Rabu, 04 Januari 2023
Tiga hari menuju akad nikah, rumahku sedikit-sedikit sudah dirapikan. Sofa-sofa dan berbagai perabotan telah dibereskan. Ba'da Zuhur, ibu-ibu berkumpul di rumahku. Mereka adalah tetanggaku-beberapa di antaranya warga dari RT lain yang menjadi pelanggan setia di warung sayur Ibu. Dipimpin oleh Ustazah Ria, siang ini diadakan pengajian di rumahku.
Pukul 14.40, alhamdulillah acara berjalan dengan lancar. Kami membagikan sedikit bingkisan kepada ibu-ibu yang sudah berkenan untuk hadir. Mereka menikmati makanan ringan dan air mineral yang sudah disediakan.
"Saya kaget waktu Ibu Jia ngundang buat pengajian. Apalagi pas denger Hana mau nikah!" seru Ibu Yati
"Lebih kaget saya, kirain jadi sama Tryan tahunya bukan!" timpal Ibu Sari.
"Padahal mereka teh kelihatan dekat banget. Malah saya mikir, wah ini udah jodohnya, nih," tambah Ibu Eva.
"Itulah jodoh ibu-ibu. Jodoh mah jorok, kadang datang dari arah yang nggak disangka-sangka." Ustazah Ria melanjutkan.
"Tapi, ngomong-ngomong ke mana si Tryan, ya, udah lama nggak kelihatan? Biasanya suka mondar-mandir itu anak." Ibu Yati lantas mengalihkan pandangan ke arah Teh Dewi.
"Hei, Dewi. Si Tryan ada nggak sekarang?" tanya Ibu Eva.
"Tryan di Jakarta ada kerjaan di sana katanya. Udah dua mingguan dia pergi," urainya, "maaf, saya nggak bisa lama-lama. Harus jemput anak dulu. Terima kasih, Bu Jia, semoga pernikahan Hana lancar, ya. Assalamualaikum."
Teh Dewi pergi begitu saja dan menjadi topik pembicaraan ibu-ibu di sana. Naluriku berbisik bahwa wanita itu menyembunyikan sesuatu. Malam tahun baru saja Tryan ada di sini. Dia melakukan sesuatu pada Naufan kala itu. Tidak mungkin dia ada di Jakarta.
Seketika ibu-ibu di rumah membahas Tryan. Ada yang berpendapat bahwa memang sebaiknya aku menerima pria lain daripada menunggunya. Akan tetapi, beberapa orang mengomentari Naufan. Aku dan keluarga diminta berhati-hati apalagi menerima orang yang baru dikenal. Mana tahu dia buronan atau bukan bujangan atau mungkin hal lain yang perlu diwaspadai.
Ketika azan Asar berkumandang, rombongan ibu-ibu pun bubar. Aku menghela napas panjang, kemudian tersenyum. Terlalu banyak bibir berbicara, terlalu banyak pendapat yang datang silih berganti membuat telingaku cukup sakit. Aku bersama keluarga mentertawakan tingkah mereka.
Bunyi telepon memecah suasana gembira. Naufan memberi tahu lewat percakapan bahwa malam ini Paman dan bibinya akan ke rumah dan secara resmi menemui keluargaku. Kabar baik itu tentu disambut dengan bahagia. Kami menerima kedatangan mereka yang sudah lama dinantikan.
Hal itu menjadi tanda bahwa Naufan bukan pria abal-abal. Bukan buronan, bukan suami orang, bukan pula pria yang tak jelas asal-usulnya seperti yang mereka katakan. Pertemuan akan dilakukan setelah Isya sekaligus kami menggelar acara makan malam bersama.