Bekas Luka

Papp Tedd
Chapter #37

Tiga Puluh Tujuh

Kamis, 13 April 2023

 

Sudah dua hari aku kembali merasakan suasana di sini. Tanah kelahiran yang sempat kutinggalkan selama berminggu-minggu. Kemudian, kamar tidurku tempat di mana segala perasaan tercurahkan. Tempat itu tak pernah berubah sejak pertama kali pergi hingga aku kembali lagi.

 

Sore ini, sambil menunggu waktu berbuka aku duduk di teras. Sudah dua hari ini aku sering memosisikan diri di dekat jendela. Setiap deru mesin kendaraan roda dua yang melintas di depan rumah kucermati dengan seksama. Namun di antara mereka tak ada yang kucari.

 

Aku memberanikan diri untuk bertemu Teh Dewi nanti malam. Selepas tarawih, aku akan meminta izin pada Ibu dan berharap beliau memberi lampu hijau. Aku tahu ini keputusan yang sukar dilakukan. Namun, aku harus bertemu dengannya untuk membuat semua urusan tuntas.

 

Pukul 17.30, sebentar lagi waktu berbuka puasa. Cynthia menepati janjinya untuk pulang sebelum azan Magrib berkumandang. Dia mengunjungi tanah milik orang tuanya di sini. Tanah itu rencananya akan dibangun kembali. Sementara, dia tinggal bersama kami agar tak merasa kesepian.

 

Sebagai mantan teller di bank, Cynthia akan mencari pekerjaan yang sama sesuai dengan keahlian dan pengalamannya. Hari Raya Idul Fitri pun tinggal menghitung hari. Dia akan mulai mencari peluang kerja di awal bulan Mei mendatang. Setiap perusahaan biasanya akan cuti bersama di hari lebaran.

 

Langit tampak berwarna jingga. Bapak meminta agar aku masuk. Ibu hamil tidak boleh ada di luar rumah di waktu Magrib. Katanya, rawan diganggu oleh makhluk-makhluk tak kasatmata. Ya, begitulah beliau dengan tradisi kolot yang masih diterapkannya hingga sekarang.

 

Makanan sudah tersaji di meja. Kami menyaksikan kultum di layar kaca. Di ruang tamu, Bapak dan Cynthia terlihat akrab. Aku merasakan bagaimana kehidupannya selama ini. Selagi mereka bercengkerama, aku memanfaatkan situasi untuk berbincang dengan Ibu.

 

"Bu, apa ibu lihat tanda-tanda dari Tryan?" tanyaku dengan nada pelan.

 

"Nggak ada, Neng. Terakhir itu waktu nikahan aja. Setelah itu, ibu nggak pernah ketemu anak itu lagi," jawabnya.

 

"Berarti nggak ada tanda-tanda dia pulang, ya, Bu?" tebakku.

 

"Seingat ibu ... nggak. Kalaupun pulang biasanya dia datang tengah malam. Ibu juga tahu dari ibu-ibu yang suka belanja sayur. Kalo Neng mau ke rumah Teh Dewi, nggak apa-apa ke sana aja. Ibu pikir, Tryan juga harus bicara sama Neng," saran Ibu.

 

Aku belum meminta izin, tetapi beliau sudah menyuruhku ke sana. Ibu seperti cenayang yang dapat menebak dan paham isi hati serta pikiranku. Aku akan bertamu ke sana selepas tarawih. Suka ataupun tidak memang masalah di antara kami harus diselesaikan. Salah satunya harus mengalah agar dapat menemukan titik terang.

 

Azan Magrib berkumandang, kami meneguk segelas air putih sebelum mencicipi hidangan pembuka seperti; kolak, gorengan, sop buah, dan jajanan pasar. Makanan berat akan disantap setelah tarawih. Namun, biasanya Bapak langsung menikmati nasi sebab beliau mempunyai riwayat sakit maag.

 

Lihat selengkapnya