Azan Magrib berkumandang. Panitia acara membagikan snack box untuk para jamaat. Sejak kajian hingga buka puasa tiba, Tryan seakan-akan mencoba menjaga jarak denganku. Aku hanya mengambil air mineral untuk membatalkan puasa, lalu menitipkan snack pada Cynthia.
Aku kemudian bertanya kepada panitia di mana Tryan. Dia berada di halaman masjid bersama kru acara. Aku menemukannya, dia tampak tersenyum lepas sembari menyantap bakwan. Dia melihat kedatanganku, tetapi tiada pergerakan darinya. Jangankan menyapa, mendekat pun tidak. Sikapnya itu membuatku terpaksa menghampirinya.
"Hana, maaf saya mau salat berjamaah dulu." Tryan tiba-tiba masuk ke masjid.
Mulutku menganga, bahkan satu huruf pun belum terlontar. Namun, dia beranjak begitu saja. Bakwan di genggamannya pun segera dimakan sekali hap. Kenapa dia terkesan menjauh dan tidak mau berbicara denganku. Sikap menyebalkannya ternyata tak pernah luntur sedikit pun.
Aku memutuskan untuk salat sambil menunggunya. Ketika selesai, aku segera menyimpan mukena di tas dan mencarinya. Namun, aku tidak dapat menemukannya. Menurut panitia yang kutanyai, dia masih bersila pasca salat Magrib sepertinya sedang berdoa. Aku tetap menunggu, tetapi dia tak menampakkan batang hidungnya.
"Hana, saya cariin. Balik, yuk!" ajak Cynthia.
"Aku belum ngobrol sama Tryan. Aku nggak mau pulang," tolakku.
"Duh, saya nggak mungkin pulang sendirian. Nanti Ibu ngamuk. Terus gimana, dong?" tanyanya.
"Ya ... berarti tungguin aku. Sebentar aja, sebentar." Aku memelas.
Cynthia menggaruk kepala, "hah, ribet pake baju ginian, saya pengen ganti baju, Hana. Ck ... ya, udahlah saya tungguin!" ketusnya.
Cynthia menunggu di teras masjid saja. Hendak jalan-jalan pun, ke mana. Dia tak tahu arah dan tujuan khawatir tersesat. Meski responsnya ketus, aku menghargai kebaikannya yang masih mau menunggu. Kini, aku bisa kembali fokus pada Tryan-mencarinya dan meminta penjelasan.
Hingga azan Isya pun, dia masih tak menampakkan diri. Aku bertanya lagi pada panitia. Tryan akan tarawih di sini karena diminta oleh Kyai. Aku mengembuskan napas panjang, dia benar-benar keterlaluan. Ponsel berdering, tampak di layar sentuh Ibu menelepon. Aku memberi tahunya akan salat tarawih di masjid agar beliau tidak cemas.
Pukul 20.19, tarawih selesai. Aku dan Cynthia merapikan mukena. Wajahnya tampak ditekuk. Aku mengerti dia benar-benar sudah jenuh dan ingin pulang. Namun, jika kembali ke rumah sendiri Ibu akan memarahinya dan dia tak mau hal itu terjadi.
Setelah melalui puluhan drama, pria itu keluar dari masjid. Dia tertegun ketika melihatku. Aku tak membuang waktu dan segera menghampirinya.
"Aku nunggu dua jam lebih, kamu kenapa nggak mau ketemu aku?" hardikku.
"Apa kabar, gimana kabar Naufan. Mau lebaran di sini, ya?" Tryan malah mengalihkan pertanyaan.