Gempa berskala 3.6 Skala Richter membangunkan semua warga Ledok tepat di pagi buta di hari lebaran. Menggoyang dipan-dipan kayu jati kosong, lampu gantung, peralatan makan mewah, juga pilar-pilar kurus di rumah yang ingin meniru gaya keraton itu. Tiga orang penghuni rumah itu tak menghiraukan goyangan bumi di bawahnya karena terlalu lama menahan kantuk. Mereka berkumpul di satu kamar, mengelilingi seorang laki-laki yang terbaring lemah dan kesulitan bernafas. Wajahnya merah kehitaman. Kakinya bengkak seperti balon yang menampung air. Matanya berkedip menghadap atap berusaha menembus lapisan abu-abu di lensanya seperti pengidap glaukoma akut. Pria itu adalah Sarip Sukoco, bupati Ledok dua periode yang dikenal berkharisma dan otaknya cemerlang. Tapi sebentar lagi akan lengser keprabon, purna tugas di akhir tahun.
“Ada apa ini? Buminya bergetar?” tanya pria itu dengan suara parau.
Sarip tidak yakin dengan apa yang mengusik dipannya. Dia merasakan Tenggorokannya kering, seperti tanah yang dihajar kemarau dua musim lamanya.
“Ada gempa pak, tapi tidak apa. Hanya lindu sedikit, tidak ada yang rusak. Tadi disiarkan di TV,” kata istrinya yang terlihat masih mengantuk sambil mengganti kain kompres di keningnya yang mulai kering.
Dia dan seluruh penghuni rumah itu tidak memusingkan soal perayaan lebaran, apalagi bersiap untuk mengikuti shalat Idul Fitri di alun-alun kota. Mereka terlalu khawatir dengan kondisi orang nomor satu di Ledok itu dan menjaganya bergantian. Di pertengahan bulan Ramadan, penyakit misterius itu kembali menyerang Sarip. Penyakit yang sebelumnya pernah dideritanya beberapa bulan sebelumnya. Tapi kali ini lebih parah, seakan tembakan beruntun dari senapan AK47.
Semua pintu sudah dibuka lebar-lebar. Pagi itu mereka sudah siap dengan siapapun yang akan datang, teman atau lawan dipersilahkan menghadap. Toh Sarip tak akan berumur panjang. Atau memimpin kembali kota Ledok dengan kondisi itu. Mereka menganggap hari lebaran itu sebagai perpisahan terakhir. Malaikat maut pun dipersilahkan, jika perlu diantar sampai di depan pintu kamar. Sarip sendiri sudah bosan dengan penyakit anehnya, tak bisa diobati, juga tak bisa dicari apa penyebabnya. Meskipun semua orang yang menengoknya sudah tahu penyakit itu masuk ke dokter spesialis supranatural, di luar ilmu pengobatan medis.
“Kalau ada yang datang, biarkan saja. Pasti mereka sungkan melihatku, lalu pergi sendiri,” pesan Sarip pada istrinya.
Suara jam dinding di kamar itu seperti disambungkan ke pengeras suara. Terdengar semakin keras tiap detiknya. Lalu seorang lelaki berbaju satpam berbisik pada seorang pemuda berbaju batik yang berbicara pelan pada istri Sarip. Mereka berdua lalu berjalan keluar menemui seseorang yang memakai jaket tebal. Adik Sarip datang bersama istrinya dan seseorang yang ada di belakang mereka. Seseorang itu seperti enggan masuk ke dalam bangunan yang punya berlapis-lapis pintu itu, bak istana raja. Langkah kaki orang itu seperti menembus gelembung tak kasat mata. Rumah itu mendadak berganti suasana, ada sehembus angin sejuk menembus sela-sela lubang kunci dan celah jendela. Cahaya dari luar tiba-tiba masuk dengan bebas.
“Tara! Kamu sehat nak?” kata istri Sarip tulus pada pemuda itu. Sapaan hangat itu seperti dijawab sekenanya oleh Tara, pemuda yang memakai baju yang sama sejak shalat ied tadi pagi.
Tara lalu sungkem padanya dan mengatakan salam singkat, menanyakan kabarnya dan berterimakasih telah mengurus bapaknya selama sakit. Matanya tidak memandang istri Sarip langsung, hanya bersikap sopan layaknya saudara jauh yang jarang bertemu. Tara melihat garis-garis kelelahan dalam senyumnya. Kantung mata wanita itu membuatnya nampak lebih tua 10 tahun.
