Kematian dua pimpinan geng preman di lapangan Sejiwan pada tahun 2009 sebenarnya tidak seperti yang diberitakan media. Bukan duel maut satu lawan satu. Juga tidak disaksikan siapapun. Tapi sebuah rencana besar. Di belakang peristiwa itu ada seorang pimpinan geng kecil yang bernama Tarjo. Mantan preman penguasa parkiran pasar induk yang bekerjasama dengan sahabatnya, Sarip. Awalnya dua pimpinan geng diracuni pikirannya untuk berperang besar-besaran hingga puluhan nyawa melayang selama hampir setahun. Anak buah mereka jadi tumbal adu kekuatan dan berebut wilayah. Hingga akhirnya mereka berdua mati konyol, tentunya di tangan orang yang sama, Tarjo.
Anak buah mereka yang tersisa dirangkul Tarjo dan diberi pekerjaan yang lebih berkelas. Mereka dijadikan tenaga keamanan tambang pasir di lereng-lereng gunung. Bermodal tenaga mereka, Tarjo bisa menguasai lahan-lahan milik warga dengan paksaan, berkedok sewa jangka panjang. Preman lain yang berpangkat rendah diberikan jatah parkiran di pasar-pasar kecamatan hingga di tempat wisata. Pertengahan tahun 2010 selain menandai dilantiknya bupati termuda se tanah Jawa, Sarip Sukoco, juga menandai berkibarnya bendera kerajaan preman baru yang dipimpin Tarjo. Bos Tarjo.
Setahun sebelum kematian Jonet dan Karso
Malam sudah tidak lagi muda dan ruangan itu terlalu luas untuk dua orang. Tapi sempurna untuk menjaga rahasia antara dua orang. Rumah joglo itu bukan bangunan tua, semacam tiruan dari rumah joglo dengan konstruksi pilar-pilar kayu yang diukir, dibalut tembok bata ekspos. Susunan meja-kursi dibuat simetris dengan satu lampu utama tepat di tengah-tengahnya. Dua cangkir kopi masih tersisa setengah dengan puntung rokok yang menggunung di dekatnya. Dua orang itu adalah sahabat lama, meski terpisah lapisan sosial yang berbeda. Namun mereka berbahasa satu, bahasa uang.
“Rumah dinas ini besar sekali kang, berbeda dengan rumah candi di desa sana. Aku tidak yakin bisa tidur pulas dan mimpi indah di sini,” Tarjo mencoba mengusik kesenangan wakil bupati yang baru merombak rumah dinasnya itu.
“Mimpi, Tarjo! Manusia diukur dari mimpinya, maka bermimpilah yang mahal. Mimpi raja akan beda dengan rakyat jelata. Akan beda dengan nabi-nabi, kiyai, apalagi gali pasar. Maka aku putuskan untuk jadi raja kecil, biar mimpiku seperti raja, meskipun kecil,” kelakar Sarip mengerjai kawan lamanya sambil memainkan alisnya naik turun. Sarip tahu Tarjo tak akan berani menyangkal kata-katanya, meski ada kemarahan dalam matanya. Marah karena nasib sahabatnya begitu bagus.
Tarjo membenarkan jaketnya setelah mengambil sebungkus rokok yang hendak dibukanya. Perasaannya mengatakan pembicaraan malam itu akan lebih panjang dari minggu-minggu sebelumnya. Mereka hanya berdua. Supir Tarjo sudah berjam-jam lalu dibawa asisten Sarip ke ruang karaoke di belakang. Entah apa yang mereka tenggak sambil menyanyi tadi sampai suara mereka lenyap.
“Tarjo, tahukah kau cara Raden Wijaya mengalahkan Pasukan Mongol? Zaman kerajaan Singasari 700 tahun yang lalu?” tanya Sarip pada kawan lamanya yang hanya tahu sejarah sebatas masa kolonial belanda saja.
Tarjo hanya menggeleng pelan, siap mendengarkan pelajaran sejarah tentang Majapahit itu.