2001
Hendrik baru saja menyelesaikan ujian Tesis tentang perencanaan Geopark di kawasan pegunungan di tengah-tengah pulau Jawa. Otaknya lega, tapi hatinya masih terganjal sesuatu. Liburan, bagi orang sepertinya hanyalah kata benda. Kadang ganjalan di hatinya itu mengganggu tidurnya. Siang itu seluruh barang yang akan dibawanya sudah tertata rapi. Hendrik memutuskan untuk mengirim pesang singkat lewat SMS dengan Ponselnya yang sudah ketinggalan zaman, layar monokrom menempel pada kotak setebal batu bata merah bertuliskan SIEMENS. Isi SMS itu singkat tapi efektif, semacam kode rahasia agen CIA.
“Jumat sore, pos pendakian Kambang. Aku tenda, kalian sisanya! Fwd ke SS."
SMS itu dibalas, raut wajahnya sumringah. Itu artinya dia punya satu hari untuk perjalanan menemui dua temannya di terminal Mandala. Satu-satunya gerbang masuk Ledok, kota mati yang selalu dirindukannya sejak Kuliah Kerja Nyata di masa kuliah S1 dulu sekali. Usia hendrik baru 33 tahun, belum menikah, tak punya pacar, malas menali sepatu, dan makan sehari dua kali. Ciri-ciri Hendrik mudah diingat teman-temannya, juga rekan kerjanya di NGO. Usai menamatkan S2, Hendrik berencana mengajar dan menjadi peneliti. Itu pun jika tidak malas resign dari tempat kerjanya yang kelewat nyaman.
Di kampus, dia dijuluki Einstein karena mampu menghubungkan banyak benang merah yang gagal dikaitkan kan para peneliti sebelumnya. Meskipun di semester awal dia cukup lambat, tetapi daur belajarnya seperti kehidupan bambu. Pertumbuhannya berawal dari akar selama berbulan-bulan, lalu menjulang tinggi dalam hitungan minggu. Ohya, satu lagi, Hendrik menyukai satu permen yang mungkin hanya diproduksi untuknya seorang. Permen rasa mint yang asin. Dia selalu membelinya ketika melihatnya di rak toko manapun. Himalayan Salt and Lime.
Di hari berikutnya, Hendrik tiba di gerbang terminal terlalu pagi hingga belum ada satupun warung yang buka. Dia penumpang satu-satunya yang turun di sana. Dia memutuskan untuk merokok sambil menunggu temannya. Sinyal ponsel di sana sangat buruk, kadang butuh lima menit untuk menunggu satu pesan SMS sampai, lalu lima menit berikutnya untuk mendapat balasan. Dia berdiri melihat sekeliling seperti seorang turis asing, padahal sudah beberapa kali dijelajahinya tempat itu. Hendrik memilih berhati-hati.
Dalam hatinya ada ketakutan bertemu manusia lain. Maklum, setan di Ledok kalah dengan kejahatan para preman. Mereka bisa melukai bahkan membunuh orang hanya karena ingin merampas ponsel butut. Rokoknya dihembuskan dengan ritme yang tak nyaman, seperti orang takut ketahuan. Setiap suara yang tertangkap daun telinganya diperhatikan betul, lalu langkah kaki seseorang terdengar dari belakang.
“Hen! Kata SS, dia nanti menyusul ke rumahku.” Tutur Cipto yang menjemputnya di terminal, mengagetkan temannya yang menghadap ke arah lain.
“Kita undur pendakian jadi Sabtu pagi!” Lanjut Cipto.
Mereka berpelukan agak lama sambil memeriksa rambut dan wajah, lalu penampilan masing-masing. Sudah setahun mereka berpisah. Hendrik tidak berubah, hanya satu-dua helai uban terlihat kontras dari rambutnya yang coklat. Cipto sebaliknya, penampilannya bersih dan sama sekali tak seperti warga lokal. Gambaran sempurna seorang pegawai perusahaan yang sedang libur.