Tidak genap seperempat jam Tara di dalam kamar itu. Mereka dibiarkan berdua, tanpa ada yang tahu pembicaraan mereka. Tapi rumah itu seperti mendapat nyawa baru, hawa suram tergusur dengan kedatangan mereka. Tanpa makan dan minum, tiga orang tamu itu pamitan sebelum tetes air hujan pertama jatuh. Mungkin itu hujan pertama yang menyentuh genteng rumah dinas itu dalam sebulan terakhir. Dari dalam kamar, ada suara yang memanggilnya, belum dihiraukannya. Ada yang membuat istri Sarip terjaga dari pandangannya yang terkunci pada lampu belakang mobil bak terbuka yang menjauh ratusan meter di jalan raya. Anak lelaki itu membuatnya memutar kembali gambar-gambar dalam kepalanya.
“Maafkan kami, nak.” batin istri Sarip pada dirinya sendiri.
Suara dari dalam kamar seperti terulang lagi lebih jelas. Kali ini disertai langkah kaki yang semakin mendekat.
“Maaaah! Mamah! Ayah bangun sendiri, minta minum, minta makan!” kata anak perempuannnya yang menunggui Sarip membuka pintu dengan tergesa.
“Kak Tara mana?” anak itu bertanya lugu.
“Alhamdulillah, ya Alloh. Maturnuwun gusti. Bapak sudah bisa bangun?” katanya masih tidak percaya saat melihat suaminya sudah berdiri. Laki-laki itu tegap berdiri tanpa bantuan. Di depannya ada meja kecil yang disesaki buah, roti, dan botol-botol minuman mineral mahal. Kakinya kembali ramping dan wajahnya pucat seperti tak makan dua hari. Kesadarannya sudah pulih. Glek, glek, glek. Selesai minum, senyum itu mengembang sambil menyambut pelukan istri dan anak perempuannya yang belum lulus SD.
“Aku pengen mandi air dingin lalu ganti baju. Ini hari lebaran kan mah?” kata laki-laki itu seperti bocah yang menagih hadiah pada orang tuanya di hari lebaran, manja.
Dua orang pembantunya menyaksikan keajaiban itu dengan mata yang berkaca-kaca. Mereka merasa pekerjaannya akan aman hingga tuannya purna tugas sebagai bupati. Satu orang berseragam satpam berbisik pada pemuda di sebelahnya yang berseragam batik tadi. Kali ini raut wajahnya tambah khawatir lalu berubah ketakutan. Dua alisnya bergerak mendekat di tengah-tengah.
“Penyakit bapaknya dipindah itu! Kasian anaknya. Anak soleh, mau mendoakan.” kata si satpam pada ajudan yang kelewat senang pimpinannya pulih. Ajudan tak benar-benar paham apa yang terjadi di depan matanya. Sementara Sarip terlihat sedang bercermin seperti memeriksa wajah dan seluruh tubuhnya yang kembali seperti semula. Wajahnya ditepuk beberapa kali seperti orang memeriksa kesadarannya sendiri. Sejurus kemudian Sarip meminta mereka menyiapkan rumah itu untuk menerima tamu.
“Kita undang anak-anak pondok pesantren untuk selamatan malam ini, siapkan semuanya. Oya hubungi Cipto untuk datang bersama Tara! Doanya manjur.” matanya berkaca-kaca. Kata-katanya lantang terdengar dari dalam kamar. Kekuatannya pulih. Ajudannya paham perintah singkat itu lalu buru-buru mengambil ponsel dan menuju mobil dinas.
Burung Jalak berparuh kuning gading itu lepas landas dari puncak bangunan tertinggi Ledok, menara Pasar Induk. Hinggap di pohon pinus dekat pendopo. Kelopak matanya seperti lensa kamera dengan resolusi super tinggi, mengamati sekitarnya, namun dengan spektrum yang berbeda dari manusia, bahkan dari burung sejenisnya. Matanya melihat bangunan seperti istana kecil yang diguyur hujan, seakan ada sobekan jaring langit tertembus air di atasnya. Rintik air itu berubah jadi kabut yang melingkupi sekitarnya, hingga ke sekeliling pendopo tempatnya bertengger sambil membersihkan paruh dengan cakarnya.