BELANTARA 1 - Kelahiran Katalis

Erwin Abdillah
Chapter #13

Tempat Yang Tak Akan Kau Temukan Ketika Kau Cari

Di puncak Yasondara, air akan mendidih pada suhu 88 derajat Celcius, bukan 100. Hukum fisika sederhana, efek tekanan udara di ketinggian tertentu yang mempengaruhi titik didih air. Hukum sebab akibat sederhana itu mungkin masih sulit dipahami warga Puger Jero di tahun 2024. Tetapi sebaliknya, jika ada hujan badai terus menerus dan banjir selama sepekan, lalu tiba-tiba cuaca berganti cerah, warga punya satu kesimpulan. Ada orang mati karena hanyut di sungai atau tertimbun longsor di luar sana. Matinya korban itu dianggap orang Ledok sebagai tumbal untuk keselamatan orang lain. Seakan mereka tidak membicarakan nyawa seorang manusia yang mungkin seorang anak, bapak, ibu, atau seseorang dengan gelar Doktor.

Bagi Sandi, hal-hal supranatural seperti itu bukanlah sekedar obrolan omong kosong di kedai kopi. Kisah isapan jempol semacam itu, baginya adalah petunjuk tentang kejadian yang menuntut penjelasan lebih. Ada sesuatu yang lebih besar untuk dilihat dari sudut pandang lain. Seperti hilangnya seorang ahli Geologi bernama Hendrik Sujono di sebuah penjelajahan Gunung setinggi 2.300 mdpl. Itu bahkan bukan kali pertamanya mendaki gunung Kambang. Beberapa orang menyimpulkan bahwa Hendrik adalah satu dari tumbal itu. Setelah sebelumnya terjadi serangkaian bencana dalam rentang waktu setahun terakhir. Tiba-tiba rentetan bencana itu mereda, seperti perut keroncongan yang sudah diberi makan.

Berita hilangnya Hendrik membuat Sandi mantap berangkat ke Ledok untuk membuat liputan investigatif. Gayung bersambut, media tempatnya bekerja memberikan dukungan. Beberapa tulisan lain sudah diajukannya pada pemimpin redaksi, termasuk kisah sukses petani kopi hingga perlawanan dari kelompok bernama Laskar Suradilaga terhadap penambangan pasir di lereng-lereng gunung. Untuk misi itu, Sandi hanya dibekali uang transport, makan dan biaya menginap selama tiga hari. Tidak lebih. 

Tetapi setelah bertemu 8 orang di dapur Cipto, Sandi menuruti instingnya dan bertahan selama mungkin dalam pusaran badai itu. Berita pertama yang ditulisnya diberi label “urgent”. Membuat redakturnya memberi perhatian lebih. Sandi meminta berita itu ditayangkan secepatnya di media online tanpa menunggu majalah versi cetak mereka yang terbit bulanan.

“Ultimatum Pertama Laskar Suradilaga: Hancurkan Dua Backhoe dan Truk Milik Bos Tambang Pasir Ledok”

Berita itu tampil di hari Minggu siang, ketika kebanyakan orang sedang santai atau berkumpul bersama teman-temannya sambil menunggu hari berganti Senin. Media berskala nasional itu memilih berita itu sebagai headline dengan ilustrasi yang sangat grafis, seperti poster film action. Sebuah topeng raksasa berwarna merah dengan mulut menganga tengah memangsa dua backhoe berwarna kuning dan truk bermuatan pasir dengan lidah seperti bara api. Ilustrasi itu berlatar belakang foto asli pegunungan Yasondara yang dipotong dengan rapi dan membuatnya mudah dikenali.

Sandi berhasil menulis liputan pertamanya di Ledok dengan runtut dan rapi. Bahkan melampirkan bagan berupa aksi-aksi Laskar Suradilaga sebelumnya, dengan urutan yang lengkap. Seakan-akan Sandi berada di sana saat kejadian itu terjadi. Diawali dengan kejadian vandalisme yang menyasar bak truk pengangkut pasir. Ada tulisan-tulisan yang memprotes pemilik perusahaan tambang. Entah bagaimana Sandi bisa mendapatkan foto-foto dari beberapa bulan lalu sebelum kedatangannya ke Ledok. 

