Ini aku lagi, Surat. Aku terpaksa membuat kalian kecewa, Tara sudah mati. Benar-benar mati. Pemuda itu ditangisi, dikafani, dishalati, lalu dikubur dua meter di bawah tanah. Maaf, tidak ada kejadian ajaib seperti mukjizat nabi Isa menghidupkan Lazarus. Tidak ada adegan mati suri seperti di film-film. Namun ada baiknya kalian mengerti alasan mengapa aku tidak punya Kartu Tanda Penduduk dan beberapa orang takut padaku.
***
Puger Jero di awal milenium kedua adalah desa yang hampir tidak dikenal oleh warga luar. Jalan masuknya sulit dilewati kendaraan roda dua dan empat. Orang-orang Ledok kerap menyebutnya desa kluthuk, pelosok. Istilah itu identik dengan kondisi serba ketinggalan. Juga minimnya pengetahuan akan dunia luar.
Listrik baru masuk desa di awal 1990 dan televisi masih jadi barang mewah. Percuma juga punya TV di sana, tidak ada siaran yang bisa ditangkap antena setinggi apapun karena terhalang pegunungan yang memagari seluruh wilayah. Ada gunung Kambang tujuh kilometer di sisi Barat Laut. Lalu ada Yasondara yang menjulang tinggi, berjarak lima kilometer di utara dan jauh di sisi timur ada gunung Suwing. Puger Jero hanya dikenal sebagai desa terakhir di lereng Yasondara dan dianggap sebagai basecamp di masa itu. Maklum, pendakian gunung sangat berbeda sebelum 2010.
Dulunya, warga asli Puger Jero tinggal di Karang Tengah. Mereka adalah keturunan para tentara Diponegoro yang telah bertugas menjaga pos pertahanan di Yasondara. Bahkan konon kampung itu sudah dibangun sejak pertama kakek buyutnya, Pangeran Mangkubumi, ketika mengungsi di tahun 1749. Tapi lama-kelamaan, kampung itu menerima warga pendatang. Mereka adalah para petani yang tergusur dari lereng gunung lain karena serangan Belanda hingga pedagang dari berbagai wilayah yang tersesat dalam perjalanan.
Pendatang yang paling diingat warga adalah seorang anak yang datang tanpa kedua orang tuanya pada hari Selasa Legi 10 Juni 1997. Pagi itu, kepala desa Puger Jero mendapat laporan dari seorang warga, bahwa ditemukan bayi di pinggir kali Code, tepatnya di jalan menuju makam Kramat. Bayi seberat 2.8 kilogram itu dibalut dengan kain jarit lawas di sebuah keranjang bambu dan ditutupi kardus. Tangisannya memecah kesunyian desa sebelum azan subuh berkumandang.
“Pak Koco, bayi itu sepertinya ditinggalkan begitu saja pagi tadi, ditemukan warga yang pulang dari mushola saat berangkat subuhan. Sudah saya pastikan, tidak ada warga Karang Tengah yang melahirkan dalam waktu dekat, karena hanya ada dua orang yang sedang hamil muda,” kata Atmo, kadus muda yang melapor pada lurah Sukoco. Atmo tak tahu bahwa Yamin yang melaporkan penemuan bayi itu.
Meskipun matahari baru terbit, desas-desus itu sudah sampai ke telinga seluruh warga yang berkerumun di halaman rumah lurah. Mereka menunda semua pekerjaan ladangnya karena ingin tahu seperti apa wajah bayi itu dan tentunya pelaku yang membuangnya. Orang tua macam apa yang tega membuang bayi di dekat sungai di pagi buta. Beruntung bayi itu tidak hanyut atau dimakan anjing liar.
“Untuk sementara, bayi itu biar diurus di rumah ini. Nanti biar disusui istri kang Yamin yang juga punya bayi.” Kata Lurah Koco, sambil memberi isyarat pada Yamin yang ada di ruangan itu. Yamin yang biasa mengurus kerbau pembajak sawah pak lurah sigap memanggil istrinya untuk memeriksa bayi itu.
