Aku Surat, tipe pria yang tidak suka berpanjang-lebar dalam banyak urusan. Tapi aku selalu menarik masalah yang rumit, seperti medan gravitasi planet besar yang mengundang asteroid. Baiklah, sejujurnya ini akan sedikit panjang, tapi kalian tidak akan kecewa.
Ohya, aku pernah mati sebelum menjadi Surat, tapi aku lebih suka menyebutnya kelahiran kedua. Sebelumnya, aku terlahir dengan nama Tara Hanggana, artinya sangat bagus, bintang yang sendirian, seperti matahari di tata surya. Ayahku mendapat inspirasi nya dari bagian terjauh Bima Sakti saat menatap langit bukit tertinggi di Rahyang. Aku lahir di Jakarta saat negara ini di ambang krisis moneter, 1997. Keluargaku tidak pernah kekurangan, tapi krisis memaksa ayahku menjadi seorang pengangguran di Jakarta. Hidup kami waktu itu seperti pengungsi yang bertahan di masa perang. Masalahnya waktu itu adalah peperangan ayahku melawan gengsinya pada keluarga di kampung halaman..
Karena malu pulang dengan tangan hampa, ayahku sempat bertahan dengan bekerja lepas dan berpindah-pindah selama dua tahun. Lalu pada akhir 2000, ada tawaran kerja cukup besar pada proses migrasi manajemen perusahaan yang baru saja pailit di Ledok. Kami akhirnya pulang kampung, ke rumah candi, kata ibuku waktu itu.
Bukan rumah berbentuk candi dari batu, itu adalah rumah kayu tua yang sangat besar bergaya joglo. Mendiang nenek yang menempati rumah itu, ditemani tukang masak, dan para rewang yang memelihara rumah, kebun, dan ternak. Mereka lah yang mengasuhku sejak SD sampai lulus SMA.
“Sini Le, coba tebak teka-teki ini. Nanti nenek kasih roti jahe.” Nenek kerap memanggilku untuk berbagi roti kering kesukaannya, kami selalu menghabiskan waktu menjelang magrib minum teh di teras. Di awal tahun 2000-an tak banyak tontonan menarik di TV, apalagi antena kami tidak bisa menangkap sebagian besar siarannya.
“Pak Bombo, Pak Piut, Pak Lowo! Siapa coba?” Aku hanya tertawa mendengar bahasa yang asing di telingaku, bahkan seperti bahasa Klingon dari Star Trek.
“Nama orang, yang uti?” tanyaku polos dan salah mutlak. Nenekku tertawa dan menjelaskannya satu persatu. Usai puas mendengarkan berita radio, nenek biasanya menceritakan dongeng tentang dunia pewayangan seperti Pandawa Lima hingga kisah raja-raja Jawa. Di sela-sela cerita itu aku kerap tertidur, dengan mimpi-mimpi seperti dalam film action.
Tumbuh besar di kampung, aku selalu punya alasan bermain di luar rumah. Tara kecil adalah macan kecil yang lincah dan penuh rasa penasaran. Bersama belasan teman seumuran, setiap hari diisi pertandingan sepakbola hingga keringat kami bau rumput. Pulang sekolah, kami mencari ikan kecil di parit, berburu udang di sungai, mengobrak-abrik gundukan jerami untuk segenggam jamur, memanen pohon jambu tetangga diam-diam, atau mencari ucen, sejenis strawberry liar di bukit. Ingatanku tentang kota besar hilang begitu saja sejak pertama kali meminum air dari aliran Ci Sarayu, sungai terbesar yang membentang dari puncak Rahyang ke ujung bawah Ledok.
“Tepak Kebo ombo, tepak sapi ciut, tepak ulo dowo,” aku mengingat kata-kata itu seumur hidupku, jawaban dari teka-teki nenek.
Artinya jejak kaki Kerbau besar, jejak sapi kecil, dan ular panjang. Itu pelajaran penting saat bermain di desa. Kenali jejak ular, jangan sampai digigit, meskipun ular sawah! Begitu juga ketika kami harus mencari pekerja yang memandikan kerbau, cukup cari jejak kakinya yang lebih lebar dari kaki sapi.
Yang paling aku sukai dari libur panjang adalah menginap di tempat kerja ayah, di kawasan Geotermal Rahyang. Di sana aku bisa berjalan-jalan sepuasnya dan tidak harus tidur jam sembilan malam. Seharian penuh aku bisa mengikuti ayah bekerja di pabrik pengalengan Jamur atau bebas membaca buku-buku lama di perpustakaan kantor. Semua buku itu tentang budidaya jamur yang sedang dikembangkan pabrik. Juga ada buku-buku tentang flora dan fauna di nusantara. Satu buku yang tak bisa pergi dari otakku adalah buku AR Wallace yang berjudul The Malay Archipelago dari tahun 1869. Catatan Wallace seperti memberikanku kasus-kasus tak terselesaikan untuk dipecahkan. Apalagi waktu itu otak bocahku belum memahami sebagian besar dari buku yang ternyata menjadi kitab suci dari para peneliti modern.
