BEING MRS. SATYANEGARA

Pink Unicorn
Chapter #12

Chapter 11

ZIDANE

"Belum tidur, Pah?" tanya gue melihat Papa sedang duduk di sofa ruang tv sendirian.

"Nungguin kamu. Lama banget. Kirain nggak inget pulang," ledek papa membuat gue tersenyum malu. Gue duduk di samping kanannya.

"Udah lama nggak bicara kayak gini sama kamu ya, Dane," ujar Papa.

Gue menghela napas. Gue kira mau ngomong apa. Hasil evaluasi dinner kami dengan Na gitu. Ternyata cuma mau bully gue. Papa ... Papa ...

"Iya Pah, maaf ya Pah kalau Zidane jomblonya lama," ucap gue yang disertai tawanya papa yang berderai.

Nah kan! Udah puas belum ketawain Zidane, Pah? Sedih amat sih gue.

"Kamu tuh buruk sangka aja sama papa," ujar papa sambil tertawa.

"Papa sama aja sama genk-nya Zidane, anak coas Zidane, semuanya ngeledekin Zidane, cuma ..."

"Rayadinata yang belain kamu?" potong papa.

Refleks bibir gue tersenyum mendengar papa menyebut nama Rayadinata barusan.

"Nggak juga sih," jawab gue malu-malu.

Papa menatap gue dengan tatapan menyelidik seakan menunggu jawaban lanjutannya. Gue mengambil jeda untuk mengatakan kekaguman gue akan Na pada papa. Sembari otak gue memutar momen di mana Na tersenyum. Na tertawa. I know i'm crazy over her.

"Cuma Na itu selalu melihat Zidane dengan cara yang berbeda, Pah. Cara yang membuat Zidane nggak tahu kenapa merasa if i'm not that bad. I deserved to be loved. She laughs with all of my nerd jokes. Tulus. Na punya pandangan yang berbeda soal kesibukan dan jadwal Zidane yang kusut melebihi kabel listriknya Jakarta. She respects me a lot. Terharu aja sih, menemukan wanita seperti Na yang melihat Zidane sebagai diri Zidane sendiri, bukan sebagai dokter jantung lulusan HMS, bukan sebagai anaknya Arya Satyanegara, bukan sebagai jaminan hidup, bukan juga sebagai budak cinta. She accepts me just the way i am," tambah gue.

Well, itulah yang gue rasakan mengenai Na. I'm in love with her with all of my heart. Dan gue nggak merasa malu mengakuinya. Gue justru bangga bisa jatuh hati sama perempuan seistimewa Rayadinata Nareswari. Papa tersenyum meledek gue. Membuat gue risih. Paling jago emang ini dokter Arya kalau soal gangguin anak sulungnya.

"Kenapa senyumnya kayak gitu?" ujar gue sinis dan malah membuat Papa tertawa.

"Na nggak marah sama papa?" tanya papa.

Gue diam mencoba mencerna pertanyaan papa. Lalu tersenyum. "Oh yang di restoran tadi. Yang papa ngerjain dia?" ujar gue sambil tersenyum lebar. Papa tersenyum sambil mengangguk-angguk.

"Enggak. Komentar Na malah gini, Pah. Papa kamu kok beda ya sama kamu, Dane." Gue meng-impersionate Na. Papa menatap gue sambil tersenyum geli.

"Kamu tuh orangnya kaku banget, tapi Om Arya bisa se-easy going itu," lanjut gue.

Tawa papa membuncah. "Papa kira dia bakal marah."

"Kan Zidane udah bilang, Pah. She has a different point of view from general people," ucap gue. Ah jadi kangen sama Na kan! Kapan ya gue bisa pulang ke rumah yang sama kayak Na? Satu kamar. Satu tempat tidur. Satu selimut. Astagfirullah al adzim. Mikir apaan sih lu, Dane!

"You look so fall into her," ujar Papa sambil menepuk paha kiri gue.

Gue menatap mata papa. Sampai pada mode serius yang mana gue begitu kenali dari sosok Arya Satyanegara seumur hidup gue. Tanda kami akan sampai ke penarikan kesimpulan apakah hubungan gue dan Na akan direstui atau tidak sama Papa. Gue masih inget banget, dulu gue pernah berjuang mati-matian biar papa bilang yes dengan legowo untuk Clarisa, Cyilla, dan Nana. Papa nggak pernah benar-benar setuju dengan hubungan gue. Meski pada akhirnya, feeling papa memang selalu benar. Terbukti! Baik Clarisa, Cyilla ataupun Nana. Semuanya tinggalin gue gitu aja. Karena dari awal, beliau memang agak berat untuk bilang yes. Selalu ada kalimat, "kita evaluasi lagi ya, Dane".

"Yes, i do, Pah," ujar gue pelan namun mantab.

Papa tersenyum.

"Me too," ujar Papa.

Kening gue mengerut. Nggak mau terlalu percaya diri. "Maksudnya apa, Pah?" tanya gue nggak sabaran.

Papa terkekeh dengan ekspresi meledek gue.

"My answer is absolute yes," ucap Papa membuat gue tertegun. Tak tahu harus berkata apa. Tak percaya telah mendengarnya. Restu Papa. Tanpa sadar kedua mata gue berkaca begitu saja.

"Ini nggak lagi nge-prank Zidane kan, Pah?" tanya gue takut salah dengar. "Kok gampang banget?"

I've done with a dissapoint.

Papa menyentuh tangan kiri gue. Menepuknya pelan. "Orang kok dikasih restu tapi malah nyeleneh gitu," ledek Papa.

Lihat selengkapnya