“Kemungkinan anak ini baru berusia sehari pak Lurah, dilihat dari tali pusarnya. Mau dinamai siapa pak?” Kata istri Yamin yang sudah menggendong bayi itu. Lurah Koco membatin bahwa anak itu lahir Senin Kliwon, sehari sebelumnya. Dia tidak terpikirkan harus memberi nama bayi yang bukan siapa-siapa itu, dan kini bernaung di kamar istri Yamin berdesakan dengan bayinya yang baru berumur tiga bulan.
“Nanti kita pikirkan nama yang bagus, biar warga tenang dulu. Aku segera umumkan bahwa untuk sementara bayi itu diopeni di sini.” Kata Koco yang bergegas menuju halaman rumahnya, memberi rasa tenang bagi warganya yang gusar.
Beberapa hari berlalu, belum juga ada kabar tentang identitas bayi itu. Para lurah dari desa-desa di bawah Puger Jero juga telah dikabari, tapi nihil. Tidak ada warga setempat, setidaknya dari lima desa lain yang melahirkan di hari itu. Tanpa alat komunikasi seperti telepon maupun radio amatir, kabar berita di lereng Yasondara hanya mengandalkan mulut dan kaki. Para kadus menanyai dari rumah ke rumah tentang kejadian itu. Hingga pada suatu siang ada sebuah telegram yang dikirimkan ke kantor desa Puger Jero. Pesan telegram itu ditujukan bagi Lurah Koco dan isinya tentang kelahiran cucunya pada 9 Juni, sehari sebelum ditemukannya bayi malang di kali Code. Di hari itu juga, Lurah Koco mengadakan selamatan dan membuat tumpeng untuk disantap warga desa. Bahkan lurah koco juga mengundang dalang terkenal dari Ledok untuk pentas di tengah desa. Lakon wayang yang dimintanya adalah Bimo Bungkus. Selamatan itu bagi sebagian warga seakan diadakan untuk bayi tanpa nama yang ditemukan di pinggir kali.
“Min, aku mungkin bukan orang alim, bukan orang suci. Tapi ini isyarat dari Gustialah. Anak itu harus kita jaga. Siapa tahu kelak orang tuanya sadar, lalu mencarinya lagi di desa ini.” kata lurah Koco pada Yamin saat menonton wayang.
“Nggih pak lurah, tapi apa tidak kasihan istri saya, harus mengurus bayi itu, entah sampai kapan?” kata Yamin ragu dengan keputusan juragannya.
“Wes, ora usah bingung. Tugasmu, tugas istrimu hanya menjaga dia sampai tidak menyusu lagi. Soal sandang pangan biar aku dan bu Sri yang pikirkan. Aku pasrahkan satu bengkok padamu untuk ganti mengurusnya. Ndak usah khawatir Min.” kata Koco padanya, seakan sedang merayu anaknya sendiri. Lembut, dengan ketegasan seorang bapak.
Yamin sejak ngawula, mengabdi pada lurah Koco tidak pernah memikirkan imbalan apapun. Bahkan Yamin merasa berhutang seluruh hidupnya pada Koco karena telah menyelamatkan hidupnya dari jalan yang pernah dipilihnya sebagai preman. Yamin pernah dipenjara, bahkan konon jadi incaran Penembak Misterius, alias Petrus. Sampai akhirnya bertemu dengan Lurah Koco saat bersembunyi di makam Kramat. Yamin ditemukan Koco dalam keadaan terluka parah, hampir mati karena dua tembakan di punggungnya. Masa lalu itu seakan tak pernah terjadi, kini Yamin mengurus seluruh ternak dan menjadi penanggung jawab lahan pertanian Koco. Hidup serba berkecukupan dan beristri warga Karang Tengah.
“Insyaallah saya sanggup pak. Terus bayi itu mau dinamai siapa?” tanya Yamin, tepat saat pentas wayang mendekati bagian klimaks. Lurah Koco memberinya isyarat untuk mendengarkan bisikannya. Suara gamelan memenuhi udara, penonton semakin bersemangat, hingga mereka berdiri melihat gerakan wayang yang melayang-layang di kelir, kain berwarna putih.
