BEING MRS. SATYANEGARA

Pink Unicorn
Chapter #11

Chapter 10

NA

"Aku udah sampai," ucapku. "Aku masih kejebak macet nih, Sayang. Tapi udah dekat sih. Tunggu di lobi aja ya," balas Zidane.

Aku tersenyum.

"Takut banget kalau aku ketemu duluan sama Papa kamu," godaku.

"Naaaa, please jangan godain aku," ucap Zidane menggemaskan. Aku tertawa kecil. "Iya ... iya ... see you soon, surgeon," ucapku.

"See you soon, Sayang," balas Zidane sebelum akhirnya aku memutus sambungan telepon ini.

Aku berjalan masuk ke dalam restoran Jepang yang Zidane bilang bertemakan Omikase ini. Aku mencari tahu arti Omikase karena penasaran dan aku baru tahu kalau Omikase adalah tata cara makan yang menunya dipilihkan langsung oleh chef-nya. Wah, sungguh menarik. Apalagi ini adalah restoran favorit almarhumah Mama-nya Zidane. Tempat di mana kenangan begitu melekat. Aku mengatur napas. Begini ya rasanya bertemu orangtuanya pacar? Lumayan deg-degan sih.

"Nggak bisa, Pak. Mohon maaf tapi Bapak harus bayar sekarang," tukas kasir kepada seorang pria tua seusia Ayah.

"Tolonglah. Saya kan pelanggan setia tempat ini. Saya nggak akan lari kok. Bahkan bill saya pernah mencapai tujuh juta kan. Ini hanya 2,5 juta masa jadi ribut. Dompet saya benar-benar tertinggal di mobil. Begitu pula handphone saya," ucap pria tua tersebut.

Oh, rupanya begitu. Aku memang bukan tipe orang yang suka ikut campur masalah orang lain. Namun entah mengapa, kedua kakiku tergerak ke sana. Aku menghampirinya.

"Ini ada apa ya, Mas?" tanyaku pada kasir.

"Begini, Kak. Bapak ini tidak mau membayar dengan alasan dompet dan handphone-nya tertinggal di mobil. Sementara mobil Bapak ini dibawa sama supirnya," jawab kasir.

"Bukan alasan. Memang tertinggal," celetuk si Bapak.

Aku menoleh. Menatap Bapak ini. Tak ada tampang penipu dari raut wajah teduhnya. Serta sorot mata tenang yang entah bagaimana terasa familiar bagiku.

"Supir saya mungkin sedang otw kemari. Jadi, kamu tenang saja," ujar si Bapak pada kasir.

"Iya, Pak. Tapi Bapak tidak boleh keluar dari restoran. Bapak harus tetap di sini. Itu aturan dari atasan saya, Pak. Jadi mohon dimaklumi," jawab kasir.

Bapak itu mendengus.

"Saya itu janjian di depan, bukan di lobi sama supir saya. Kalau nggak keluar, gimana saya tahu dia sudah datang atau belum," desak si Bapak.

"Mohon maaf Bapak, tapi itu peraturan di sini," sahut kasir.

Baiklah, situasi ini semakin pelik. Tiba-tiba aku tercetus sebuah ide gila. "Maaf, Om," ucapku menyela.

"Ya?"

Aku mengulurkan tangan.

"Boleh saya yang bayar bill-nya Om?" tanyaku hati-hati takut si Bapak tersinggung.

Dahinya yang keriput mengerut. Ia memperhatikanku sungguh-sungguh. "Ini serius mau bayarin bill, Om?" Aku mengangguk.

"2,5 juta rupiah loh. Bukan uang yang sedikit. Apalagi kita tidak saling kenal. Nggak takut ditipu sama Om?" tanyanya.

Bibirku tersenyum. Aku menggeleng.

"Boleh kan, Om?" tanyaku lagi. "Boleh. Terima kasih ya," jawabnya.

Aku tersenyum lalu mengeluarkan kartu kredit yang kuserahkan pada kasir. Selagi kasir mengurus pembelian, si Bapak mengajakku ngobrol.

"Kenapa kok mau tolongin Om?" tanyanya.

Mungkin karena penasaran. "Waktu lihat Om tadi saya jadi ingat Ayah saya. Terus kepikiran kalau Ayah ketinggalan dompet juga gimana," jawabku jujur.

Si Bapak tersenyum. Senyuman yang juga terasa familiar dimataku.

"Sudah cantik, sopan, baik lagi. Beruntung sekali yang jadi mertua kamu kelak ya," ujar si Bapak.

Aku tersenyum lebar.

"Saya malah susah cari mertua, Om," ucapku asal. Tapi si Bapak menanggapinya serius.

"Loh kenapa?"

"Nggak akan ada orangtua yang mau menikahkan anaknya dengan anak yang keluarganya bercerai, Om," jawabku mengingat bagaimana Enrique dan Widy menyebutku.

Raut wajah si Bapak menegang. Seakan tidak terima dengan ucapanku.

"Ada," jawabnya.

Aku terhenyak.

"Om mau," tambahnya.

Aku terdiam, lalu tersenyum. "Makasih ya, Om," ucapku atas semangat tulus yang diberikan si Bapak. "Lagian zaman sekarang masih aja ada orang yang berpikiran kolot seperti itu. Harusnya diri seseorang dinilai berdasarkan kualitas dirinya. Bukan siapa orangtuanya," ucap si Bapak.

"Setuju banget, Om," sahutku merasa sepaham dan sepemikiran.

"Kalau nanti kamu belum ketemu juga sama calon mertua yang pemikirannya sama kayak Om. Jangan ragu untuk hubungi Om ya. Om punya anak lelaki, masih single, ganteng. Meski orangnya rada nggak peka dan garing sih. Tapi, Om bisa jamin, dia anak yang hangat, bisa diandalkan dan penyayang," ucap si Bapak.

Lihat selengkapnya