Di Ledok, usia kedai kopi tidak begitu panjang, kebanyakan hanya bertahan dua-tiga tahun saja. Biasanya kedai baru akan muncul tiap mendekati hari libur lebaran atau tahun baru. Namun beda cerita dengan Turkish, sebuah kedai rumahan di kampung Sodagar yang dibuka sejak 2019. Entah bagaimana caranya, Turkish mampu bertahan lebih dari lima tahun, bahkan menjadi yang paling dikenal karena salah satu racikannya: Turkish Delight.
Mr. Walid pemiliknya, adalah pria Jawa yang masih punya darah Turki meskipun hanya 1/8 saja, begitu kata orang-orang di kampung Sodagar. Mr. Walid sebenarnya juga belum begitu tua, usianya masih awal 30-an. Hanya saja karena penampilannya yang selalu rapi dan menghiasi wajahnya dengan brewok tebal, plus garis mukanya yang kearab-araban menjadikannya nampak pantas dipanggil Mister.
Walid mewarisi bangunan kedai dari keluarga besarnya, Bani Abbas, garis keturunan yang dihormati warga Ledok sejak era kolonial Belanda hingga era modern. Keluarga besarnya menduduki jabatan penting di Ledok, mulai dari pejabat pemerintah hingga pimpinan yayasan pendidikan. Bangunan kedai berlantai dua itu masih mempertahankan gaya aslinya. Arsitektur semi-Kolonial yang dibangun pada awal tahun 1900-an, masa akhir pendudukan Belanda di Ledok. Saat Walid masih bekerja di ibu kota, rumah itu dijadikan penginapan dan rumah makan, meski akhirnya tutup saat ibu Walid meninggal.
Setelah diwariskan pada Walid, tidak ada sengketa dari keluarga besarnya soal kepemilikan rumah. Maklum saja, rumah tua itu butuh terlalu banyak perbaikan. Usianya sudah 100 tahun lebih dan kerap dianggap angker oleh warga. Ditambah lagi lokasinya di tengah kampung, dengan akses jalan yang sempit dan hampir tak ada tempat parkir mobil.
Sebelum Turkish lahir, ada serentetan peristiwa kemalangan yang dialami Walid. Setelah kena Layoff dari perusahaan besar di ibu kota, Walid mengalami depresi dan kehilangan semangat hidup. Mengingat selama enam bulan, Walid tak juga dapat pekerjaan baru. Setelah itu, tunangannya tiba-tiba membatalkan rencana pernikahan mereka. Butuh bertahan hidup, Walid menerima pekerjaan dari seorang teman di sebuah café. Di sana, Walid bertahan hampir dua tahun menjadi brewer kopi. Saat itu, Walid seperti mendapatkan pencerahan dan tujuan hidup baru. Juga sebutan Mister di depan namanya. Beberapa kompetisi brewing diikutinya hingga mendapat reputasi cukup baik di Jakarta. Akhirnya karena ibunya sakit keras Walid harus pulang dan mengambil cuti cukup panjang.
“Nak, ingat kata-kata umi.” Suara ibunya lemah menahan rasa sakit, namun ada kekuatan yang masih dijaganya. Walid mendadak menahan nyeri di dadanya, seakan tahu apa yang akan menimpa ibunya.
“Apapun yang terjadi, rumah ini tidak boleh dijual, olehmu, anak-anakmu atau mungkin cucumu kelak. Rumah ini adalah satu-satunya yang tersisa dari garis keluarga kita. Jaga sampai waktumu tiba. Tugas umi segera selesai, sekarang tugasmu,” itulah kata-kata terakhir ibu Walid sehari sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. Semua kunci telah diserahkan padanya hari itu juga bersama sebuah kotak tua yang ada di dalam kamar ibunya.
Pada awal 2019, Walid sempat kembali sebentar ke Jakarta lalu memutuskan pulang ke Ledok untuk membuka kedai setelah mendapat dukungan pendanaan dari teman-temannya di ibu kota, termasuk Kleo. Beruntung, di awal tahun yang sama, ada booming panen kopi arabika di Ledok. Kesempatan itu dimanfaatkannya untuk mendapat pasokan green bean dari petani lokal selama setahun penuh. Waktu luangnya dihabiskan untuk melakukan eksperimen pasca panen bersama para petani kopi.
Walid mendapat tambahan penghasilan dari penjualan kopi Ledok yang memiliki nilai jual tinggi. Ilmu branding yang dikuasainya dari bangku kuliah akhirnya menjadi senjata ampuh. Walid tidak sendirian dalam memasarkan kopi lokal. Petani muda dari seluruh penjuru Ledok diajak berjejaring untuk membangun koperasi kopi yang menjamin harga hingga pasokan kopi sepanjang tahun. Bagi Walid, keberadaan kopi tidak akan berlangsung tanpa petani yang menyentuh tanah mereka setiap hari. Meski penuh dengan tantangan dari tengkulak hingga oknum pemerintah, Walid akhirnya berhasil mendorong komunitas-komunitas petani di desa untuk berani mengenalkan kopinya lewat ruang pamer di Turkish. Lima gunung yang mencengkeram Ledok kini diwakili lima rak berisi kemasan kopi dengan nama masing-masing.
***
Seperti biasa, Walid mengawali harinya dengan melihat jalanan di depan kedai yang lengang menghadap ke Yasondara, gunung tertinggi dan tercantik di Ledok. Pada era penjajahan Jepang, para tentaranya menganggap Yasondara adalah kembaran Fuji Yama. Dari tempatnya berdiri, diamatinya jendela Kleo yang terkunci rapat. Entah dia belum pulang dari ritual jalan kakinya atau masih terlelap.
Suara langkah kaki cepat dari telinga kanannya semakin terdengar jelas. Rambut dikucir ke belakang, headset kabel, topi sport dan outfit serba hitam. Hanya Kleo yang memilih berpakaian seperti itu di pagi buta. Aroma keringatnya masuk di jangkauan hidung Walid, juga bau shampoo kemarin sore dari sela rambutnya yang kecoklatan.