ARYA SATYANEGARA
"Pergi seminar, Pah?" tanya Zidane.
Nah ini ada orangnya! Semalam belum sempat tanya-tanya, aku sudah tidur duluan. Penasaran juga dengan kebenaran yang dikatakan Tia. Masa iya, Zidane memacari perempuan kualitas super and rare seperti Na. Boss ditempat magang Tia. Semalam setelah mendengar kabar Zidane 'dibegal' dari Tia, aku langsung meng-googling siapa itu Rayadinata Nareswari Oegroseno. Ternyata ia tidak asing. Anak dari temannya Ervan, sahabatku. Lulusan cumlaude universitas ternama dibidang jurnalistik. Punya jabatan penting sebagai pemred di sebuah majalah franchise luar negeri yang sudah luar biasa terkenal pengaruhnya. Parasnya cantik luar biasa. Tingginya semampai. Dan Tia meng-approve sikap Na yang luar biasa baik, sopan, ramah dan rendah hati. Kalau dilihat dari backgroundnya saja, sudah dipastikan circle-nya Na tidak main-main. Pasti disekelilingnya banyak lelaki luar biasa, tajir melintir yang jago flirting dan siap memberikan segenap waktu dan pikiran untuk Na.
And why she chooses my son?
Ya bukannya mengecilkan anakku, Zidane. Ia adalah kebanggaanku. Teladan dan contoh dirumah ini. Sepanjang hidupnya, Zidane tidak pernah gagal. Kecuali soal percintaan ya. Sifat kikuk dan kakunya pada cewek dan ketidakpekaannya itu memang salah satu kekurangan yang aku wariskan secara genetik padanya. Tapi selain itu, putraku adalah sosok yang berkualitas. Pendapatannya pun bisa dikatakan di atas rata-rata. Zidane bisa membeli apapun yang ia mau. Hanya saja anak sulungku itu lebih memilih hidup sederhana. Ketimbang membeli barang. Anak sulungku itu lebih senang berinvestasi dengan uangnya.
"Kok bengong, Pah?" tanya Zidane mengaburkan lamunanku.
"Papa nggak enak badan?" tanyanya lagi seraya menutup pintu mobilnya lalu berdiri menatapku.
"Iya. Papa sakit," jawabku.
Ekspresinya berubah cemas.
"Kalo sakit kenapa pergi, Pah?" tanyanya makin cemas.
"Ayo Zidane periksa dulu!" ajaknya.
"Nanti bisa telat kuliah umumnya," jawabku senang menggoda anak sulungku ini.
"Kalau sakit nggak usah datang kasih kuliah umum. Kesehatan nomor satu, Pah," ujarnya sudah dalam mode dokter.
"Papa itu sakit hati kenapa kamu nggak cerita kalau udah punya pacar!" seruku membuatnya bengong.
Bagai terciduk, Zidane kaget lalu hanya cengengesan.
"Bukan nggak cerita. Belum, Pah. Belum," ujarnya membela diri.
"Terus kapan ceritanya?" tanyaku dengan alis melengkung naik.
"Ya tunggu sampai semuanya oke dulu. Lagian papa tahu darimana kalau Zidane punya pacar?" selidiknya.
"Tia."
Zidane kaget. Mungkin Zidane tidak tahu kalau dia sedang memacari bos adiknya.
"Dari mana?"
"Pacarmu kan pemred di tempat Tia magang," jawabku makin membuatnya kaget sampai menutup mulut.
"Masa sih!? Zidane baru tahu," ujarnya.
"Katanya semalam kamu keren banget, belain Na didepan mantannya yang brengsek. Itu kata Tia," ujarku.
Zidane nyengir.
"Jadi semalam ada Tia. Kok Zidane nggak ngeh ya," gumamnya sendiri sambil mengingat-ingat
"Anak papa ternyata keren juga ya, udah bisa belain pacar," ledekku tersenyum jahil.
ZIDANE
"Terima kasih loh, Pah atas pujiannya!" ujar gue sambil menyipitkan mata yang membuat papa kembali tertawa.
Yaelah, masa bokap gue sendiri juga nge-bully gue. Apa cuma Rayadinata Nareswari yang liat gue dengan cara yang berbeda?
"Itu kamu seriusan pacaran sama Na? Kamu pelet ya, Dane? Kok bisa-bisanya Na mau sama cowok kayak kamu," ujar Papa.
Yaelah, Pah.
Jahat amat mulutnya.
Walau kadang, Zidane juga sulit percaya sih.
"Nggak perlu sejahat itu juga Pah ngomongnya. Sakit loh hati Zidane," ujar gue sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Papa hanya tertawa menanggapi gue.
"Jum'at kita dinner, ajak Na. Di resto jepang favorit mama," ucapnya memberi perintah.
Dahi gue mengerut. Kaget. Ah, setiap Papa mengajak pacarku dinner bersama. Hasil akhirnya selalu tidak enak.
"Kok buru-buru gitu sih, Pah!? Baru berapa hari pacarannya. Jangan bikin ambyar kali, Pah. Susah nih dapat yang kayak gini," ujar gue memelas seraya menahan papa masuk kedalam mobil.
Papa nyengir. Bahkan Pak Gagan, supir papa ikut tertawa mendengar gue. Iya emang, kejombloan perjaka kesepian gue ini udah terkenal sejagat raya, se-bima sakti.
Puas lo pada!?
Aku masih ingat bagaimana dulu Clarisa dan Nana mengomeliku habis-habisan hanya karena papa mengajak makan malam dan mereka belum siap bertemu Papa. Mungkin karena nervous dengan titel dan pengaruh seorang Arya Satyanegara, the best heart surgeon in this country's ever have. Mereka saja yang sesama dokter takut, apalagi Na yang jalurnya beda jauh.
