Bekas Luka

Papp Tedd
Chapter #11

Sebelas

Kamis, 22 Desember 2022

 

"Selamat hari Ibu, ya, Bu."

 

Usai salat Subuh, aku ke kamar beliau dan memeluknya erat. Aku meminta maaf bila selama ini belum mampu membahagiakannya. Kehadiranku, sudah cukup menurutnya. Kebahagiaan dan kesehatanku menjadi kado terindah di hari spesialnya.

 

Beliau hanya berpesan agar aku tak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Ibu mendoakan agar aku mendapat suami yang baik, shalih, bertanggung jawab, dan tentunya mencintaiku sepenuh hati. Kata-kata dari bibirnya membuat air mataku luruh. Aku tak sungkan untuk mendekapnya.

 

Ibu dan Bapak langsung ke warung, sedangkan aku bersiap-siap untuk bekerja. Ponselku berbunyi di tengah rutinitas make up. Aku membuka pesan yang datang dari Naufan. Dia sudah menunggu di parkiran. Sepagi ini, pukul 07.03 dia sudah stand by di sana. Sejak kemarin dia memang mengantar jemputku.

 

Naufan melarangku memakai ojek online. Dia tidak ingin aku menghamburkan uang. Toh, dia masih ada di Bandung sehingga kapan pun siap menjadi sopirku. Aku menutup pintu dan segera ke parkiran setelah semua siap.

 

"Dua belas menit, masih manusiawi. Cuma nggak kebayang aja kalo ke undangan gitu. Segala sanggul, baju ganti-ganti, belum milih tas sama sepatu, poles lagi wajah yang tebal. Walah!" guraunya.

 

"Untung ini pake seragam, ya, jadi nggak harus pilih-pilih pakaian." Aku melengkapi candaannya.

 

"Nah, itu. Itu poinnya!" Naufan antusias, "hmm, Hana, apa Tryan ada balas pesan kamu?" tanyanya.

 

Wajahku yang mulanya semringah kembali sedikit menekuk. Dia tak membalas pesanku sejak kemarin. Kepergiannya bukan sesuatu yang kuharapkan. Apalagi dengan caranya yang menghilang seperti ini. Kenapa dia menggantung perasaanku layaknya pakaian basah yang tetap basah hingga matahari menyorot dan mengeringkannya. Tak bisakah dia bersikap demikian.

 

Kendaraan roda empat melaju membelah jalanan. Naufan mengatur kecepatan perlahan karena banyak anak sekolah dan kendaraan roda dua yang membuat lalu lintas sedikit terhambat. Pria itu mengajakku sarapan, tetapi aku sedang tak bernafsu makan.

 

Pikiranku berkecamuk. Kadang aku merasa semua baik-baik saja, tetapi semua bisa luluh-lantak saat kondisi berubah. Tryan, apa dia sudah menemukan perempuan lain di luar sana. Apa kepergiannya dilandasi oleh wanita yang jauh menarik segalanya dibanding denganku.

 

Bila benar, dia sungguh tega melakukan itu padaku. Dia yang berjanji untuk menikahiku, tetapi pria itu justru berpaling. Dia membawaku ke taman yang dipenuhi bunga warna-warni yang harum dan memekar. Dia juga yang tak merawat dan menjaga keindahan itu hingga semua layu, kemudian mati.

 

"Hana, kamu kenapa, kok, terisak?" tanya Naufan.

 

"Mas, biasanya cowok itu pergi karena apa?" Spontan aku bertanya.

Lihat selengkapnya