BELANTARA 1 - Kelahiran Katalis

Erwin Abdillah
Chapter #9

Misteri Pasangan Penari Topeng

H+1 Serangan Tambang Gondokan

Topeng Sontoloyo. Topeng berwarna merah itu mudah ditemukan di Ledok. Selain sanggar tari dan kelompok kesenian, topeng itu dijual di tempat-tempat wisata. Tarjo yakin ada pesan tersembunyi dari para pelaku perusakan backhoe. Mereka tidak mungkin asal memilih topeng. Dia memutuskan menelusurinya dengan hati-hati. Dia telah membungkam aparat untuk menahan informasi itu.

Dia tidak ingin menciptakan teror baru bagi anak buahnya. Tarjo punya ratusan mulut yang harus disuapi tiap hari. Mulut itu tak hanya punya anak buahnya di tambang pasir. Juga mulut anak-istrinya yang melihatnya sebagai pahlawan. Tarjo lah yang mengangkat derajat keluarga mereka. Berangkat dari keluarga preman pasar menjadi pengusaha tambang nomor satu di Ledok. Lalu mereka dihadiahi sebuah strata sosial tertinggi di zaman itu, sosialita.

“Pak Lurah, saya tidak keberatan peristiwa ini diberitakan, tapi seperlunya saja. Tidak harus masuk ke media di pusat sana. Lha wong ini masalah di desa, di kampung pelosok lereng gunung! Pastikan saja ini tidak terjadi lagi.” Kata Tarjo seakan sedang mengajari lawan bicaranya.

“Cari tau siapa mereka, maunya apa? Uang? Pekerjaan di tambang? Tawari saja. Paling itu preman-preman pensiun yang butuh duit!” Kata Tarjo dengan kepala mendidih tanpa melihat wajah lawan bicaranya, Atmo, Lurah Puger.

Mereka selesai mengurus masalah itu di Polres. Tapi mereka masih menahan dua penjaga yang jadi saksi mata perusakan backhoe dan truk di tambang. Cerita mereka masih digali sampai ada petunjuk yang berarti.

“Nggih pak bos. Kalau video yang viral itu memang karena warga sendiri. Maklum zaman sekarang, apa-apa dibuat berita oleh netizen. Saya siagakan pemuda di gerbang-gerbang kampung untuk berjaga malam, mulai hari ini juga.” Atmo menghisap rokoknya dengan gemas, seperti menahan sesuatu akan meloncat dari dadanya. 

“Soal kerusakan Backhoe nanti kami cek lagi Bos, semoga masih bisa diperbaiki. Kita terpaksa tutup tambang seminggu supaya pekerja tenang dulu.” Katanya melapor.

Tarjo sedang sibuk dengan kelebat memorinya sendiri, memainkan gambar wajah-wajah preman yang dikenalnya belasan tahun lalu. Tarjo sedang memilah, wajah dan nama yang mana yang pernah dicelakainya. Seketika gambar-gambar itu pudar ketika matanya berkedip karena asap rokok.

“Ah sudah! Backhoe itu cuma dua miliar Ru-pi-ah! Masih bisa kita beli lagi tahun depan!” Katanya hampir tertawa, seperti menyebut uang recehan.

“Sementara sewa dulu dari pemilik tambang terdekat. Atau mulai pakai tenaga manual dulu, memang lebih mahal sedikit upahnya, tapi modalnya nol. Yang penting lahan bengkokmu itu menghasilkan duit dulu!” Kata Tarjo memperjelas sarkasmenya tentang nilai backhoe yang rusak.

Dipanggilnya Laila, anak tertuanya yang sedang libur dan menunggu wisuda. Tarjo mengutusnya untuk mencari tahu tentang topeng Sontoloyo. Tarjo tidak percaya begitu saja bahwa Atmo akan menangkap pengacau yang membuatnya rugi dua miliar lebih. Laila diutus Tarjo untuk mencari penari topeng lengger terbaik di Ledok. Jika perlu, pimpinan sanggarnya akan diminta bercerita tentang topeng itu. 

“Ela, papah minta tolong. Ini soal kejadian di tambang pasir tadi pagi. Pelakunya pakai topeng. Carikan orang yang paham soal tari Sontoloyo, yang topengnya merah itu.” Kata Tarjo yang menganggap putrinya sudah tahu kejadian heboh yang viral di hari itu.

“Tapi anggap saja kamu sedang menyusun narasi untuk pembuatan karya dokumenter atau konten. Atau apa lah! Bagus untuk kampanye mamahmu di medsos!” Katanya.

Laila, seperti kebanyakan anak kalangan atas, memilih tidak ambil pusing soal asal-muasal uang yang menyesaki rekeningnya setiap bulan. Laila kerap diajak ibunya untuk mengikuti acara-acara sosial di desa-desa. Ibunya dianggap warga Ledok setara dengan selebritis. Selain karena kecantikannya, juga karena posisinya di DPRD sebagai ketua komisi pendidikan. Laila, selama ini hanya mengenal ayahnya sebagai pengusaha yang ditakuti anak buahnya dan dihormati para pejabat. Tarjo tak hanya kerap diundang di acara penting pemerintahan, dia bahkan duduk di samping bupati dan pemuka agama. Bos Tarjo.

“Aku coba hubungi mas Wahyu ya, pap! Sudah lama sekali tidak main ke sanggarnya. Aku ingin jalan-jalan cari kopi enak di sana.” Kata Laila enteng.

Seakan perintah ayahnya hanyalah pekerjaan yang akan selesai sekali jalan. Laila tak benar-benar paham soal konflik tambang. Hidupnya benar-benar ada dalam gelembung ketika kuliah, diasingkan dari tanah kelahirannya. Ingatan tentang sanggar tari membuatnya terlempar ke masa-masa terindah dalam hidupnya, ketika belajar tari lengger. Lalu sepenggal tembang Angger Denok muncul di kepalanya, juga ingatan tentang wajah cinta pertamanya.

Mas yo mas, kembang kopi 

Rogol kembang wohe dadi 

Angger denok sari lae, 

Lihat selengkapnya