Selasa, 24 Januari 2023
16.30
Kami di depan televisi menonton acara reality show. Aku duduk di sebelahnya, dia tak pernah melepaskan dekapannya. Sesekali aku mendelik padanya, tiba-tiba sikapnya berubah 180 derajat di bandingkan tadi pagi. Lembut, romantis, bahkan beberapa kali dia mengelus ubun-ubunku.
Respons senyumku padanya bukanlah ekspresi bahagia. Aku belum sempat menghubungi Ibu Anita saat dia memberikan secarik kertas. Itu adalah kartu namanya untuk usaha laundry dan ada nomor telepon tertera di sana. Kini aku benar-benar merasa tidak nyamam berada di dekatnya.
Aku merasakan ketakutan dan kekhawatiran yang teramat dalam jiwa. Pria ini dapat memainkan dua peran sekaligus di hari yang sama. Perubahan ekstrim itu seperti menandakan bahwa ada masalah dengan psikologisnya.
Di depan pintu masuk, aku melihat pria berjaket kulit. Dia melipat dua tangan depan dada dan melayangkan tatapan bringas. Kepala botak, cambang yang memenuhi wajah, dan aksesoris berupa kalung serta gelang motif rantai menambah kesan mengerikan pada dirinya. Saputro Baharuddin, sering disebut Bahar oleh Mas Naufan.
Aku baru bertemu dengannya hari ini, karena Mas Naufan menyuruhnya pulang saat kami tiba di Lumajang supaya tak menimbulkan kecurigaan. Pandanganku menatap lurus ke layar kaca, tetapi pikiranku mengawang-awang. Dalam benakku hanya terngiang satu tujuan-melarikan diri.
"Ohh, sudah jam lima sore. Bahar, belikan dia makanan. Sekarang, kamu tinggal di sini lagi untuk menjaga dia. Aku malas harus terus mengendap-endap setiap malam untuk melempar makanan dan mengambil pakaian kotornya! " perintah Mas Naufan.
"Mas, maksudnya ini makan buat kita, 'kan?" tanyaku.
"Sayangku ... nanti kamu akan tahu." Dia membelai lembut pipiku.
Selang beberapa menit, Bahar kembali membawa kantung kresek putih. Mereka naik ke lantai dua, Mas Naufan pun ingin aku ikut bersamanya. Aku mencari aman daripada menerima lagi tindakan dan sikap kasarnya. Kami menuju ke ruangan paling ujung di rumah ini. Tempat terkunci dan sejak hari pertama tiba aku tidak boleh masuk ke sana.
Mas Naufan membuka pintu yang terkunci, lalu kami masuk. Aku menganga mendapati hal tak biasa di depan mata.
"Cynthia Anisabella. Perempuan besar kepala ... keras kepala, dan pembangkang. Dia yang kamu cari, 'kan, Sayang." Mas Naufan mencium kasar pipiku.
"Keluarkan aku, Andhika!" teriaknya.
"Sssttt ... pelankan suaramu, hormatilah saya sebagai suamimu!" tekan Mas Naufan.