"Nggak ada kompromi. Awas ya kalo kamu nggak muncul kayak yang udah-udah!" ancam papa lalu masuk kedalam mobil dan menyuruh Pak Gagan untuk menjalankan mobil.
"Mampus gue!"
*
NA
Aneh.
Berkat Zidane, foto ini kembali keatas meja kerjaku. Setelah belasan tahun menghuni laci meja. Foto kami berlima. Ibu, dua kakakku dan ... Ayah.
Aneh.
Biasanya aku melihat foto ini dengan kebencian luar biasa. Namun setelah mendengar cerita Zidane semalam. Kini caraku memandang foto ini telah berubah. Ada rasa hangat yang selama ini ku tolak. Ada rasa rindu pada senyum Ayah yang dulu menjadi penyemangatku. Ada rasa haru begitu ingatan dimana ayah menyebutku sebagai kebanggaannya didepan semua orang. Ada rasa kehilangan disaat ingatanku mengingat Ayah adalah orang pertama yang memelukku dikala aku merasa sedih.
I realize i miss him so much.
Dan menghabiskan waktu dengan Zidane membuatku mengingat sosoknya. Cara mereka memandangku. Cara mereka menjagaku. Cara mereka tersenyum dan bangga akan diriku.
Airmataku mengalir sendiri.
Terima kasih ya, Dane. You bring back to me, the value of my life. You make me remember everything that i lost. You're such a home. My way back home.
KRET!
Ibu muncul dari balik pintu yang terbuka. Aku buru-buru menghapus airmataku. "Kenapa, Bu?"
"Zidane udah datang," jawab Ibu sambil berjalan kearahku.
Aku berdiri. Hari ini kami akan terbang ke Singapore. Salah satu sahabatnya, Brandon Wijaya mengadakan pernikahan disana. Aku cukup mengenal sepak terjang Brandon dan calon istrinya, Alexa. Kami memang berada dalam circle yang sama. Tadinya aku tidak ingin ikut, karena pasti akan ada Enrique disana. Tapi, Zidane mengatakan ia akan mengenalkanku pada genknya. Sahabatnya yang sudah seperti anggota keluarganya. Dan aku tidak bisa menolak pria ini.
"Oke," jawabku sambil menggeret koper kecil berwarna tosca keluar kamar.
SHEILA OEGROSENO
Cukup lama aku berdiri disini. Mengintip Na yang tengah mengeluarkan foto lama kami dari lacinya. Airmatanya rembes perlahan namun kali ini terasa berbeda. Aku merasa kali ini semuanya terasa baik. Aku merasa ini adalah awalan yang baik bagi keluarga kami.
"Aku benar kan, Mas. Zidane akan membawa Na kembali bersama kita," ucapku dalam hati dengan bibir yang tersenyum.
*
ZIDANE
Gue bingung kenapa tangan gue gemetar. Perut gue mules. Gelisah sejadi-jadinya. Hanya karena mau memperkenalkan Na pada genk looney-weirdo gue. Padahal sebagian dari mereka sudah mengenal Na. Ditambah ternyata acara Brandon serame ini. Gue kira yang namanya private, ya berarti kita-kita aja. Gue lupa kalo Brandon Wijaya adalah salah satu orang paling hype di Jakarta. Bahkan saking ramenya, banyak tamu yang ternyata kenalannya Na juga.
Tadinya gue kira, Na bakal nggak nyaman karena nggak kenal banyak orang di party ini. Eh ternyata malah gue yang berdiri di depan meja dessert berhiaskan pohon bonsai setinggi 150 sentimeter sambil menyeruput orange juice yang kayaknya gak habis-habis ini. Sementara Rayadinata, ia tengah ketawa-ketiwi dengan sekumpulan cewek-cewek yang nggak gue kenal. Mungkin itu teman-temannya.
"Jadi nih?" Suara Reiga membuat gue menoleh kearah kanan.
Gue nyengir. Berkat kesablengan Reiga malam itu. Gue pacaran sama Na.
"Thank you ya, Rei," ucap gue.
Reiga tersenyum lebar.
"Tapi kok lu bisa tahu kalo Na mau makan martabak?" bingung gue.
Reiga tak menjawab sambil menatap gue dengan sorot mata berisikan jawaban yang sudah dapat gue duga.
"Dari Tuhan maksud lo!?" tukas gue.
Reiga terkekeh. "Sampaikan terima kasih gue," ujar gue nyeleneh. "Satu tiket Coldplay boleh kali," ujar Reiga.
Eh busyet!
Brandon datang kearah kami. "Make it two!" tukasnya sambil merangkul bahu kanan Reiga.
"What!" seru gue.
"Anjir! Mau nonton Coldplay bertigaan aja. Make it six!!" sahut Tristan entah datang darimana.
Gue melongo. Enam tiket Coldplay?! Ini kenapa jadi pada minta tiket Coldplay!?
"Ketinggalan apa nih gue?" tanya Rama dengan tangan di dalam sakunya. Ia berdiri di samping kanan gue. Muncul bak jin.
"Zidane, mau kasih pajak jadian sama kita. Enam tiket konser Coldplay!" jawab Reiga.
"Anjir! Gue nggak bilang begitu, Nyet!" pekik gue.
Reiga cekikikan bersama yang lainnya. Rama menatap gue. "Kok cuma enam sih, Dane!?" kaget Rama.
Kami semua menatap Rama heran. "Lah emang harusnya berapa? Enam aja udah kebanyakan menurut gue!" sembur gue.