BELANTARA 1 - Kelahiran Katalis

Erwin Abdillah
Chapter #3

Suradilaga Melawan

Pagi dan sore berkabut. Hawa dingin sepanjang hari. Aroma tanah basah berlumut. Hangat bebatuan yang tersentuh cahaya matahari. Embun yang menempel di bulu mata. Semua sensor di tubuhnya seakan di-setel ulang di tempat itu. Desa di ketinggian 1.800 meter dari permukaan laut. Puger Jero.

Sandi merasa ada yang berubah dengan tubuhnya. Pemuda itu tidak sakit, hanya berada satu setengah kilometer lebih tinggi dari tempatnya hidup selama 7 tahun terakhir. Ada perlawanan kecil dari kulit tubuhnya yang seakan melemah. Perasaan dan seluruh inderanya kacau. Akhirnya nalarnya menyerah pada kenyataan baru, bahwa takaran-takaran yang diyakininya selama ini mungkin hanya sebuah kenyataan yang tak berlaku lagi. Hanya hukum fisika sederhana: ruang, waktu, gravitasi, dan cahaya

Sesederhana perubahan waktu menunggu air mendidih. Juga rasa baru dan bau yang mendadak hilang atau mendadak mengusik bulu hidung. Di desa itu, napasnya tak sepanjang sebelumnya, jatah oksigen berkurang di ketinggian. Tetapi dalam waktu yang sama, ada kekuatan baru yang membuatnya merasakan kehidupan di sekelilingnya yang tak terlihat lima indera.

Suara air mendidih dan kakinya yang merasakan panas dari tungku arang membawanya kembali ke dapur di rumah Cipto. Pria 50-an tahun yang memberinya tempat bernaung gratis selama bekerja di Puger Jero. Hasil wawancara, peta lokasi, juga tabel-tabel yang ada di hadapannya menunggu Sandi untuk membacanya sekali lagi. Hingga kepulan uap panas dari kopi arabika mendekati wajahnya, Sandi masih sulit mencerna semua tulisan-tulisan yang didapatnya dari peneliti yang datang sebelumnya. Rumah kayu itu seakan membuat atmosfer otaknya berubah, malas sekali bekerja dengan huruf dan angka. 

“Sebenarnya, saya ingin dengar langsung dari bapak dan warga sekitar sini. Apa benar cerita-cerita yang sampai ke saya memang terjadi. Contohnya, apa Gunung ini memang semakin bertambah tinggi. Bahkan kata seorang pedagang pasar tadi, bisa bertambah tinggi sampai satu meter dalam setahun?” nada Sandi dibuat seperti bercanda, Sandi tak ingin suasana dapur berubah menjadi ruang interview.

Pria bertubuh kekar di depannya seakan tak merasakan dinginnya sore. Cipto tersenyum simpul sambil mendekatkan kopi ke tangan Sandi yang masih mencoba menyesuaikan diri dengan hawa dingin. Diambilnya slepen berisi tembakau dan kemenyan, gestur yang menarik untuk mengawali pembicaraan.

“Benar mas, memang Gunung Kambang semakin tinggi. Sejak saya masih bocah, warga sudah tahu dari para peneliti BMKG. Gunung ini aktif dan masih tumbuh, seperti anak remaja. Tapi tidak satu meter juga. Masih hitungan centimeter lah! Hahaha, aneh saja, semeter setahun bisa hancur semua lahan di atas,” jelas Cipto sambil menyelipkan lintingan tembakau ke bibirnya yang gelap.

Bagi Sandi, itulah bahasa jurnalisme. Sebuah bahasa sederhana tentang kisah-kisah yang berpindah dari satu mulut ke mulut dengan latar dapur di tengah desa pelosok. Kisah yang selamat dari masa lalu. Hingga nanti kisah itu menemukan orang yang membawanya ke penjuru dunia, entah dengan medium apa, entah kapan. Tidak melulu sesuatu yang dicatat rapi dan ditampilkan di majalah mahal, seperti tempatnya bekerja saat ini.

Sejatinya, yang dikejar Sandi di dusun lereng gunung itu bukan hanya soal data tentang bidang geologi ataupun pertanian, tapi kisah yang lebih besar dan rumit ketimbang itu. Penelitiannya di desa itu hanyalah awal dari apa yang akan diungkapkan di masa depan. Itu pun jika nyawanya tidak melayang lebih dulu karena takdir, dan mungkin kejadian yang ada di sepanjang jalannya.

Tepat 30 menit kemudian, mobil bak terbuka Cipto membawa tubuh Sandi yang masih kaku karena perjalanan kemarin sore menuju tempat lain, untuk bertemu narasumber penting tentang perampasan lahan yang dialihkan menjadi tambang pasir.

***

Lereng gunung menawarkan anomali-anomali yang kerap hanya diceritakan di dongeng. Pohon beringin raksasa yang tingginya puluhan meter. Dibawahnya terhampar karpet hijau empuk dari lumut yang menjadi rumah makhluk-makhluk tak kasat mata. Hewan Mikroskopis maupun mistis. Mungkin ada juga peri-peri kecil yang berlindung di bawah jamur dan bersembunyi di kulit kayu kering.

Sambil menyeka kaca spion, Sandi memandangi sekelilingnya yang dihujani kabut. Meskipun kabut itu semakin tebal, dirinya tak ingin cepat-cepat beranjak dari jalan yang makin sepi itu. Di benaknya kabut itu akan berubah jadi gerimis ketika menyentuh desa di bawahnya.

Berbekal informasi dari Cipto, Sandi memberanikan diri masuk ke jantung desa Puger Jero. Kabarnya, dalam waktu dekat, para pemilik lahan yang selama ini dilewati truk-truk pengangkut pasir dan backhoe akan kembali melakukan aksi penutupan jalan dari lahan pertanian mereka. Sebelumnya, mereka sudah berkali-kali melakukan aksi turun ke jalan bersama mahasiswa di depan kantor bupati. Tetapi nihil, pengusaha tambang masih leluasa mencaplok lahan-lahan pertanian. Mengubahnya jadi lubang-lubang raksasa untuk dipanen pasir dan batunya. 

Sehingga para pemilik lahan memutuskan untuk bertindak langsung dengan membuat penghalang di sepanjang akses masuk tambang. Itu pun tak ada artinya melawan backhoe kuning yang sudah berhasil membobol pagar bambu hingga pagar batu yang dibangun warga. 

Lihat selengkapnya