“Sura... D... i” kata lurah Koco pelan. Bahkan hampir tak ada suara yang keluar. Yamin memastikan keadaan juragannya yang ternyata sudah menutup matanya. Tangannya ditepuk-tepuk, tapi tak membalas. Tubuhnya tergolek lemah di kursi.
“Loh pak, pak lurah. Bangun pak, wayang belum selesai!” kata Yamin semakin lantang. Rasa takut menyergapnya seperti udara gunung yang dingin.
Yamin semakin panik melihat pria tua itu tak membalas kata-katanya. Lalu menengok ke kiri dan kanan, mencari Bu Sri, istri Koco yang sebelumnya sibuk membagikan kopi pada para tamu. Lurah Koco meninggal di tangan Yamin, dengan pesan penting yang tidak selesai.
Karena Yamin memang tidak benar-benar terdidik di sekolah atau pesantren, pemahamannya tentang literatur, sejarah, bahkan abjad pun tidak seperti lurah Koco, ataupun mungkin istrinya. Yamin hanya mengingat apa yang dikatakan Lurah Koco. Yamin benar-benar menjaga anak itu dan menamainya dengan nama yang didengarnya pada kata terakhir lurah Koco: Surat.
Latar belakang Yamin yang seorang pelarian dari dunia hitam, membuatnya tak punya identitas. Nama Yamin juga bukan nama aslinya. Begitu juga dengan istri dan anaknya. Itu semua diputuskannya untuk mengamankan keluarganya. Hidup di bawah bayang-bayang. Hingga bayi itu berusia empat tahun, tak ada orang yang datang ke desa Puger Jero untuk menjemputnya. Tak ada yang mengaku sebagai orang tua yang membuangnya di kali Code di pagi buta itu. Orang-orang Karang Tengah pun pada akhirnya melupakan peristiwa itu, menganggap Surat bagian dari keluarga besar Bu Sri, anak asuh rewangnya. Keberadaan Surat di kampung itu pun lalu dianggap biasa saja, seperti anak pungut dari cerita-cerita desa lain.
Di bawah asuhan Yamin, Surat menjadi anak kecil yang lincah seperti bayi macan yang penuh rasa ingin tahu. Kerap mengikuti bapak angkatnya itu ketika memandikan kerbau di sungai, hingga mencari belut di sawah saat menggembala bebek. Sampai usianya hampir lima tahun, Surat belum juga bersekolah di TK. Berbeda dengan cucu Bu Sri yang baru pulang dari kota yang sudah disekolahkan sejak empat tahun. Tentu saja karena Yamin tak punya KTP, juga Surat yang tak punya akta surat tanda lahir. Hidup mereka seperti di masa yang berbeda.
Surat tidak banyak bicara sejak bisa mengucapkan kata pertamanya. Bahkan ketika berusia enam tahun, kakinya pernah dipatuk ular, tapi tak ada tangis atau teriakan sama sekali. Hanya meringis kesakitan dan mengeluh pada Yamin. Anak itu entah bagaimana membuat Yamin teringat pada masa kecilnya sendiri. Berbeda dengan anak kandungnya yang kerap rewel meskipun hanya lapar.
Karena paksaan Bu Sri, akhirnya Surat berangkat bersekolah di SD Negeri. Waktu itu, sudah bukan tahun ajaran baru lagi, Surat masuk ketika mendekati akhir tahun. Seluruh administrasi untuk mendaftar diurus oleh bu Sri, juga seragam, sepatu, alat tulis dan tas. Semua baru. Yamin hampir saja menolak dan meneruskan caranya mendidik Surat sebagai penerus rewang di peternakan. Maklum, di usia tujuh tahun, Surat sudah lihai memandikan kerbau dan mencari rumput untuk pakan kambing.
“Min, ingat kata-kata almarhum bapak, anak itu harus diopeni selayaknya anak-anak lain. Zaman sudah berubah min, anak harus sekolah. Siapa tahu nanti kita tidak punya bengkok dan ternak lagi. Siapa tahu, nanti orang tua aslinya datang dan membawanya pergi!” kata bu Sri, juga seperti pada anaknya sendiri. Merayunya dengan nada yang lembut.