BELANTARA 1 - Kelahiran Katalis

Erwin Abdillah
Chapter #10

Peringatan 100 Tahun

Kleo membuka pintu kamarnya dengan tergesa-gesa, lalu memastikan Walid dan Liz masuk lebih dulu. Walid duduk di meja rias tua peninggalan ibunya, membelakangi kaca besar yang dikenalnya sejak lahir. Mata Liz menyapu seisi ruangan dengan seksama lalu memutuskan duduk di kasur busa di dekat jendela. Ada beberapa buku yang disingkirkannya sambil membaca judulnya sekilas.

“Jadi, begini. Liz, Walid. Sebenarnya aku tidak bisa cerita soal ini sekarang. Tapi sudahlah, toh semuanya juga sudah muncul di permukaan.” Kleo memegang dahinya dan mondar-mandir, masih mencari pembukaan yang tepat. Liz melihat ekspresi Walid yang seperti ingin menahan Kleo mengucapkan sesuatu. 

“Kleo, apa ini ada hubungannya dengan Prof Hendrik? Why do you guys act so weird? Tapi aku siap mendengarkan apapun itu.” Kata Liz dengan logat British, itu tandanya dia sedang kebingungan, siap mendengarkan. Lalu menarik Kleo untuk duduk di sebelahnya. Walid terlihat semakin khawatir. 

“Sebentar Kle, apa tidak sebaiknya kita tunggu teman-teman lain, soal ini. Liz bisa celaka kalau kita salah langkah. Tapi kalau menurutmu waktunya tepat, aku setuju saja!” kata Walid sambil memperhatikan hidung Liz yang runcing. Pikirannya terpecah saat memperhatikan warna matanya.

Kleo menangguk dan memberikan tatapan -aku tahu apa yang sedang aku lakukan- seperti saat ingin mengubah nama Kleo’s Special menjadi Turkish Delight.

“OK. Jadi Walid sebenarnya sudah tahu sebagian dari apa yang akan aku ceritakan padamu. Ini akan tampak ganjil bagimu, cobalah pahami tanpa menghakimi. Kosongkan gelasmu Liz, sayang.” Kata Kleo hati-hati sambil menggenggam tangannya yang ramping. Kulit mereka tampak kontras, meski kecantikan keduanya sebanding.

Akhirnya Kleo memulai penjelasannya dengan sangat hati-hati. Tanpa khawatir lagi dengan persetujuan Walid. Kleo menjelaskan soal Hilangnya Prof Hendrik dari sudut pandangnya, dari cerita yang sebenarnya. Dikatakan Kleo, Profesor Hendrik memang benar-benar hilang setelah masuk ke Puser Kambang, disaksikan dua orang yang bersamanya. Cerita selanjutnya membuat Liz melihat Kleo dan Walid dengan pandangan yang berbeda. Seperti sedang mendengarkan cerita tentang penemuan UFO atau Alien oleh Giorgio Tsoukalos di tayangan Ancient Aliens.

“Prof Hendrik sudah kami kenal lama, bahkan sebelum kita bertemu, Liz. Beliau pertama kali ke Ledok tahun 1991. Sejak saat itu, dia sudah menjelajahi pegunungan di Ledok. Tapi yang selalu menariknya datang adalah Kambang. Maaf sebelumnya aku harus berbohong padamu soal ini. Tapi peristiwa itu bagian dari sesuatu yang besar, yang mungkin sulit diterima nalar.” Kata Kleo, sambil memastikan Liz tidak tersesat dalam cerita itu. 

“Baik, tapi maksudmu diterima nalar seperti apa? Ada hal supranatural, atau soal kasus apa?” Liz mengejar penjelasan lebih jauh. Ingatannya kembali ke hari lebaran tahun 2019, saat pertama kali bersinggungan dengan hal ghaib, dengan ilmu hitam, tepatnya.

“Dulu Tara.” Liz menghentikan ucapannya. Air Matanya hampir pecah, tapi dilanjutkan kata-katanya dengan bergetar.

“Tara mati sia-sia karena ilmu hitam, dan aku percaya. Tidak ada nalar, logika, yang bisa menjelaskan orang mati dengan keadaan seperti itu!” Air matanya menetes dan diusapnya cepat-cepat.

Kleo melingkarkan tangannya di pundak Liz dan menenangkannya. Tapi dia melanjutkan kata-katanya dengan tenang.