“Eh, Cip, ibu masak buntil tidak? Aku kangen sekali masakan rumah. Nanti kita makan di dapur lalu berendam air panas, tapi yang gratisan. Uangku habis buat fotokopi tesis. Cuma sisa buat beli permen asin,” katanya sambil tertawa.
Cipto tertawa melihat sahabatnya yang tidak berubah, meskipun baru saja lulus S2. Di tahun itu, belum banyak sarjana di kampungnya, apalagi lulusan S2.
“Uwes, ayo nanti ada Paimin, preman sini yang mukanya ditato keris itu!” Ajak Cipto sambil menoleh ke belakangnya memastikan tidak ada orang yang mendekat.
Ingatan Cipto memutar kembali gambar-gambar dari awal perkenalan mereka hingga saat kuliah di semester tiga. Hendrik pun teringat peristiwa pertemuannya dengan Paimin, preman bertato yang pernah mengerjainya bertahun-tahun lalu.
*
1991
Kampung Puger Jero, tempat tinggal Cipto, adalah rumah kedua bagi Hendrik. Rumah yang menyelamatkan nyawanya ketika semester tiga. Cipto adalah satu-satunya orang yang membantunya saat bermasalah dengan obat-obatan terlarang. Dia dijauhi keluarga dan teman-teman kampusnya ketika ketahuan sebagai pemakai. Hendrik awalnya bukan pecandu. Seluruh obat yang dia minum berasal dari resep dokter, tepatnya psikolog. Tapi pada suatu ketika, Hendrik mencari jalan pintas, membeli obat dari pengedar di kampusnya.
Sejak remaja, Hendrik punya masalah kecemasan berlebih. Bahkan di masa paling buruk, dia tidak akan tidur selama tiga hari karena memikirkan sesuatu yang tak mampu diselesaikan otaknya. “Masalah umum orang jenius,” begitu kata dokter yang menangani Hendrik waktu itu. Otak orang-orang jenius memang didesain berbeda dari orang biasa, bukan bentuknya tapi cara kerjanya. Begitu kata referensi buku yang dibaca Cipto. Mereka bisa melihat lalu menyelesaikan masalah yang kompleks seperti rumus fisika Quantum. Tapi mereka bisa saja gagal saat menggoreng telur mata sapi atau menali sepatu. Itulah Hendrik.
Cipto berhasil mengobati Hendrik dengan membawanya ke Ledok. Bahkan pada akhirnya Hendrik meninggalkan obat-obatan secara total. Hanya saja sulit meninggalkan rokok. Apa yang dilakukan Cipto tampak remeh, yaitu dengan menjadikannya orang desa seperti dirinya. Hendrik diajari bekerja di ladang dan mengurus hewan ternak. Cipto menyembunyikan jam dan semua alat elektronik di rumahnya. Mereka hidup dengan penanda waktu dari alam. Mereka hanya makan ketika lapar, tidur ketika mengantuk. Di siang hari, haram hukumnya menyentuh buku dan pena, apalagi menyetel radio. Mereka harus bekerja dengan otot hingga seluruh sendinya lelah. Mereka juga mengikuti semua kegiatan warga desa. Ke mana pun pergi mereka harus berjalan kaki. Hendrik tak hanya menghuni pikiran yang baru, tapi juga tubuh barunya yang kuat.
Lalu waktu itu pun tiba, minggu terakhir masa tinggalnya di Ledok. Datanglah sebuah ujian besar dari SS yang menantang Hendrik untuk mendaki tanah tertinggi di Ledok, puncak Yasondara. SS, teman mereka dari kampus, menggenapi formasi The Three Musketeers ala Alexander Dumas. SS memang dibaca EsEs, singkatan dari nama Setu Sena. Pendiam yang hanya punya dua teman. Putra asli Ledok yang mewakili daerahnya dalam ajang bela diri tingkat nasional. Belajar Silat dari kakeknya.
