BEING MRS. SATYANEGARA

Pink Unicorn
Chapter #2

Chapter 1A

ZIDANE

Adakalanya dimana gue membenci suara Alejandro Manzano vokalis Boyce Avenue yang sedang mendendangkan When I was your man –nya Bruno Mars bersama Fifth harmony. Kelompok vokal cewek-cewek cantik bersuara merdu dan sexy. Gue sengaja memasang lagu cover ini untuk menandai panggilan rumah sakit. Bukan menandai kehilangan gue atas Nana ya.

“Onti cantik bukan?" ledek Tristan membuat kami semua tertawa.

“Bukan Onti Cantik, Angkel Tan!" celetuk Arkel lagi.

Enough, Arkelio. Ampun deh, jangan menyebarkan gosip dong, Kel! Nanti kalau ada cewek yang dengar, Angkel Dane kamu ini beneran nggak dapat istri nanti. Tristan menjawil pipi tembem Arkel.

“Angkel Tan juga tahu, Arkel. Bercanda doang," ucap Tristan dengan nada gemas.

“Oooh bercanda, gumam Arkel lalu melanjutkan mengedot botol susunya lagi.

Gue menyingkir. Menerima telepon. “Hmm ... iya. Saya paham. Siapkan meja operasinya. Saya ke sana sekarang," ucap gue lalu mengakhiri percakapan.

“Sorry, Don. Panggilan. Ceritain ke gue lewat grup ya," ujar gue lalu mengelus kepala Rana yang sudah tertidur.

Hug and kiss," ucap Arkel dengan dua tangan terulur mencoba meraih wajah gue.

This kiddo!

Gue mencium kepala Arkel sebagai gantinya.

“Apa sih yang elo ajarin, Rei?" ujar Niyo.

Reiga cuma tersenyum.

“Mami-nya. Gue sih yang menikmati hug and kiss aja," jawab Reiga dengan kedipan mata genit. Geli gue lihatnya sampai tertawa.

“Gue pamit dulu. Don’t miss me," ucap gue ke semua sahabat gue yang cuma bisa nyengir pasrah. Mungkin saking terbiasanya melihat gue cabut duluan setiap dapat telepon dari rumah sakit.

"Have a good nite, Arkel," ujar gue sambil melambaikan tangan ke Arkel yang membalasnya.

“Angkel Dane mau ketemu Onti cantik," celetuk Arkel lagi. Membuat kening gue berkerut.

“Apa, Kel?" tanya Niyo dengan ekspresi takut salah dengar. “Onti cantik, Angkel Yo," gumam Arkel.

“Iya kan, Pih? Onti Cantik lagi nungguin Angkel Dane?" ucap Arkel sambil menatap Reiga yang ekspresinya sulit dimengerti. Tapi, beberapa detik kemudian senyum Reiga mengembang.

“Who know’s," ujar Reiga.

“Iyaaaaa, Papiiii, Arkel liattttt kokkk!!!" seru Arkel dengan cemberut.

“See you soon, Dane," ujar Reiga seakan mengusir gue.

Tak ambil pusing dengan ucapan ponakan gue itu. Gue pergi segera. Ada jantung seseorang yang sedang menunggu untuk gue selamatkan.


NA

I hate hospital. Sejak pertama kali gue datang kesini dalam keadaan Ibu yang sekarat akibat serangan jantung 19 tahun lalu. Juga alasan dibalik mengapa Ibu terkena serangan jantung. Perempuan itu dan anak perempuan itu. Bukan anak kandung Ayah tapi dicintainya sebegitu besarnya. Ayah selalu ada untuk anak perempuan dari perempuan itu. Iya, cinta pertamanya, cinta selama-lamanya. Omong kosong! Katanya pria itu makhluk paling realistis dimuka bumi ini, tapi melupakan cinta pertama saja mereka tidak becus. Bahkan Ayahku termasuk dalam golongan tersebut.

Sekarang aku disini lagi. Ini pertama kalinya setelah lima tahun. Aku selalu menahan diri untuk tidak mendebatkan apapun mengenai pernikahan dengan Ibu. Karena itu aku memilih kuliah di New York, selagi Ibu di Manhattan, dan ketika Ibu memilih kembali ke Jakarta. I live there until i got master. Dan bertemu Enrique. One more an a*****e in my life, one more big liar.