Lalu ada juga penjelasan mendetail tentang perusakan truk-truk pengangkut pasir yang terjadi sejak akhir 2023. Mulai dari pencopotan ban, kaca yang dipecah, hingga sabotase mesin. Peristiwa besar lainnya adalah penculikan para pekerja tambang berpangkat mandor ke pos pendakian gunung, yang dijelaskan Sandi dilakukan dengan metode hipnotis. Hal itu belum pernah diungkap media lain sekaligus kronologi kejadian lengkapnya. 

Sandi berhasil mendapat pengakuan dari salah satu anggota Laskar Suradilaga yang menamai dirinya sebagai “Sontoloyo”. Dari sisi pelestarian lahan, Sontoloyo adalah protagonis yang menolak kawasan penting untuk diubah menjadi tambang, mencegah risiko hilangnya mata air. Tapi di sisi pekerja tambang dan tentunya pemiliknya, Sontoloyo adalah antagonis yang dicap kriminal. Sandi sengaja tidak memberi sudut pandang dari sisi Pemerintah, namun menyebut satu narasi yang membahas tentang demo di kantor bupati yang berujung pengusiran. Warga bahkan tidak pernah diajak berdiskusi oleh bupati maupun anggota dewan soal tambang pasir yang mencaplok lahan mereka.

Dalam tulisannya, Sandi seakan sengaja membangun sebuah karakter dari Laskar Suradilaga dengan menjadi bagian dari mereka. Mengadopsi cara pandang dan bahkan mengikuti gerakan mereka dari dekat. Pada ulasan tentang perusakan Backhoe yang menyebabkan kerugian Rp 2 Miliar lebih, Sandi bahkan memberikan deskripsi para pelaku lebih detail ketimbang pernyataan dari dua orang saksi mata. Sontoloyo membeberkan bahwa jumlah pelaku peledakan backhoe ditulis sandi sebanyak empat orang. Lalu ulasan topeng yang dikenakan para pelaku juga sangat mendalam, lengkap dengan makna tersembunyi di balik penyamaran pelaku. Sandi seakan sedang memancing pihak berwajib untuk merespon tulisannya itu. Di bagian penutup, disertakan lirik tembang Sontoloyo yang terkenal kerap mengiringi tarian topeng Lengger.

“Sing kuning, kuning ra patiya, sing abang pirang-pirang.

Sontoloyo, grayang-grayang tangane loro.

Sing kuning, kuning ra patiya, sing ireng duwèké sapa?

Alah bapak sontoloyo, angon bèbèk ilang loro.”


Ketika selesai menyusun tulisan itu, Sandi menghembuskan nafas panjang. Berharap tujuh orang yang menunggu di dapur bisa puas dengan apa yang dikerjakannya dalam dua jam terakhir. Tentunya dengan pengawasan satu orang perempuan cantik bermata besar, mengawasi di sampingnya. Kleo. Setiap diksi yang dipilih Sandi dipilah dengan hati-hati untuk memastikan pesan mereka sampai pada pejabat di pemerintah pusat dan tentu saja musuh besar mereka: Bos Tarjo.

Sandi awalnya merasa terjebak di dapur itu, setelah mengetahui bahwa para pelaku aksi sekaligus Laskar Suradilaga adalah orang-orang yang makan bersamanya. Kecuali Liz, tentunya. Bahkan Kleo yang awalnya disangkanya tidak terlibat, justeru menjadi orang yang paling memahami semua rencana mereka. Seakan Kleo punya dendam pribadi pada perusahaan tambang pasir. Sandi memutuskan tidak menjadi netral. Keputusan yang selalu diambilnya ketika ada konflik antara masyarakat dengan perusahaan tambang. Idealisme Sandi diakarkan pada bumi tempatnya berpijak, begitu juga tulisan-tulisannya yang lain. Alasannya menjadi jurnalis adalah untuk menjadi pahlawan tak bertopeng. Melawan kekuatan yang memangsa mereka yang tak punya suara. Sandi memberikan suara pada mereka.

Bersama dengan sinar mentari pertama di Minggu pagi, Sandi kembali memeriksa emailnya dan mendapat jawaban dari editornya sekaligus terlampir beberapa ilustrasi yang harus dipilihnya. Kleo yang memilih sebenarnya. Menjelang waktunya makan siang, dapur rumah itu kembali disesaki 6 orang. Minus Sandi yang masih berada di depan laptopnya dan Liz yang sedang jalan-jalan bersama Walid. Satu pesan masuk ke ponselnya, berisi link berita. Matanya bersinar, memberi isyarat anggukan pada Kleo yang berjalan mendekat. 

