Bekas Luka

Papp Tedd
Chapter #38

Tiga Puluh Delapan

Selasa, 18 April 2023

 

Pukul 01.22, aku membuka mata, kemudian merenung di kamar sendirian. Aku turun dari ranjang dengan hati-hati, lalu melangkah ke lemari. Di bawah baju tersimpan lipatan kertas yang sengaja kusembunyikan. Aku lantas mengambil brosur di nakas yang diberikan Teh Dewi tempo hari.

 

Acara yang dipandu Tryan berlangsung hari ini. Aku memandang dua kertas secara bergantian. Rasa sesak kembali membelenggu jiwaku. Ada rasa tak percaya jika dia tega menjadikanku bahan pertaruhan. Aku menahan air mata yang hendak menerobos, tetapi nyatanya tak mampu.

 

Aku terisak, benar-benar tak dapat menahan semua pedih dalam dada. Tryan yang kucintai ternyata melakukan hal itu. Di mana letak nuraninya, apa alasannya melakukan itu. Ya, aku mencintainya meski belum sempat mengungkapkannya selama ini.

 

"Neng." Suara Ibu, beliau kemudian masuk karena pintu kamar tak pernah dikunci sejak aku berbadan dua.

 

"Ibu." Aku segera menyeka air mata yang membasahi pipi.

 

"Neng, kenapa, Nak. Ada apa?" tanya beliau, lalu duduk di sampingku.

 

"Nggak apa-apa, Bu," jawabku.

 

"Itu kertas apa yang Neng pegang?" tanyanya.

 

"Ini ..."

 

Ibu memang tidak tahu mengenai hal ini. Aku merasa tak sanggup memberi tahunya. Namun, aku tak bisa terus memendam semua ini sendirian. Seseorang harus tahu, terutama sosok yang sangat penting dalam hidupku. Tanpa banyak kata, aku memberikan kertas itu dan membiarkan Ibu membacanya.

 

Beliau terperangah, mimik wajahnya seketika berubah. Ada gurat amarah yang perlahan semakin jelas terpampang.

 

"Jadi, selama ini Naufan nikahin Neng karena terlibat taruhan sama Tryan?" Nada bicaranya meninggi.

 

Aku mengangguk. Sebagai orang tua beliau tak terima aku diperlakukan layaknya sebuah barang. Aku menahan kepergiannya saat dia berkata akan ke rumah Teh Dewi untuk bicara. Aku tidak mau menambah masalah lagi dan membuat keadaan kian keruh.

 

Aku memberikan brosur itu padanya dan meminta izin untuk pergi ke pengajian nanti sore. Ibu ingin ikut, tetapi aku tidak mau beliau ke sana. Mulanya, Ibu geram. Namun, aku memohon pengertiannya dan berbicara dari hati ke hati. Akhirnya dia merelakanku menghadiri acara itu dengan catatan, Cynthia harus menemaniku.

 

Kondisiku yang tengah hamil membuatnya khawatir terjadi sesuatu. Maka dari itu, ke mana pun aku pergi harus ada yang mendampingi. Aku akan mengajaknya nanti setelah makan sahur. Aku berpesan pada beliau agar merahasiakan hal ini dari Bapak. Aku tak ingin melihatnya emosi lagi dan lagi.

 

"Neng, Ya Allah. Kenapa anakku ini terus mendapat rasa sakit yang bertubi-tubi?" Beliau memelukku.

Lihat selengkapnya