Ketika Hendrik lulus S2, SS sudah bekerja dan tinggal di kota tetangga, Pragaluh. Tapi seminggu sekali dia mengunjungi Ledok untuk melatih silat di padepokan Karang Tengah, kampung kecil di atas Puger Jero. Padepokan itu sudah menjadi tanggung jawabnya sejak dia lulus SMA. Jika orang-orang menamatkan SMA dalam tiga tahun, SS butuh enam tahun karena mengulang setiap kelas hingga lulus.
Sebelum belajar silat bersama SS, para murid padepokan harus lulus satu tes: mendaki puncak Yasondara. Tes itu lah yang juga dijalani Hendrik. Mereka akan mendaki bertiga, dengan satu syarat yang harus dipenuhi. Tidak mudah, Hendrik harus berada 50 langkah di depan dua temannya. Hendrik juga tidak diperbolehkan membawa bekal makan dan minum maupun peralatan lain selain yang menempel di tubuhnya. Jika hendrik ingin meminta minum, makan atau bekal lain, dia harus kembali 50 langkah ke belakang. Lalu setelahnya harus berjalan lagi 50 langkah ke posisi semula. Dia harus berkorban 100 langkah bolak-balik.
“Hen, ini tidak main-main, kalau kamu belum siap, lebih baik akui saja,” kata Cipto padanya saat itu. Mempertimbangkan kondisi fisik Hendrik yang tidak didesain seperti mereka berdua. Tapi dalam hatinya, Cipto ingin sekali Hendrik menerima tantangan itu.
“Aku mantap. Aku ingin membuktikan kekuatanku pada diriku sendiri. Kalau pun ada apa-apa padaku nanti, bukan salah kalian. Tanpa bantuanmu dan SS, mungkin hari ini aku masih teler. Atau parahnya aku sudah mati di pinggir jalan karena sakau,” kata Hendrik.
Guratan kuas raksasa yang tergambar menjadi gugusan Bima Sakti di atas langit lereng Yasondara menandai langit cerah. Hari itu mereka berangkat mendaki beberapa saat sebelum matahari terbit. SS memandu mereka mengambil jalur pendakian yang jarang dilalui manusia lain, jalur Suradilaga. Di jalur itu, ada sebuah mata air dengan pancuran yang mengalir deras hingga menjadi aliran sungai Code di Puger Jero.
Mereka tiba di jalur yang mengarah ke bukit batu hitam, kontras dengan pemandangan sekitar lereng. Itulah gerbang alam menuju Suradilaga. Mereka tiba di bawah mata air, pancuran itu memantulkan cahaya pertama pagi itu. Hendrik merasa masuk ke dunia lain. Ada semacam gelembung waktu yang melingkupi kawasan mata air, membuatnya tak terjamah dari hembusan angin kencang yang menghantam dinding-dinding bukit batu.
Di depan Hendrik dan Cipto, SS menanggalkan bajunya lalu memakai sehelai kain batik bermotif Parang membalut pinggangnya. Batik itu konon tak boleh dipakai sembarang orang di masa lalu. SS duduk bersimpuh di bawah pancuran membiarkan tubuhnya basah sepagi itu. Dua sahabatnya mengikutinya dengan duduk di kanan-kirinya.
“Dulu, dulu sekali, para pasukan Mataram hingga pasukan Diponegoro mandi di sini sebelum berperang. Hari ini, kamu juga akan berperang, Hen. melawan musuh yang bersarang dalam ragamu, yang kau beri makan setiap hari. Kamu mungkin tak tahu nanti akan menang atau kalah. Tapi ketahuilah bahwa keberanianmu untuk berperang melawan ketakutan adalah inti dari perjalananmu.” Kata SS seakan pada dirinya sendiri.
Lalu dia mengajak dua temannya untuk mengulangi kata-kata dalam bahasa jawa.
Nyawiji.
Greget.
Sengguh.