“Berapa kali sih gue harus bilangin elo, De?!" seru Kak Ra, aku biasa memanggilnya Ra ketimbang ‘Raisa’ sejak aku kecil.

Kak Ra marah. Wajar. Aku saja sedang merasa marah sekarang. Tentu pada diriku ini. Pada mulutku. Pada otakku. Pada prinsipku.

“Kak, marahin Na, nggak akan mengubah apapun. Sekarang yang harus kita khawatirin tuh, Om Ervan lagi seminar di Kanada. Ibu nggak ada dokternya," ujar Kak Vanya panik.

Iya, Om Ervan, dokter jantung Ibu yang biasanya sedang seminar di Kanada. Tadi suster dirumah sakit ini yang bilang begitu. Aku hanya tidak benar-benar menyimak. Pikiranku kacau.

Kak Ra menghela napas. “We talk this later!" serunya padaku. Kak Ra mengalihkan perhatian pada Kak Vanya. “Terus nggak ada dokter jantung lain, Vay?" tanya Kak Ra mencoba tenang.

Aku terhenyak sendiri. Tiba-tiba rasa takut itu menghujam dadaku. Jika ibu pergi, itu semua jelas salahku!

Ibu, maafin Na, maafin Na .... Tuhan, kuatkan Ibu. Jangan ambil, Ibu. Aku berdoa dalam hati menguatkan diriku sendiri. Kak Ra mencoba menelepon Om Ervan. Syukurlah diangkat. Dan yang kudengar hanyalah sepenggal kalimat.

“dr. Zidane? Iya, Om - ........ - Iya, Ra, Vanya dan Na udah disini - ...... – Iya. Makasih, Om."

Kak Ra menutup teleponnya. “Om Ervan bilang, Ibu harus dioperasi dan disini ada dokter sepesialisnya, kepercayaan Om Ervan juga, lulusan Harvard, namanya ....”


ZIDANE

“Semua udah siap?" tanya gue kearah suster yang menyambut didepan ruang operasi. Suster itu mengangguk. Gue mensterilkan tangan lalu masuk ke ruang operasi. Seorang perempuan setengah baya terbaring tak sadarkan diri. Mengingatkan gue pada almarhumah Ibu. Bismillah. Gue mengucapnya dalam hati. “Kita mulai operasinya," ucap gue dan diikuti anggukan dokter lain dan juga para suster.


NA

Menunggu itu sangat menyiksa. Kegiatan paling membosankan dan sangat membuat sakit hati. Hanya orang-orang sabar yang bisa melewati yang namanya menunggu. Dan aku adalah satu yang paling tidak bisa menunggu. Meeting bersama jajaran tim redaksi untuk membahas tema majalah saja membuatku ibarat duduk diatas bara api. Kenapa Kak Ra belum telepon juga? Apa ibu belum siuman setelah operasi? Bukannya suster bilang operasi nya berhasil? Bukannya dokter bedah jantung yang operasi Ibu semalam itu lulusan HMS¹?

“Bu?" ujar Renata, wakil pemred, membuyarkan pikiranku.

“Oh ya? Jadi sampai mana tadi?”


ZIDANE

“Terima kasih ya, Dok. Kalau nggak ada dokter, mungkin saya sudah meninggal," ucap ibu yang semalam gue operasi.

Namanya Sheila Oegroseno. Gue tersenyum. Visit dokter setelah operasi.

“Sama-sama, Bu. Tapi, saya cuma perantara Allah aja untuk menolong Ibu," ucapku.

Dan setelah gue memastikan, jantung Ibu Sheila ini baik-baik saja. Gue lega.

“Dokter sudah lama bekerja?”

“Alhamdulillah, Bu," jawab gue.

“Masih muda sudah jadi dokter spesialis bedah. Orang tua dokter pasti sangat bangga punya anak ganteng, pintar lagi," ucap si Ibu lagi.

Gue hanya tersenyum mendengar pujian itu. This is a part of my job. Mendengarkan pasien bicara. Selain keluhan tentunya. The best medicine for heart attack patient is a warmth welcome. Trust me. Dan dipuji begini sih gue juga sering. Bukannya sombong.

“Dokter sudah punya pacar atau istri?" tanyanya.

Nah, pertanyaan yang ini juga sering.

“Belum, Bu. Nggak ada yang mau sama saya," canda gue.

Lihat selengkapnya