and his new girlfriend, Emerald. Anak perempuan dari salah satu crazy rich Singapura. Cantik paripurna. Latar belakang keluarga tanpa cela. Si brengsek itu pasti akan membanggakannya habis-habisan di depan kami, didepanku khususnya.

"Nggak dimakan, Na?" tanya Lucia yang melihat carbonara milikku masih utuh.

Aku menggeleng.

"Nggak nafsu," jawabku.

Lihat selengkapnya