“Beritanya sudah ditayangkan!” kata sandi pada orang-orang di dapur. 

Mereka saling menatap bergantian. Seperti menunggu apa yang akan terjadi dalam semalam, atau hari-hari setelahnya. Ada rasa puas yang tergambar jelas dari nyala mata mereka. Sandi merasa terjebak dalam sebuah peperangan besar yang telah berlangsung lama. Ponsel Sandi kembali berbunyi, kali ini notifikasi dari emailnya. Pesan baru masuk dari alamat yang belum pernah dilihatnya. Ponselnya lalu diserahkannya pada Kleo, sorot mata mereka menandakan bahwa keduanya sedang memikirkan satu hal yang sama. Mereka berhasil.

from: Ela - lailaumbrella @gmail. com -


***

Meja Pojok kedai itu masih terisi satu orang. Di depannya ada segelas Turkish Delight yang dibiarkan tak tersentuh, hanya satu kukis di sampingnya yang tergigit setengah. Penampilan gadis berambut panjang itu hampir sama seperti pengunjung kedai lainnya. Usianya awal 20-an, dengan sepatu dan tas branded, namun tidak mencolok. Quiet luxury, itulah istilah yang mereka pakai di media untuk pemilihan gaya pemakai barang mewah tanpa label yang menusuk mata. Gaya Quiet Luxury biasanya dipilih mereka yang tak ingin norak atau disebut Orang Kaya Baru. Mewakili kalangan atas yang tak ingin menonjol, tapi tetap ada dalam sebuah kelas tersendiri. Sebuah kelas sosial yang menyaring jaringan pertemanan dengan cara yang paling kejam, uang yang terlalu banyak hingga tujuh generasi. 

Wajahnya natural look, tidak terlihat dilapisi makeup, tapi biaya perawatan bulanannya lebih tinggi dari UMR pekerja Yogyakarta. Begitu juga rambutnya yang tidak boleh disentuh sembarang salon. Harus salon yang sama dengan langganan nyonya Wulan Handayani, ibunya. Di salon itulah mereka bertemu rutin setiap dua minggu sekali. Disebut sebagai ceramah rutinan sabtu oleh Laila. Karena hanya pada waktu itu saja, Laila akan mau mendengarkan ocehan ibunya tentang pekerjaan hingga masalah fashion.

Lensa matanya memantulkan judul besar satu berita di sebuah media nasional yang dibuka dengan tabletnya. Ilustrasi topeng merah itu membuat pikirannya kembali ke sanggar Wahyu. Berita itu seakan memberinya sebuah petunjuk lain, menyalakan satu titik neuron di otaknya. Suhu tubuhnya meningkat, ada aliran adrenalin menuju bibirnya. Matanya masih membaca ulang detail-detail kejadian yang ada di media itu. Judul berita itu diawali kata Ultimatum dan membuatnya berpikir akan ada serangan lagi dari Laskar Suradilaga. Mungkin selanjutnya akan makan korban. Gawat, ini media nasional. Bapaknya pasti mengamuk jika tahu kejadian di Ledok sudah sampai mata orang-orang ibukota, juga pejabat dan mungkin presiden.

“Aku harus menemui penulis berita itu, Sandya KW namanya.” batin Laila. 

Tangannya lincah mengetik nama itu di mesin pencari Gugel dan mendapat hasil teratas di halaman Linkedin. Sederet data tentang jurnalis muda itu membuatnya semakin tertarik. Mereka satu kampus, rupanya. Di laman profile nya, Sandya menuliskan alamat emailnya. Tak ada nomor yang bisa dihubungi. Di laman itu hanya ada tautan karya-karyanya yang banyak mendapat respon media lain, hingga dibuat karya dokumenter. Sandya konsisten mengangkat konflik-konflik seputar kebijakan pembangunan dan hak warga. Fokusnya pada masyarakat adat. Satu lagi orang idealis, batinnya. Tak butuh berpikir terlalu lama, Laila menyalin alamat itu, membuka aplikasi email lalu memencet tombol ‘compose’.

____________________________________________

New Message

To: SandyaKaWe@gmail.com

Subject: Aku Laila, anak BOS TARJO

“Temui aku di Kedai Turkish segera! Penting”

Lihat selengkapnya