Bekas Luka

Papp Tedd
Chapter #4

Empat

Kamis, 15 Desember 2022

 

"Aa minta maaf karena udah marah-marah nggak jelas kemarin. Mudah-mudahan kita ke depannya lebih baik lagi, ya. Saling mencintai, saling mengerti, dan saling menjaga satu sama lain." Pesan itu ditutup oleh emoticon love biru.

 

Dengan mata setengah suntuk aku membaca pesan itu. Dilihat dari waktunya pukul 02.20, sepertinya dia belum tidur. Amarahnya tak pernah berlangsung lama. Mungkin, dia terlalu takut untuk aku tinggalkan. Seberharga itukah aku di hatinya. Tentu, Tryan tak 'kan bisa menjalani rutinitas dan bertahan hidup di dunia ini tanpa ada aku.

 

Sebagai permohonan maaf, Tryan akan membelikan sarapan. Aku tak merespons pesan itu, hanya membacanya saja. Bergegas aku bangkit dari ranjang untuk menaruh ponsel di nakas, kemudian mengambil wudu.

 

Pukul 07.00, aku hampir selesai merias diri. Tinggal sedikit sentuhan di wajah, maka kecantikanku yang paripurna akan terpancar. Rutinitas seperti ini kujalani setiap hari, kecuali libur. Terkadang ingin rasanya aku berhenti bekerja, tetapi aku tak dapat melakukannya. Aku tak mau bergantung pada orang tua.

 

Mungkin, bila aku menemukan sosok suami yang sudah sukses dia akan memintaku diam saja di rumah. Jika aku bertemu pria itu, tampaknya aku akan diperlakukan bak putri istana. Pekerjaan rumah, ada asisten rumah tangga yang siap mengerjakannya. Lebih banyak waktu bagiku untuk beristirahat dan memanjakan diri.

 

Sebab jujur saja aku merasa iri terhadap mereka yang bisa seperti itu. Melakukan perawatan di salon, liburan dari satu tempat ke tempat lainnya, kemudian tak memikul beban besar yang menciptakan kegelisahan dalam jiwa. Apakah seorang Tryan dapat mewujudkan angan-anganku ini atau aku harus menunggu lagi.

 

"Neng, dia dateng, tuh!" lantang Bapak.

 

"Ya, Pak. Neng berangkat dulu." Aku takzim padanya.

 

"Hei, jangan lupa tanyain lagi. Ingat ini yang terakhir kalinya Neng tanya sama dia. Kalo tetap nggak ada kepastian, Neng tahu harus apa?" Bapak mengangkat dua alisnya.

 

Aku mengangguk, lalu keluar untuk menghampiri Tryan. Garis melengkung di bibirnya tercipta dan hanya kupandangi saja. Aku masih kesal, tetapi tak ada salahnya jika diantar ke tempat kerja olehnya. Selain hemat uang transportasi, hal ini juga bentuk keseriusannya bahwa ketika aku marah dia mampu mengalah.

 

Selama di perjalanan kami tak banyak bicara. Sesekali dia membuka percakapan dan hanya kujawab singkat. Setibanya di kedai aku melihat Ririn sudah datang. Dia menunggu kunci rolling door yang ada di tanganku.

 

"Han, nih, pegangin dulu!" Ririn memberikan sesuatu padaku.

 

"Apa ini?" Aku menelisik apa yang ada di dalam bungkusan itu, ternyata makanan dari restoran Jepang.

 

"Ada cowok yang titipin ke aku sepuluh menit yang lalu," ungkapnya.

 

"Ciri-ciri cowok itu kayak gimana?" selidikku.

 

"Pokoknya ganteng, kayak orang Arab gituloh!" jelasnya.

 

Lihat selengkapnya