Rabu, 14 Desember 2022
"Neng ... Neng!" Kudengar Bapak yang mengetuk pintu sembari menyerukan namaku.
"Sebentar, Pak."
Beruntung aku selesai merias diri. Aku segera membawa tas, memasukkan barang, dan keluar kamar. Beliau tampak berkacak pinggang seakan-akan aku telah melakukan sesuatu yang tak disukainya.
"Kemarin kamu sama si Tryan ke mana?" tanyanya.
"Ke Majalaya, Pak. Ketemu klien Aa," jawabku.
"Beneran, kamu nggak lagi bohong sama Bapak, 'kan?" selidiknya diiringi tatapan penuh curiga.
"Ya, Pak. Kemarin langsung pulang, kok. Kita nggak ke mana-mana." Aku berusaha meyakinkannya.
"Terus, udah kamu tanya kapan dia nikahin kamu?" desaknya.
"Udah, Pak," imbuhku.
"Apa jawabannya?"
Aku menunduk, lalu menggeleng lemah. Sejenak kulirik raut wajahnya yang mengisyaratkan kekecewaan. Aku tahu beliau sangat peduli dan begitu menyayangiku. Aku memahami bahwa semua yang dilakukannya-desakan, menginginkanku memastikan keseriusan Tryan. Semua itu demi aku, putri semata wayangnya.
Pagi ini, ada pernyataan yang membuatku termangu. Jika tak ada kepastian dari Tryan, aku harus menjaga jarak-menjauhinya. Tidak lagi melakukan hubungan dengan lelaki itu meski sebatas bercengkerama lewat ponsel. Bapak tak ingin aku terjerat dalam kisah yang sama dan peristiwa menyakitkan itu terjadi lagi.
Tryan baik, hanya saja dia memiliki banyak beban. Dia setia, hanya saja banyak tanggung jawab yang harus dia emban. Dia tidak kurang ajar, tak pernah memaksa atau melakukan perbuatan buruk-melecehkan atau mengatakan sesuatu yang tak pantas. Namun, keteguhan hati Bapak tak mudah ditembus oleh sikap-sikap itu. Beliau hanya butuh pembuktian, bukan sekadar janji manis.
****
"Dari tadi perasaan diem aja. Ada apa, Han?" tanya Tryan saat kami tiba di kedai.
"Nggak apa-apa. Aku masuk dulu, ya." Aku memberikan helm padanya dan segera ke kedai.
Ririn libur, hari ini aku memulai hari bersama Tita, karyawan dari GreaTime pusat di Cihampelas Walk. Dia memang disiapkan untuk back up jika karyawan di kedai cabang mengambil libur. Informasi itu diberikan Pak Derry langsung via whatsapp grup. Ada tujuh anggota di sana, enam karyawan termasuk Pak Derry sebagai pihak pengelola.
Saat ini perusahaan kami baru mengembangkan dua lokasi saja, menyusul perkembangan ekonomi yang belum stabil akibat wabah Covid-19.
"Han, tumben wajahmu gitu amat. Masih pagi, loh, ini!" seru Tita.
"Nggak apa. Lagi bad mood aja," keluhku.
Setelah membuka kedai dan melakukan sedikit persiapan, aku bercengkerama dengan Tita. Aku butuh saran darinya walaupun kami hanya bertemu seminggu sekali.
"Han, yang kita cari dari cowok itu apanya coba?" tanya Tita sembari mengiris buah lemon.
"Hng ... banyaklah, Ta. Salah satunya, ya ... tanggung jawab!" tebakku.
"Akhlak, pendapatan, pekerjaan, tanggung jawab, face ... harus, ya. Keturunan, sih. Intinya dia pengertian, perhatian, penyayang, punya visi misi yang jelas di masa depan."
"Jadi, aku harus gimana, Ta?" Aku berdecak.
Tita ingin aku mempunyai cadangan. Statusku saat ini single dan tak terikat apa pun dengan Tryan. Sah-sah saja bila aku mencari pria lain untuk jaga-jaga. Menurut gadis 24 tahun itu, aku tidak melakukan tindakan sadis, tetapi lebih ke arah realiatis sesuai keadaan.
Tryan memang pernah berjanji, tetapi tak selamanya aku akan terus menunggu. Cepat atau lambat akan ada pria yang mendahuluinya sebab terlalu lama mengulur waktu. Aku sebagai wanita pun bebas memilih tanpa harus merasa terbebani.