Bekas Luka

Papp Tedd
Chapter #13

Tiga Belas

Minggu, 25 Desember 2022

 

Di balik seragam biru kuning yang tertutup celemek aku menyembunyikan kegusaran hati. Berharap dengan bekerja, setidaknya mampu menepis sejenak tentang peristiwa kemarin. Aku bercermin lewat kaca bundar yang menempel pada alat make up.

 

Kantung mata tercipta, membentuk garis melengkung dari ujung ke ujung. Aku bukan menangis, lebih tepatnya gelisah. Jangankan larut dalam mimpi, terlelap pun tak mampu. Aku baru benar-benar tidur usai salat subuh. Waktu tidurku hanya dua jam.

 

Aku ingin tidur, benar-benar ingin memejamkan mata meskipun hanya setengah jam.

 

"Han, nanti pulangnya ke mall dulu, yuk. Pasti banyak diskonan Natal dan Tahun Baru, deh!" ajak Ririn.

 

"Nggak, ah. Aku ngantuk banget, Rin, nggak kuat." Aku melipat tangan di meja, lalu meletakkan kepala di atasnya.

 

"Heleh, kok, bisa kamu kayak gini. Tumben banget," ujarnya.

 

"Pusing, ih. Aku harus gimana, Rin?" keluhku.

 

Aku berpikir 1000 kali untuk bercerita padanya. Namun, tampaknya aku tak memiliki pilihan lain dan membutuhkan saran dari orang-orang sekitar. Sebelum mengurai kisah, aku meminta padanya agar berjanji tidak membeberkan hal ini ke mana pun, pada siapa pun, terutama yang bersangkutan.

 

"Hah, Naufan ngelamar kamu?" Ririn terbelalak.

 

"Itu, makanya!" seruku.

 

"Cepat banget, ya, dia bertindak!" Dia termangut.

 

Ririn membandingkan tindakan Naufan dengan Tryan. Terlalu lama bergerak yang ada ditikung orang lain. Namun, terlalu cepat pun tak baik juga. Tidak ada kesempatan bagi masing-masing pihak untuk saling mengenal satu sama lain. Sebab hal itu juga penting demi kelangsungan rumah tangga di masa depan.

 

Tentu siapa pun menginginkan hubungan yang harmonis hingga mau memisahkan, 'kan? Ririn ingjn aku menerima lamaran Naufan. Dia merasa semua ini hadiah atas kesabarannya yang menunggu Tryan selama berbulan-bulan. Bahkan, aku tak melakukan kesalahan jika menerima Naufan.

 

Tryan pun menghilang. Jika aku harus menunggunya, sampai kapan. Ririn tak ingin aku terus terjebak dalam janji manis dan palsu dari lelaki itu. Aku pantas bahagia dengan pilihanku, bukan karena seseorang yang mengendalikan hidupku. Menurutnya, hidupku akan terjamin bila menikah dengan Naufan.

 

"Eh, lupa." Ririn tiba-tiba memelukku, "selamat, ya, akhirnya," ujarnya.

 

"Belum, ih, belum resmi," gurauku.

 

Lihat selengkapnya