“Aku menceritakan ini, juga karena ada hubungannya dengan kematian Tara. itulah mengapa kamu berhak tahu apa yang terjadi. Tapi di samping itu, ada hal yang lebih besar dan rumit. Ini soal nyawa semua orang yang ada di kota ini Liz.” Kata Kleo seakan membangunkan Liz yang hampir larut dalam kematian kekasihnya.

Liz memperhatikan cerita Kleo dan Walid seperti sedang menyimak slide-slide presentasi sebuah seminar. Otaknya dengan cekatan menangkap berbagai kejadian dan nama-nama di dalamnya. 

Dimulai dari kisah tragis di bulan November 1924. Gempa dahsyat pernah mengguncang Ledok tiga kali dalam sepekan, yang menewaskan 1.000 warga lebih. Ada potongan artikel dalam bahasa Belanda dari majalah Indie terbitan 7 Januari 1925 yang menjelaskan kejadian pada tanggal 9, 12, dan 16 November 1924 itu. Diperkirakan para ahli kegempaan modern, guncangan itu mencapai 7,6 Skala Richter. Data dari pemerintah Hindia Belanda menyebut 2.250 rumah roboh dan kerugian ditaksir mencapai 61.000 gulden.

________________________________________________________________________

“Wilayah Ledoux di Hindia Belanda dikejutkan oleh teriakan kesakitan dari warga yang semula hidup bahagia, tiba-tiba berubah menjadi kemalangan, kesusahan, dan kemiskinan. 

Dalam beberapa hari dan malam saja, semua yang mereka miliki dan sayangi, hilang. Sehingga kesedihan dan keputusasaan telah mencengkeram hati mereka. Di daerah padat penduduk, cengkeraman bencana alam mendera tanpa henti. Rumah hancur, ternak mati dan melarikan diri. Hingga celah-celah bumi akibat bencana menelan manusia, hewan, dan desa. 

Kampung dan jurang runtuh secara ajaib, dikepung oleh gempa bumi dalam hitungan detik, sementara di waktu yang sama banjir melanda. Pemandangan daerah yang padat bangunan rusak. Ya , saat kami menulis ini, korban jiwa terhitung lebih dari seribu orang.” ~ Indie, 7 Januari 1925

________________________________________________________________________

 Ada setumpuk lembaran artikel di depan Liz memuat berita tentang sederet bencana yang terjadi di Ledok dari tahun ke tahun. Bencana besar lainnya terjadi pada 19 April 1955, berupa lenyapnya satu dukuh yang dihuni 350 orang termasuk 19 tamu, dan mereka mati dalam satu kejadian. 

Menurut penuturan artikel itu, ada suara letusan keras yang ternyata merupakan aktivitas gunung Pengamun yang berada di kawasan dataran tinggi Rahyang. Di malam itu, tibat-tiba gunung itu terbelah lalu menimpa lembah yang sudah menjadi dukuh Legetan. Seluruh warganya terkubur dalam bukit baru dari rekahan gunung Pengamun. Nama mereka hanya tinggal tulisan di tugu peringatan yang hingga hari ini masih berdiri.

“Bencana lain sudah banyak didata Prof Hendrik jadi bahan penelitian sejak merampungkan Tesis S2 dulu, Liz. Mungkin kamu pernah dengar cerita itu darinya sendiri? Dia menyusun algoritma bencana.” Kata Kleo melanjutkan ceritanya.

Liz teringat cerita Hendrik tentang perencanaan Geopark yang ditelitinya bersama para Konsultan dari banyak negara. Di akhir tahun 2000, Ledok pernah disiapkan menjadi daerah yang menginisiasi dibangunnya Geopark. Melingkupi kawasan lereng lima Gunung, juga dataran tinggi Rahyang sebagai pusatnya. Tapi rencana itu mendadak terhenti di tahun 2005, setelah tujuh tahun lebih penelitian berlangsung.

“Kalau tidak salah, Bupati baru Ledok tiba-tiba mengubah rencana Geopark. Mengalihkannya jadi Konsep Wisata Berkelanjutan dengan lima titik baru. Ada NGO dari luar negeri yang terlibat di perencanaan wisata itu.” Kata Liz menyambung ceritanya. Kleo menutup matanya yang besar cukup lama. Lalu mengatakan sesuatu yang membuat Liz menyipitkan matanya.

“Yak betul! Itu NGO tempatku bekerja. Itulah saat aku bertemu Hendrik, di peralihan rencana Geopark ke wisata berkelanjutan. Aku salah satu orang dari konsultan itu, sayang!” Kleo siap menerima jawaban Liz.

Lihat selengkapnya