Hal terbaik dari Geothermal Rahyang adalah desa-desa cantik yang dihuni petani kentang. Di sana kami bisa meminum air langsung dari sungai kecil dan menghabiskan waktu fajar di bukit dengan pemandangan terindah di pulau Jawa, puncak Sikunyit.
“Lihat itu nak, matahari di sini bersinar seperti emas. Maka orang-orang menamainya Golden Sunrise. Bahkan tentara jepang dahulu membangun kuil untuk memuja dewa matahari di puncak Sikunyit,” kata ayahku di kunjunganku yang terakhir.
Aku melupakan kesenangan itu saat masuk SMP. Mungkin karena ayah tidak lagi bekerja di sana. Kesenanganku berubah menjadi bermain game atau berlatih band bersama teman sekelas. Seingatku, ayah juga kerap memaksaku mengikuti acara kantornya yang membosankan di hari libur, bertemu dengan tamu-tamu pejabat dan politisi. Saat lulus SMA, dengan tergesa-gesa aku kabur dari rumah dan mendaftar di kampus favorit, Universitas Nusantara. Jurusan pertanian, seperti Impian mendiang nenek untuk melahirkan sarjana pertanian dari keluarga kami.
“Mimpimu apa nak?” tanya ayah pada suatu siang setelah kami mengambil ijazah di sekolah.
Aku memilih diam daripada memulai perdebatan sia-sia dengan ayahku. Aku masih menghormatinya meski selama enam tahun terpisah darinya dan menjadi tawanannya di pondok pesantren. Hanya karena berada di Pondok Pesantren, ayah mendapat citra baik dari mata teman-temannya. Aku adalah penolongnya kelak, ketika ditagih amal oleh malaikat.
“Mimpilah yang tinggi, seperti raja-raja. Maka masa depanmu ada di istana,” kata bapak seakan pada dirinya sendiri.
“Ya pak, tapi aku lebih suka menjadi orang yang memberi makan raja, memuliakan tanah yang kita injak-injak!” kataku lantang dalam hati. Sedang mulutku menjawab pelan.
“Nggih pak.”
Bapak sempat memaksaku memilih jurusan hukum atau politik, dengan alasan kesempatan kerja di masa depan yang lebih luas. Tapi dalam mimpiku, pertanian adalah masa depan itu. Semua yang dimakan manusia dan hewan ternak berasal dari pertanian. Bagiku, siapapun boleh bermimpi punya kekuasaan setinggi raja, tapi mereka butuh makan. Mereka butuh petani yang menyentuh tanah di bawah kaki mereka.
*
Kampus Universitas Nusantara 2019
“Can, kamu sudah daftar Pengabdian Masyarakat? Ikut di daerah mana?” tanya teman sekelasku Galih, yang selalu memanggilku macan.
“Wah, hampir lupa, aku belum mendaftar. Tapi mungkin di kotaku sendiri,” Pikiranku dipenuhi memori lama saat berjalan dengan kaki telanjang mengacak-acak sawah yang baru ditanami padi dan terperosok di sungai saat mencari ikan.
"...Pakbombo, tepak kebo ombo..."
“Kalau kamu mau, kita bisa mengusulkan satu tim dengan jurusan lain, seperti sastra, botanologi, kehutanan, perkebunan, geologi, sampai arsitektur. Nanti kita bikin program yang anti mainstream, misalnya buat Wisata Alam berkelanjutan atau Edukasi Pertanian untuk anak-anak?” Galih berapi-api menyodorkan idenya, aku percaya saja.
“OK, deal! Aku segera kontak pihak desa. Tugasmu siapkan tim dan perizinan,” kataku sambil menepuk pundaknya, lalu menjauh dan mengambil formulir Pengabdian Masyarakat.
Enam semester kami lalui tanpa ada mata kuliah yang harus diulang. Aku hanya terpikir satu tempat, desa nenek di lereng Yasondara. Ayahku sudah lama pindah dari sana dan tinggal di kawasan kota bersama istri barunya. Sejak saat itu juga aku memilih untuk tidak menemuinya kecuali ada acara keluarga besar. Kini rumah candi itu satu-satunya rumahku di Ledok, peninggalan eyang uti yang dijaga pamanku, Cipto Hutomo. Ya, benar. Pak Cip adalah pamanku, pria yang sudah aku anggap ayahku sendiri.
Bersabarlah, sebentar lagi ada peristiwa besar. Bukan hanya tentang kematianku, tapi lebih menarik. Aku jatuh cinta.
*
Siang itu langit cerah dan aku meminum es teh dengan sangat pelan di warung terminal Mandala. Dari sana aku bisa mengawasi tiap bus besar yang menurunkan penumpang. Aku memeriksa sekali lagi layar smartphone yang menampilkan lokasi live Gugel Map yang dibagikan sejak beberapa jam lalu.