Aku bergegas mencari apotik terdekat. Dengan rasa kalut aku mencari kapas, kain kassa, alkohol, hansplast dan betadine. Setelah mendapatkannya, aku kembali ke area nangkring GreaTime. Naufan tampak duduk sambil mengerang sesekali.
Pukulan Tryan membuatnya tersungkur dan meninggalkan luka memar di pipi serta dahi Naufan. Selain itu piring siomay pecah karena tersenggol saat pertikaian terjadi. Belingnya menusuk telapak tangan pria itu. Aku tak menyangka Tryan akan emosi seperti ini.
"Udah lama ... saya nggak dihajar kayak barusan. Huh!" Naufan tampak terpejam.
"Saya bantu balut lukanya, Mas," imbuhku.
Aku membuka kapas dan membasahinya dengan alkohol, lalu membersihkan darah di telapak tangan serta pelipisnya.
"Hah!" erangnya.
"Maaf, Mas, maaf," seruku.
Naufan mencabut sendiri beling-beling kecil yang menusuk telapak tangannya. Aku kembali membersihkan cairan merah yang mengalir perlahan. Aku merawat lukanya dengan teliti dan hati-hati. Aku memohon maaf yang sebesar-besarnya pada Naufan atas tindakan Tryan yang sangat arogan bak preman pasar.
Aku tak salah apa pun menurutnya. Naufan justru menilai bahwa cinta Tryan sangat besar sehingga hal seperti ini terjadi. Dia tak rela lelaki mana pun mendekati atau bersamaku. Bagiku itu bukan cinta, hanya tindakan bodoh yang secara tidak langsung membuka watak aslinya.
Perban menutup luka, aku merapikan sampah-sampah yang berserakan. Pedagang siomay meminta ganti rugi atas piring yang pecah. Naufan menanggung semuanya tanpa banyak bicara.
"Hana, saya antar pulang, ya," tawarnya.
"Jangan, merepotkan. Saya pakai ojek online aja. Lagi pula, tangan Mas masih luka," tolakku.
"Cuma luka kecil besok juga udah sembuh. Pokoknya, jangan nolak. Wanita pulang sendirian jam segini. Bahaya, udah saya anter aja. Tunggu di sini, saya ke parkiran dulu, ya."
"Tapi, Mas ..."
Mobil merah itu berhenti di trotoar. Aku diminta Naufan untuk naik dan tak ada bantahan lagi. Di perjalanan, pria itu meminta maaf sebab aku jadi pulang larut. Jika tak melakukan pertemuan malam ini, aku sudah di rumah karena Tryan akan menjemput tepat waktu.
Aku tak mempermasalahkan hal itu. Lagi pula semua harus dibicarakan agar tidak terjadi salah paham di kemudian hari. Aku menanyakan kondisinya. Menyetir dengan lengan penuh perban pasti tidaklah mudah. Dia pun mengakui ada sedikit sensasi seperti terkena setrum. Perih dan linu.
Naufan tak begitu hapal jalanan menuju rumahku. Dia ingin aku menunjukkan arah yang benar agar kami tidak tersesat.