Bekas Luka

Papp Tedd
Chapter #25

Dua Puluh Lima

Rabu, 18 Januari 2023

 

Mas Naufan berangkat pagi-pagi sekali. Setelah mengantarku dari pasar, dia langsung pamit. Belum genap satu minggu di sini, aku sudah merindukan Bandung. Apalagi, jika melihat sayuran hijau dan burung perkutut milik tetangga seberang. Rinduku pada kedua orang tua menggebu-gebu.

 

Kemarin, Mas Naufan memperkenalkanku pada ketua RT serta RW. Kartu keluarganya juga sedang diperbaiki agar namaku masuk sekaligus mengubah statusnya. Mulai hari ini, dia kembali mencari nafkah dan akan pulang secepatnya. Sendirian di rumah seluas ini, rasanya tak apa. Aku mungkin hanya belum terbiasa.

 

Hari ini aku ingin memasak untuk Mas Naufan. Suami tercinta harus merasakan masakan istrinya. Di pasar kami membeli stok rempah dan lauk-pauk yang dapat disimpan di kulkas. Aku memilih ayam sebagai yang pertama akan di masak. Walaupun televisi menyala, tetap saja rasanya lain.

 

Aku memutuskan untuk menelepon Ibu. Jam setengah sembilan pagi, biasanya beliau sedang melayani ibu-ibu yang berbelanja. Aku menunggu sampai beliau menjawab panggilan. Ibu mengangkat telepon itu dan meminta aku menunggu supaya ponsel bisa berdiri tegak.

 

Lewat video call, Ibu menunjukkan kondisi warungnya yang tampak dikelilingi pembeli. Mereka yang rata-rata kukenal terlihat melambai sambil tertawa. Mas Naufan benar, situasi di sini dan di Bandung memang jauh berbeda. Aku lantas meminta resep agar bumbu ayam meresap.

 

"Bu, Neng tutup teleponnya dulu, ya, ada tamu kayaknya di depan," ujarku.

 

"Ya, Neng, jaga kesehatan, ya, Nak."

 

Aku mengucap salam dan melambai pada Ibu, kemudian panggilan terputus. Tanganku dipenuhi bumbu kunyit yang meninggalkan noda kuning. Aku mencuci tangan dahulu sebelum membuka pagar dan pintu. Tamu di depan sana benar-benar mempunyai kesabaran setipis tisu.

 

Aku keluar untuk membuka pagar. Perempuan berambut ikal sepinggang berwarna cokelat membelakangiku. Aku menyapanya dan dia menoleh. Aku tercengang melihat polesan make up tebal yang menghiasi wajahnya. Belum lagi kalung dan gelang yang mempunyai mutiara warna-warni.

 

"Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku, sambil mengamati pakaiannya yang menampilkan lekuk tubuh.

 

"Andhika ada, maaf Anda siapa karena saya baru melihat Anda hari ini?" tanyanya, seraya melepas kacamata bemotif loreng.

 

"Mas Naufan sedang keluar rumah. Maaf, Anda ini siapa?" tanyaku.

 

"Loh, kok, balik nanya, sih, aneh banget. Ini serius saya nggak disuruh masuk. Apa perlu saya telepon Andhika karena kamu nggak sopan. Biar dipotong gajimu sama dia!" Dia merogoh tasnya sembari menggerutu.

 

Lihat selengkapnya