Turkish Delight di meja pojok terhidang dengan sempurna dari tangan Walid. Dua kukis di sampingnya ditumpuk di atas catatan di sobekan kertas nota penjualan. Kleo menyentuh gelas untuk memastikan minuman itu masih hangat. Panas, ternyata.
“Aku ambil kopi sebentar di dusun, anak-anak libur shift pagi. - Mr. W”
Dari catatan Walid, Kleo tahu bahwa Walid akan pergi sampai menjelang tengah hari. Sempurna. Pertemuannya pagi itu memang tidak butuh keramaian. Apalagi di hari Sabtu, pelanggan Turkish akan datang di sore hari hingga tengah malam. Tamu yang ditunggu Kleo juga sudah terlihat berjalan mendekati kedai. Sambil memeriksa tulisan di atas kepalanya, gadis itu mengetuk kaca di atas gagang pintu. Lalu mempersilahkan dirinya sendiri masuk seperti mengenal tempat itu.
“Kleo, apa minuman itu untukku?” salam pembuka yang lancang dari tamu Kleo yang berpakaian seperti mahasiswa. Gadis 28 tahun itu tidak pandai menyembunyikan senyumnya di balik kaca mata hitam dan hoodie yang menutup rambutnya. Kleo memang melarang gadis itu untuk memanggilnya kayak atau sebutan lain yang mengindikasikan usia.
“Liz! Sini peluk, dasar bocah usil. Kemana saja dua tahun ini?” mereka berpelukan lama, seperti tidak bertemu 10 tahun. Kleo menahan tangisnya karena eyelinernya mahal. Liz mencium pipinya lama sekali sampa Kleo memberontak.
“Iya minuman ini buatmu, tanpa gula. Tapi kukisnya buat aku karena mengandung gula,” Kleo masih menatapnya lekat-lekat seperti mencari hal yang berbeda dari muka Liz, sahabat yang sudah dianggapnya adik kandung. Lalu kleo mengikat apron dan mendekati dapur untuk membuatkan mereka berdua sarapan.
“Aku tahu kamu lapar dan pasti perjalanan tiga jam dari Yogya sangat mulus kan? Jalannya sangat lebar!,” Kleo tertawa mengatakan dua kebohongan itu. Jalan menuju Ledok tidak pernah benar-benar mulus. Dua tahun sekali jalanan akan rusak dan hanya diperbaiki ketika presiden akan lewat.
Liz menaruh ransel besarnya di kursi sampingnya dan mengambil buku catatan berisi potongan koran dan foto-foto. Saat kleo selesai menaruh sarapan di meja pojok, perhatiannya tertuju pada judul artikel yang dipegang Liz dengan foto setengah badan.
“... Profesor Geologi Universitas Nusantara Dinyatakan Hilang Saat Meneliti Gunung Kambang ...”
“Ini yang aku kerjakan sekarang di Ledok, aku ingin membantu setidaknya. Sebelum aku berangkat ke Amerika Latin, aku punya waktu dua bulan saja. Profesor Hendrik dulu yang menjadi pembimbing thesisku dan kami masih berkomunikasi, sampai dua bulan lalu sebelum beliau dinyatakan hilang di kawasan gunung Kambang. Aku tidak tahu harus mulai dari mana Kleo,” kata-kata Liz penuh ketakutan.
Ingatan Kleo tiba-tiba menuju wajah mendiang neneknya. Keluarga Kleo hingga hari ini tak pernah tahu nasib kakeknya yang dinyatakan hilang di tahun 1950-an.
“Yang membuat rekan-rekan peneliti semakin ketakutan adalah keterangan warga yang menyebut prof Hendrik sempat pamit, untuk moksa. Ini apa lagi Kleo, seperti bukan beliau!”
Kleo paham betul yang dirasakan Liz. Mengetahui kabar kematian seseorang akan lebih mudah diterima ketimbang kabar kehilangan. Orang mati akan dimandikan, dikuburkan, didoakan, ditangisi. Orang mati punya makam yang bisa dikunjungi. Mereka yang ditinggalkan punya waktu berkabung yang cukup. Mereka yang mencintainya akan hidup dalam kenangan indah maupun pahit. Tapi tidak dengan orang hilang. Mereka akan menyita satu ruang besar di ingatan siapapun dan rasa takut sekaligus harapan bahwa mereka masih hidup, tapi tidak baik-baik saja.
“Baik Liz, hari ini aku akan menghubungi seseorang. Tapi kita tidak akan ke mana-mana, aku lelah sekali. Kamarmu sudah disiapkan di atas, nanti aku kenalkan pada Walid, pemilik tempat ini.” tangan Kleo menyodorkan dua potong roti dan omelet panas.
“Walid ini tahu betul jalur dan lahan-lahan di lereng gunung. Ada beberapa kebun kopi yang kerap dikunjunginya di sana. Bahkan saat pencarian orang hilang, dan aku yakin saat kejadian yang menimpa profesor itu, Walid pasti tahu perkembangannya,” Kleo membiarkan Liz makan dan membawa tasnya yang berat ke lantai dua.
Cangkir besar di depannya membuat otaknya mengingat rasa kopi dari masa lalu. Aroma itu. Masih kuat disembunyikan dari madu, kayu manis dan susu. Itu jenis kopi yang sama dengan yang pernah diminumnya saat terakhir di Ledok, bersama seseorang yang selama ini ingin dilupakannya.
***
Walid memarkir sepeda motornya di dekat mushola Karang Tengah. Jam tangannya menunjukkan 9.20. Dusun itu lengang, hanya ada suara hewan di kandang yang terdengar. Diketuknya pintu warung dekat mushola beberapa kali, tidak ada bau asap rokok atau bekas seduhan kopi. Lalu satu pesan singkat masuk, berisi foto warga yang berjalan menuju kawasan tambang di dusun Gondokan. Jaraknya lima kilometer dari Karang Tengah. Perutnya melilit, seperti perasaan aneh yang dirasakannya pagi tadi di kedai. Pesan teks baru muncul.
“..Ambil kopi di rumah pak Kadus, kalian berangkat ke lokasi bersama..”
Walid meloncat kembali ke sepeda motornya lalu mengebut ke rumah tua di gang sebelahnya. Seorang laki-laki 60-an tahun sudah menunggunya di halaman rumput yang luas sambil merapikan jaket dan memakai sepatu boot karetnya. Walid mengulangi tatapannya seperti pada Kleo, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Memeriksa sesuatu yang mungkin tak ada. Padahal mereka sudah saling kenal.
“Nak Walid, sepertinya akan hujan deras, kopinya nanti saja, ayo berangkat ke lokasi!” kata pria itu tanpa menjabat tangan Walid dan berpegangan pada pundaknya sekaligus mengisi jok belakang. Tanpa bertanya sepatah kata pun Walid paham betul tempat yang akan mereka datangi.
Mereka menghilang di tikungan menuju dusun lain. Mereka tiba di Gerbang dusun bertuliskan “Selamat datang di Gondokan, Sentra Kopi Arabika - Jalur Pendakian Kambang”. Jalanan yang dilaluinya sejak keluar dari Karang Tengah sudah berubah menjadi jalan batu yang berlubang dan tergenang di sana-sini. Jejak ban truk ada di kanan kiri jalan, terlihat makin jelas saat mencapai lahan tembakau.