Selamat datang di Ledok. Sebuah kota kecil 830 meter dari permukaan laut, di lereng pegunungan yang memaku titik tengah pulau Jawa. Kota dingin ini punya banyak misteri. Juga banyak hari-hari diguyur hujan, setidaknya 255 hari dalam setahun. Sejak era kerajaan Medang hingga Mataram Islam, wilayah ini hanya disebut Wanua atau desa. Di masa itu, Ledok masih hutan belantara yang dihuni para Brahmana. Peninggalan mereka berupa bangunan suci dari 1.500 tahun lalu pun masih berdiri di lereng-lereng pegunungan Rahyang.
Orang-orang tua masih menceritakan dongeng yang sama sejak ribuan tahun lalu. Tentang terjadinya pegunungan di Ledok. Konon, sebelum Bimasena dalam perjalanan menuju moksa*, dipangkasnya puncak pegunungan Himalaya dan dilemparkannya ke tengah-tengah pulau Jawa. Lalu jadilah sebuah dataran tinggi sekaligus pusar bumi yang menjadi tempat tinggal para dewa, makhluk halus, juga hewan-hewan mitologi yang hidup kekal. Kelima kukunya, Pancanaka, masih menancap pada pegunungan itu. Lalu jadilah lima gunung yang membentengi Ledok.
Ada tiga gunung aktif, ada satu gunung yang masih tumbuh, sedangkan satu telah mati dan meninggalkan kubah lava raksasa yang kini berubah menjadi lahan pertanian, desa-desa, tambang pasir, dan tentu saja, tempat wisata. Nama Ledok adalah pemberian dari Pemerintah Hindia Belanda dengan ejaan asli Ledoux. Berada di bawah Residen Kedoe sebagai penghasil beras dan sayuran terbesar, diutuslah seorang Tumenggung untuk memimpinnya. Lalu menyusul melimpahnya hasil perkebunan teh, tembakau, kopi dan kayu yang turut menyumbang penghasilan besar bagi Hindia Belanda. Maklum, sejak 1830-an, Belanda masih harus menambal kerugian atas pemberontakan di perang Diponegoro.
Hasil bumi Ledok juga membiayai pembangunan kantor pemerintah hingga upah para pegawai. Lalu pada akhir 1918, sebuah hotel besar mulai dibangun, setelah sebelumnya dibuka jalur rel kereta api, jalan raya, jembatan, rumah sakit, sekolah, dan tempat ibadah. Jadi lah Ledok salah satu pusat plesiran pegawai Belanda dari seluruh pulau Jawa di 1920-an.
Nama Ledoux konon berasal dari tokoh Belanda keturunan Perancis bernama Vincent J. Ledoux. Seorang arsitek yang membangun pusat kota hingga tempat-tempat penting yang masih berdiri kokoh 150 tahun kemudian. Sosok Vincent Ledoux juga menjadi simbol penyatuan masyarakat yang waktu itu berasal dari multi rasial dan multi kepercayaan. Dia tercatat menikah beberapa kali, bahkan memperistri seorang pribumi dan hingga akhir hayatnya menjadi guru di Ledok.