BELANTARA 1 - Kelahiran Katalis

Erwin Abdillah
Chapter #6

Mata Air Raja-raja

Sandi membuka mata dan hanya melihat satu sumber cahaya di atas kepalanya. Tempatnya berdiri menyerupai sumur batu alami dengan lilitan akar di sekelilingnya. Tubuhnya terasa ringan sekali di tempat itu, nyaris seperti mengambang di ruang hampa. Aroma wangi yang menyapu wajahnya masih tersisa di sekitar. Mulutnya terbuka dan berteriak minta tolong. Tak ada suara yang didengarnya, bahkan suaranya sendiri.

Cahaya dari atas sumur meredup. Lalu dilihatnya bayangan seseorang yang mendekat ke arahnya. Cahaya tadi berpindah mengelilinginya. Wajahnya mulai terbentuk sempurna lalu matanya menatap Sandi, hangat namun mengerikan sekaligus. Sosok cahaya itu meneriakkan sesuatu dalam bahasa yang tak dipahaminya.

“Nyawiji. WUNGU!” 

Lalu cahaya di depannya berhamburan menghujani matanya. Sandi berteriak ketakutan dan menyilangkan tangannya di wajahnya.

Sandi membuka mata lagi. Dia terbangun ketika sinar matahari menyentuh hidungnya. Dengan tangan di bawah pipinya dan siku tangan yang terasa kebas. Matanya berat dan tubuhnya terasa pegal ditekan gravitasi. Di sampingnya ada tas yang kemarin sore ditinggalkannya di mobil Cipto, juga sepasang sepatunya yang diikat jadi satu. Sedikit lega, melihat barang-barangnya. Tapi Smartphone nya raib. Sekelilingnya lebih meyakinkan ketimbang sumur tadi. Ini dunia nyata.

“Sialan, apa aku sedang dirampok? Diculik? Buat apa?” pikirnya sambil mencari-cari dompet juga barang-barang berharga lainnya. Semua utuh, juga catatannya.

Mulutnya memilih bungkam, meskipun dia ingin berteriak minta tolong sekencang-kencangnya. Dia tidak yakin benar-benar sudah terbangun di tempat yang seharusnya.

Tadi hanya mimpi, batinnya. Kali ini dia sudah bangun. Matanya mulai meraba tempatnya tertidur entah berapa jam lamanya. Tapi sepertinya dia telah melewatkan malam di tempat itu. Ruangan itu cukup sempit bahkan untuk satu orang. Seperti toilet umum yang memanjang. Tanpa jendela, hanya satu pintu dengan lubang ventilasi kecil di atasnya. Mungkin dia terkunci dari luar. Setelah keberaniannya terkumpul, Sandi mencoba membuka pintu itu sekuat tenaga. Hampir terjungkal, Sandi menahan berat tubuhnya dengan satu kaki.

Pintu terbuka dengan mudah. Matanya mulai terbiasa dengan cahaya di sekitar. Apa yang dilihat di sekitarnya di luar perkiraan. Batu nisan. Sejauh mata memandang, mungkin ratusan. Di belakang Sandi tak hanya ada satu bangunan, ada belasan bangunan seperti tempatnya menginap tadi malam. Berderet-deret bangunan menuruni bukit. Ternyata dia tidur di makam. Hatinya dipenuhi umpatan, Sandi sadar terkena pengaruh ilmu hitam saat berjalan menuju suara yang memanggilnya. Ingatan terakhirnya adalah aroma wangi dan serbuk halus yang menghujani wajahnya.

“Ilmu jenis apa itu?” batinnya.

“Itu namanya Sirep. Sejenis hipnotis tapi lebih kuno, dari tanah kuburan ini” kata seorang mengagetkannya dari arah belakang. Suaranya terdengar tidak asing. Ya, tentu saja, pemuda kemarin malam. Surat! 

”Ohya, maaf. Kita belum berkenalan, kemarin hanya papasan di Musala. Saya Surat” tanya pemuda itu memastikan.

Sandi menengok dan menyiapkan tubuhnya jika ada serangan apapun. Dua tangannya mengepal. Surat menyodorkan tangan kanannya, mengajak bersalaman. Ternyata Surat tidak sendiri, ada Cipto di belakangnya membawa smartphone miliknya. Sandi merenggangkan tangannya yang terkepal, merasa lega melihat Cipto.

“Maaf nak Sandi, kami melanggar privasi, isi hapemu kami lihat sedikit. Hanya memastikan, untuk keamanan kami saja. Nanti kami jelaskan semuanya.” kata Cipto sambil menyerahkan smartphone Sandi.

Giliran Sandi mendekatkan tangannya yang perlahan sudah terbuka, mereka bersalaman agak lama. Dua laki-laki itu saling tatap. Mereka menyadari bahwa usia mereka hampir sama. Meskipun Surat lebih tinggi sekitar lima centimeter, tapi tubuhnya yang kurus membuatnya terlihat jauh lebih jangkung. Wajah Surat mengingatkan Sandi pada bintang film india, dengan bola mata hitam yang tajam, alis yang tebal dan jambang tipis menutupi separuh pipinya. Tubuh Surat beraroma kopi. Ada kekalahan kecil di hati Sandi, melihat Surat yang memancarkan kharisma meskipun ingin sekali tangannya memukul wajah tampan itu.

“Sandya Kalla Wungu! Saya sedang menyusun tulisan tentang perlawanan terhadap tambang pasir dan kisah-kisah dari petani lereng gunung Ledok. Saya hanya kenal pak Cipto di sini. Maaf kalau dianggap mengganggu,” jawab Sandi bernada ketus tapi dijaganya sesopan mungkin, mengingat kejadian yang menimpanya kemarin.

Lihat selengkapnya