Senin, 19 Desember 2022
Malam ini, Naufan mengajakku makan. Ya, beberapa hari ini dia memang rutin menjemputku. Tryan hilang entah ke mana. Tak ada kabar, tak ada berita, mengirim pesan pun tidak. Aku tak mengerti dia. Biasanya sesibuk apa pun dia akan menyempatkan waktu untuk menghubungiku. Namun, dia telah berubah.
Entah apa yang merasuki pria itu. Dia bukan seperti dirinya yang kukenal beberapa tahun lalu. Kehilangan ... jujur saja aku merasa demikian. Kendati Naufan ada di sini, tetap saja rasanya agak lain bagiku. Kami singgah di restoran Jepang malam ini. Dia tak memedulikan penampilanku yang masih memakai seragam kerja.
Usai memesan makanan, kami duduk di bangku paling sudut. Kuhidu aroma dari makanan khas Jepang yang tampaknya begitu lezat.
"Mas ... Mas kenapa?" Aku mengamati Naufan tengah mengitari keadaan sekitar.
"Saya sebenarnya bisa dikatakan berani mengajak kamu makan malam ini. Saya masih memikirkan kejadian di mana laki-laki itu tiba-tiba datang dan membuat suasana riuh," bisik Naufan.
"Tenang, Mas. Dia nggak akan ke sini, kok," ungkapku.
"Dari mana kamu tahu, Hana. Memang dia ada kabarin kamu?" tanya Naufan.
Aku tak tahu, hanya menduganya. Tryan diam membisu beberapa hari ini, mana mungkin dia tahu ke mana aku pergi. Naufan kala itu lantas meminta maaf. Dia merasa menjadi otak dari hubunganku dengan Tryan yang menjadi renggang seperti sekarang.
Dia tak bersalah, sama sekali tak bersalah. Aku justru merasa harus melakukan ini. Aku tak bisa berpura-pura lagi di depan semua orang mengenai hubungan kami yang tanpa status. Aku membiarkan dia pergi ke mana pun walaupun terkadang masih memikirkannya.
Aku kini mencari tahi tentang Naufan. Ada yang tak lazim pada laki-laki ini. Jika dia mempunyai urusan, bukankah seharusnya dia pergi atau sibuk dengan pekerjaannya. Seharian ini dia terus mengabariku-mengirim stiker dan mengucapkan semangat. Lalu, rencana makan bersama.
Pria ini baik, tetapi misterius. Entah benar atau tidak bahwa kepulangannya terjeda karena ada urusan yang belum selesai. Namun, aku merasa dia sedang melakukan pendekatan padaku. Terlalu percaya diri, itulah yang kurasakan saat ini.
"Hana, kamu nggak keberatan saya ajak makan malam ini?" tanya Naufan.
"Nggak, aku sangat berterima kasih, Mas," sahutku.
"Saya perhatikan bahkan sampai saat ini. Pandanganmu kosong, seperti ragamu di sini tapi jiwamu entah ke mana," ungkapnya.
"Aku-aku lagi banyak pikiran aja, Mas." Aku tersenyum getir.
"Kalo ada yang bisa saya bantu, katakanlah. Saya bisa menjaga rahasia, kok." Naufan mengerlingkan matanya.